Share

08. Pengkhianatan

Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.

Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-gebu.

Bukan pemandangan sialan itu yang Danis harapkan saat menginjakkan kaki di apartemen. Tadinya, laki-laki itu sengaja tidak memberitahu Renata kalau ia akan pulang hari ini, bermaksud memberikan kejutan kepada istrinya, namun malah ia yang mendapatkan kejutan.

Danis terpaku di tempatnya berdiri. Ia menatap Renata dan Samuel dengan nanar. Sebuket bunga tulip—ia beli dari toko bunga yang berjarak dua blok dari apartemennya—dalam perjalanan pulang menuju apartemen itu jatuh ke lantai, teronggok menyedihkan seperti sekeping hati Danis yang dihempas dengan keras hingga hancur lebur.

“What the hell are you guys doing in my apartment?!” teriak Danis saat Renata dan Samuel semakin larut dalam gairah, hampir saling melucuti pakaian masing-masing tanpa menyadari ada orang lain di sana.

Pergulatan Renata dan Samuel akhirnya terhenti. Keduanya hampir jatuh dari sofa karena terlalu terkejut dengan teriakan Danis yang sarat kemarahan.

Renata gelagapan. Ia berdiri dengan cepat, membenahi rambut dan pakaiannya yang kusut karena pergulatannya dengan Samuel. Ia ingin mengucap sesuatu dan memberikan penjelasan tetapi seolah kata-katanya tertahan. Pada akhirnya ia hanya berdiri canggung di samping Samuel, bergeser dua langkah menjauh dari laki-laki itu, seolah tindakannya bisa membuat suasana menjadi lebih baik.

“Renata, kamu... gimana bisa kamu melakukan ini ke aku?” Tenggorokan Danis tercekat. Rasanya seperti menelan ratusan duri.

Seperti sengaja menuang minyak tanah ke dalam api, bukannya memperlihatkan penyesalan atau setidaknya perasaan tak enak hati karena mencium istri orang, Samuel mencetus, “Maafin gue, Dan. Gue sayang Renata.”

Pengakuan tergila yang membuat Renata melotot panik dan berkata bahwa Samuel sudah tidak waras. Sementara Danis hanya diam di tempat. Ia terlalu marah dan jijik hingga tak bisa berkata-kata.

“Jangan dengerin kata Samuel, Hon. Please,” ujar Renata dengan nada lembut yang justru membuat telinga Danis serasa diiris dengan pisau.

Kalau saja dengan pukulan telak di wajah atau tendangan keras di perut Samuel bisa sedikit membuat Danis lega. Sayangnya, untuk bergerak dari posisinya saja Danis tak mampu. Ia terlalu kaget melihat istrinya bercumbu dengan Samuel. Memasukkan lidahnya ke dalam mulut Samuel seolah hal itu adalah hal yang paling mudah wanita itu lakukan. Tidak hanya sampai di situ, Renata bahkan membiarkan—atau mungkin malah dengan senang hati—tangan Samuel menelusup ke balik baju dan meremas dadanya. Mengeksplorasi tubuh wanita itu seolah-olah itu adalah sesuatu yang paling wajar yang laki-laki itu lakukan. Danis bahkan tak bisa membayangkan bagaimana posisi dua orang di depannya itu jika ia datang lima menit lebih lama. Bukan tidak mungkin ia akan melihat mereka telanjang. Perut Danis terasa amat sangat mual saat membayangkan kemungkinan itu.

“Keluar dari apartemen gue,” ujar Danis dalam suara yang sarat rasa benci dan jijik. “Keluar dari apartemen gue sekarang sebelum gue teriak dan tetangga-tetangga gue ke sini buat nyeret lo pergi.”

Samuel menatap Danis lurus-lurus. “Gue—”

“Kamu pulang aja dulu, Sam.” Kali ini Renata yang bersuara. Dengan mata yang bergantian melirik Danis dan Samuel.

“Renata, kamu bilang kalau—”

Shut up and just go,” usir Renata dengan nada agak tinggi yang mulai semakin panik karena Samuel menunjukkan sisi keras kepalanya di saat yang tidak tepat.

Selama adegan pengusiran yang dilakukan Renata di depannya itu berlangsung, Danis hanya bisa menatap mereka dengan hati yang tercabik perih. Tidak pernah terbayang di kepalanya bahwa di tahun kedua pernikahannya dengan Renata, ia akan disuguhi pengkhianatan paling tega yang dilakukan istri dan sahabatnya.

“Renata—”

GO!”

