Share

07. Terikat Masa Lalu (2)

Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah.

Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya.

Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup.

Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di apartemennya, yang membuat Danis menjadi seperti ini.

Satu jam berlalu, Danis masih duduk di kursi yang sengaja ia tempatkan di samping jendela, kali ini ada kepulan asap yang keluar dari sebatang rokok di tangan−jendela ia buka, menghantarkan angin sore yang cukup dingin membelai wajah−saat kemudian terdengar suara pecahan piring, gedoran di pintu yang cukup keras hingga kemungkinan bisa merobohkan pintu itu, dan juga teriakan kemarahan.

Tiga hal itu juga sudah menjadi lagu yang didengar Danis sehari-hari dalam satu bulan terakhir. Pelakunya adalah Renata, istrinya. Si penghuni apartemen selain dirinya, yang memang sengaja menciptakan keributan untuk membuatnya keluar dari sarang persembunyian.

“Udah aku bilang kalau aku nggak mau cerai, Danis. Kita nggak akan pernah bercerai!” teriak Renata dengan suara yang cukup keras untuk bisa di dengar para penghuni di unit apartemen di gedung itu.

Dan seperti biasa, Danis mengabaikan teriakan itu. Karena pada akhirnya Renata akan lelah sendiri dan pergi setelahnya. Danis pun tidak lagi mau peduli meski Renata menungguinya di depan pintu sampai tengah malam atau sampai besok pagi. Yang Danis tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi. Renata tidak sesabar itu untuk menunggunya membukakan pintu.

“AKU NGGAK MAU CERAI, DANIS! KAMU DENGAR ITU, KAN?! NGGAK AKAN PERNAH ADA PERCERAIAN!”

Kemudian terdengar bantingan piring yang ke sekian kali. Kalau dihitung dari jumlah piring yang mereka miliki, seharusnya sudah habis dari kemarin-kemarin karena dibanting semua oleh Renata. Jadi, kemungkinan piring-piring itu masih baru, yang sengaja dibeli Renata untuk menciptakan keributan.

“Mau sampai kapan kamu mengabaikan aku? Aku kangen kamu. Aku kangen ‘kita’. Please, talk to me, Danis. Kita selesaikan masalah kita baik-baik. Jangan hukum aku.” Kali ini Renata meratap.

Danis masih bergeming di tempat. Menyulut rokok yang kedua. Membiarkan Renata lelah sendiri dengan segala ocehannya tentang apa pun itu. Danis sudah tidak ingin lagi peduli.

“Aku sayang kamu. Aku selalu sayang dan cinta sama kamu, Danis. Nggak pernah sedetik pun aku melupakan perasaanku buat kamu. Selalu kamu yang ada di hati dan pikiranku. You have to believe me.

Danis melirik ke arah tempat tidur saat ponselnya yang berada di dalam tas kerjanya yang teronggok menyedihkan di atas tumpukan pakaian kotor di ujung tempat tidurnya itu berdering keras. Ia lupa mematikan nada deringnya saat keluar dari kantor.

“Danis, kamu mau aku bersujud di kaki kamu? Fine, akan aku lakukan! Aku akan melakukan semua yang kamu inginkan selain perceraian, kalau itu bisa membuat perasaan kamu lebih baik.”

Dering panjang itu berhenti setidaknya sepuluh detik sebelum kemudian berbunyi kembali. Meningkahi suara Renata yang masih meratap putus asa dan memohon dalam sesal−Danis tidak benar-benar tahu dan tidak peduli apakah Renata benar-benar menyesal atas perbuatannya.

Panggilan kedua itu masih Danis biarkan tak terjawab hingga panggilan ketiga yang membuat telinga Danis mulai terganggu.

Dengan langkah tersaruk, Danis mendekat ke sumber suara. Menarik ponselnya dari dalam tas, membuat sebagian dari tumpukan baju kotornya jatuh ke lantai.

Martin.

Nama itu berkedip-kedip di layar ponselnya. Ia adalah teman dekat Danis yang tinggal di Indonesia.

“Halo,” sapa Danis dengan malas.

“Lo pasti nggak percaya kalau Ema, temennya Juju, mantan terindah lo itu barusan ngehubungin gue. Katanya dia butuh nomer hape lo buat kirim undangan kawinan.”

Pundak Danis menegang sesaat. Ia langsung memusatkan seluruh perhatiannya.

“Juju mau nikah?”

“Ema yang mau nikah!” koreksi Martin dengan sebal. “Bisa-bisanya lo salah fokus.”

Kernyitan dalam hadir di kening Danis.

“Gue nggak deket sama Ema. Ngapain dia ngundang gue?”

“Mana gue tahu. Kasih nomer lo atau nggak nih?” 

“Jangan kasih.”

“Oke, deh.” Martin tidak menanyakan alasan apa pun.

“Dua minggu lagi gue balik ke Indonesia,” kata Danis kemudian.

“Lo serius mau pisah sama Renata?” Martin kembali bertanya dengan snagat hati-hati.

Bersamaan dengan pertanyaan itu, terdengar sumpah serapah Renata yang mulai kehabisan cara membujuk Danis. Kemudian suaranya menghilang. Dan yang terakhir terdengar adalah suara bantingan pintu. Lalu hening.

“Gue serius mau pisah sama Renata,” ujar Danis sambil menatap lurus pintu kamarnya yang masih terkunci rapat dari dalam.

.

.

to be continued 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status