Share

05. Ingatan Rania

"Apa?! Tiga puluh juta?" tanya Zahrana kaget dengan biaya sebesar itu.

"Iya, mau di bayar lunas atau di cicil dulu mbak?" tanya petugas itu.

"Emm, bisa bayar pakai ATM?" tanya Zahrana.

"Bisa."

Zahrana pun menyerahkan ATM yang dia pegang pada petugas itu. Petugas itu pun mengecek ATM yang di serahkan oleh Zahrana, dia meminta Zahrana memencet pin pada alat ATM mini tersebut. Tapi dia bingung karena tidak tahu pin ATM milik kakaknya itu.

"Kalau begitu, cicil saja mbak pakai uang tunai. Ini punya kakaknya yang lagi di operasi ya. Nantu bisa di lunasi melalui ATM atau tunai lagi." kata petugas itu.

"Oh ya, sebentar pak."

Zahrana mengambil dompet kakaknya, melihat isi uang tunai di dompet itu. Di hitung hanya ada beberapa lembar ratusan saja, dia menyerahkan tujuh lembar uang ratusan tersebut.

"Apa segini dulu ngga apa-apa pak?" tanya Zahrana.

Petugas itu menghitung uang yang di serahkan Zahrana. Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan oleh petugas itu.

"Kalau bisa satu juta saja dulu mbak, kurang tiga ratus ribu. Kalau ada di tambahkan lagi." kata petugas itu.

Zahrana mengambil dompetnya, dia ingat ada uang tiga ratus lebih di dompetnya. Dia lalu membayarkannya pada petugas itu.

"Nah, nanti mbaknya bisa tanyakan nomor pin sama kakaknya kalau sudah sadar. Biar bisa melunasi pembayaran rumah sakit." kata petugas itu.

Zahrana mengangguk, dia menerima struk pembayaran tadi lalu segera pergi kembali menuju ruang operasi dimana kakaknya di operasi.

Sepanjang jalan di lorong rumah sakit itu dia selalu berpapasan dengan orang yang di dorong dengan kurai roda atau bangsal dengan langkah tergesa-gesa.

Bayi dalam gendongan Zahrana pun menggeliat, dia mencari duduk untuk membuatkan susu formula. Karena hanya itu makanan bayi saat ini.

"Mbak, kenapa bawa bayi di rumah sakit?" tanya seseorang duduk di sebelah Zahrana.

"Kalau di tinggal di rumah tidak ada yang jaga bu. Kasihan, jadi aku bawa saja." jawab Zahrana pada ibu-ibu di sampingnya.

"Apa tidak bisa di titipkan sama tetangga saja atau saudara." kata ibu itu lagi.

"Mereka sibuk bu, jadi mending saya bawa dari pada merepotkan." ucap Zahrana.

Ibu itu hanya diam saja, dia memperhatikan Zahrana yang sedang membuat susu dalam botol kemudian memberikan susu botol itu pada Raka. Dia melirik sekilas pada ibu-ibu yang masih memperhatikannya memberikan susu botol itu.

"Keluarga ibu Rania!" teriak suster.

Zahrana beranjak bangun, dia mendekat pada perawat yang tadi memanggil atas nama kakaknya.

"Ya suster, kenapa?" tanya Zahrana pada suster itu.

"Oh ya, operasinya berjalan lancar. Nanti di pindahkan ke kamar inap ya, apa sudah melakukan administrasi?" tanya perawat itu.

"Sudah suster, tapi hanya sebagian dulu. Nanti saya lunasi setelah kakak saya sadar dan mau pulang." jawab zahrana.

"Baiklah, ibu Rania akan di pindahkan sekarang. Mbaknya ikut saja dari belakang, mau ambil kelas tiga ya?" tanya perawat itu lagi.

"Iya suster."

Perawat itu hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang operasi. Tak lama bangsal Rania keluar, Zahrana masih berdiri didepan. Dia melihat kakaknya masih memejamkan matanya, wajahnya tidak sepucat tadi. Dia sudah di bantu oleh cairan infus untuk menambah tenaga dan mengganti darah yang banyak sekali keluar.