Samuel masih terlihat seperti tidak ingin pergi. Seolah keberadaannya di sana belum cukup membuat suasana hati Danis menjadi buruk. Seolah ia berhak ada di sana. Namun, pada akhirnya ia mengalah pergi setelah Renata dua kali memintanya untuk meninggalkan dirinya dan Danis sendirian.

“Danis, aku bisa jelasin,” ujar Renata dengan hati-hati setelah Samuel pergi. Ia berjalan mendekat ke arah Danis yang masih berdiri di depan pintu.

Danis menggeleng. Memberikan isyarat agar Renata tidak mendekat. “Aku nggak butuh penjelasan tentang bagaimana kamu dan si berengsek itu bersilat lidah.”

“Danis, please,” lirih Renata. “Aku sama Sam—”

“Jangan bilang kamu dan Sam khilaf. Karena aku sama sekali nggak melihat penyesalan di mata kalian,” potong Danis sinis.

Renata tetap melangkah sedekat mungkin ke arah Danis berdiri. “Ciuman tadi cuma kesalahan, Honey.”

“Kamu berharap aku percaya bualan kamu setelah kamu dengan sadar memasukkan lidah kamu ke mulut Samuel?!” Danis kembali diserang perasaan jijik. Ia tidak bisa menatap istrinya tanpa luapan kemarahan dan kekecewaan. “Kamu masih mau menyangkal setelah Samuel bilang kalau dia sayang sama kamu?”

“Aku nggak tahu kalau Sam—”

Cut that bullshit. Aku nggak mau dengar pembelaan kamu.”

Renata menggeleng. Wajahnya kini tampak sangat sedih.

Danis menunduk. Tatapan kosongnya tertumbuk pada bunga tulip yang terlihat sama menyedihkannya dengan dirinya. “Aku nggak bisa bertahan dalam rumah tangga yang udah kamu nodai dengan pengkhianatan. Perselingkuhan itu kejahatan yang paling nggak termaafkan, Renata. Apa kamu lupa kalau sebelum kita menikah, aku berkali-kali cerita kalau aku pernah dikhianati orang-orang terdekatku?”

I am so sorry, Honey. Aku benar-benar nggak pernah berniat menyakiti kamu dengan cara ini,” lirih Renata.

“Aku sampai nggak pernah mau pulang ke Indonesia karena terlalu banyak pngkhianatan yang aku dapatkan di sana. Ibuku selingkuh dari Papa, mantan pacar aku bermain-main dengan hati aku, dan sekarang kamu yang terang-terangan melakukan itu di depan aku dengan sahabatku sendiri,” sambung Danis. Masih dengan kepala tertunduk.

 “It’s just a kiss.” Renata menghampiri Danis lebih dekat. Dan tanpa sengaja menginjak bunga tulip merah yang melambangkan gairah dan cinta yang sempurna.

Danis mendecih sinis. “Menurut kamu mungkin cuma sekadar ciuman. Tapi bagiku enggak. Kamu bayangkan sendiri, kalau aku yang mencium wanita lain, kalau aku mencium sahabat kamu, apa kamu terima? Kamu masih bisa tidur di satu ranjang yang sama dengan suami kamu? Bisa?”

Renata menggeleng. Mulai putus asa. “Aku minta maaf, Sayang.”

Danis mendongak dan mundur dua langkah saat Renata menjulurkan kedua lengan untuk meraihnya. “Aku nggak bisa kayak gini.”

“Kamu mau aku melakukan apa supaya perasaan kamu menjadi lebih baik?”

Kalau bisa, Danis ingin menghapus bayangan menjijikkan yang terus menyesaki kepalanya hingga nyaris meledak.

Mungkin karena terlalu sakit oleh pengkhianatan istrinya, Danis lupa bagaimana rasanya saat ia begitu tergila-gila kepada wanita itu. Danis lupa rasanya mencintai dan dicintai.

“Danis, please… say something.”

Danis menatap Renata dengan menahan sakit di hatinya yang sudah remuk redam. “Kamu mau tahu apa yang aku inginkan?”

Renata balas menatap Danis dengan mata berkaca-kaca.

“Aku mau kamu pergi dari sini. Aku nggak mau melihat kamu lagi.”

You… what?” Suara Renata yang keluar hanya serupa bisikan yang sangat lirih.

Danis membuang muka. Tidak sanggung lagi menatap istri pengkhianat yang tega meremukkan hatinya. “Aku nggak yakin aku masih mau bersama kamu setelah melihat apa yang kalian lakukan.”

No! Please, Danis, jangan begini.” Renata merangsek maju dan memaksa Danis menatapnya. “Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku istri kamu dan aku akan tetap di sini.”

Danis menepis tangan Renata dari wajahnya. Ia memberikan tatapan penuh luka. “Aku nggak bisa melihat kamu lagi tanpa membayangkan apa yang sudah kamu perbuat dengan Samuel.”  Danis menunjuk dadanya. “Di sini rasanya sakit banget, Ren.”

Air mata Renata jatuh menuruni pipi. “Maaf, Danis. Maaf.”

Tubuh Renata merosot. Ia jatuh terduduk di lantai. Kedua tangannya mencengkeram erat celana Danis. Kepalanya tertunduk dalam.

“Aku menyesal, Danis. Tolong, jangan minta aku pergi.”

Danis menarik kakinya dengan satu sentakan. Membuat Renata hampir terjengkang. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Danis beranjak pergi dari ruangan itu, masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Renata yang menangis tersedu.

***

Satu minggu berlalu. Apartemen Danis dan Renata yang dulunya penuh kehangatan, kini berubah dingin dan suram. Kenangan-kenangan manis yang tercipta di sana seolah sirna, digantikan satu kenangan menjijikkan yang tidak bisa dihapus begitu saja dari pikiran Danis. Meski sofa yang menjadi tempat terkutuk itu sudah Danis buang dan ia ganti dengan yang baru, tetapi tidak memberikan perbedaan. Ingatannya akan hari itu justru makin menguat seiring waktu berlalu.

Setelah satu minggu tak mau bicara dengan Renata−wanita itu tetap tinggal di apartemen, namun tidur di kamar tamu−dan selalu menghindar dari istrinya itu, Danis memutuskan satu hal besar dalm hidupnya. Sesuatu yang tak pernah terbayang akan pernah ia lakukan dalam hidup.

“Aku udah memutuskan kalau kita nggak bisa lagi menjadi suami istri,” katanya kepada Renata tanpa basa-basi setelah ia pulang dari tempat kerja.

Renata yang sedang menjerang air di dapur itu termangu di tempat. “Maksud kamu apa?”

“Maksud aku sudah sangat jelas, Ren. Aku mau pisah.”

Tubuh Renata limbung. Ia harus berpegangan pada meja yang berada di dekatnya untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Kamu… kamu kamu kita pisah?”

“Setelah kamu melakukan pengkhianatan dengan terang-terangan di depanku, apa yang kamu harapkan akan aku lakukan, Ren?”

“Nggak. Kita nggak boleh pisah. Aku nggak mau pisah dari kamu,” kata Renata dengan tegas dan keras setelah berhasil menguasai diri.

“Kalau kamu nggak mau kita pisah, kamu nggak akan bermain api dengan sengaja. Tapi kamu sengaja menyakiti aku. Kamu dan Samuel sengaja menghancurkan aku.”

“Harus berapa kali aku bilang kalau aku menyesal?”ratap Renata.

Danis tak bergeming. “Sudah sepatutnya kamu menyesal kalau kamu memang masih punya hati.”

“Aku sayang sama kamu, Danis,” ucap Renata.

Alih-alih membuat Danis luluh, ungkapan perasaan Renata itu tidak membuat Danis berang. “Dan menurut kamu, aku nggak sayang kamu?”

Renata menggeleng. “Kita berdua sama-sama saling sayang. Apa itu nggak cukup buat kamu memaafkan aku?”

Danis tertawa sumbang. “Kalau kamu tahu kita saling sayang, kamu nggak akan mengkhianati aku. But you did. " Laki-laki itu diam selama beberapa saat sebelum lanjut berkata dengan lirih, "Aku salah apa sama kamu, Renata? Kenapa kamu setega ini?”

“Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang tolol karena bertindak sebodoh itu. Please, kasih aku satu kesempatan buat menebus kesalahanku. Kamu boleh marah selama mungkin, tapi jangan pisah. Aku nggak mau kita pisah cuma gara-gara ciuman bodoh−”

“Cuma gara-gara ciuman bodoh kamu bilang?” Danis lagi-lagi tertawa. Sumbang dan sinis. “Besok-besok kalau kamu dan Samuel kepergok tidur bersama, kamu juga akan bilang kalau kalian cuma tidur bersama? Seolah-olah yang kalian lakukan itu adalah hal yang bisa diberi pemakluman? You know what? You sucks, Renata! Dan aku benci kenyataan karena menikahi perempuan seperti kamu. Aku sangat menyesal menikahi kamu.”

.

.

 to be continued 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status