Zahrana mengikuti para perawat dari belakang, sambil menggendong Raka dan juga tas besar berisi baju kakaknya dan juga bayi kecil itu. Mereka memasuki ruang kamar inap berisi tiga orang pasien di dalamnya, ada empat bangsal. Dan salah satunya di isi oleh Rania.

Dua perawat itu membawa infus dan juga membawa obat untuk di suntikan pada Rania melalui selang infus. Setelah selesai, mereka pun keluar. Zahrana mendekat, menatap sedih keadaan kakaknya yang tirus wajahnya.

Tangannya memegang tangan Rania, hampir air matanya mengalir. Tapi kemudian dia usap, sedih dan bingung melihat keadaan kakaknya sekarang.

_

Satu minggu pulang dari rumah sakit, Rania hanya diam saja di kasurnya. Tidak boleh bergerak katanya, karena operasi kemarin memang di haruskan banyak istirahat. Kalau banyak bergerak, jahitan pada operasi terlalu banyak dan takutnya infeksi.

"Zahra, apa kamu tidak merasa capek mengurus kakak, Raka dan juga kamu harus berdagang di pasar. Kakak kasihan sama kamu." kata Rania ketika dia menyusui anaknya melihat Zahrana sedang menyetrika baju.

"Ngga apa-apa kak, kalau bukan siapa lagi yang akan mengurus kakak dan Raka. Jangan pikirkan itu, aku ikhlas mengurus kakak dan Raka kok." kata Zahrana melipat baju yang selesai di setrika.

Rania masih menatap adiknya yang begitu sibuk sejak bangun tidur sampai mau tidur malam hari. Dia merasa kasihan, tetapi apalah daya dia tidak bisa membantu adiknya.

Pikiran Rania menerawang pada masa lalu dimana dia bekerja di sebuah toko. Awalnya dia sangat nyaman sekali bekerja di sana, hingga teman satu tokonya menjebaknya untuk menggantikannya bertemu dengan seorang laki-laki.

"Siapa kamu?!" teriak laki-laki dingin itu menatap tajam pada Rania.

"Saya Rania pak, teman saya bilang saya harus menemui seseorang." jawab Rania sedikit takut dengan wajah dingin laki-laki di depannya.

Laki-laki itu pun mendengus kasar, dia menatap sinis Rania. Lalu seorang yang ada di belakangnya itu melangkah mendekat ketika isyarat mata sang bosnya menyuruhnya membawa Rania.

"Kamu ikut saya." kata laki-laki sebagai asisten bos laki-laki itu.

"Tapi, saya mau di bawa kemana pak?" tanya Rania heran sekaligus bingung.

"Diamlah, tuanku ingin membawamu ke hotel." kata laki-laki asisten itu ketus.

Rania diam, dia hanya menelan ludahnya ketika tatapannya beradu dengan mata laki-laki dingin tersebut. Dia pun menunduk, tangannya di tarik oleh asistennya. Dengan terpaksa Rania pun ikut keduanya, mereka menaiki mobil putih metalik.

Meski bingung, dia tetap masuk ke dalam mobil itu. Duduk diam di samping laki-laki dingin di sampingnya, menatap ke depan lalu beralih menatap jendela di sampingnya. Menatap jalanan yang bersjalan seperti meninggalkannya.

"Kamu temannya Risa?" tanya laki-laki itu.

"Iya tuan." jawab Rania.

"Padahal kalau dia mau, akan aku berikan apapun. Tapi sudahlah, kamu yang ikut denganku. Jadi kamu yang akan aku jadikan uji coba kejantananku apakah berfungsi atau tidak." kata laki-laki itu dengan tenang dan dingin

Rania diam saja, meski dia tidak tahu apa maksud ucapan laki-laki di sampingnya. Hatinya nampak gelisah, belum lagi dia tadi mengirim pesan pada Risa mengenai dirinya yang di bawa oleh laki-laki yang tidak dia kenal tersebut.

Satu jam perjalanan, mobil berbelok memasuki halaman hotel yang besar dan mewah. Mobil tersebut berhenti di depan pintu hotel, sang asisten sebagai supir itu keluar. Membukakan pintu mobil pada tuannya, Rania keluar sendiri di sebelahnya. Masih dalam kebingungan dia memandangi gedung hotel tersebut.

Sang asisten itu pun menyuruh Rania mengikuti langkah kemana bosnya melangkah. Mereka memasuki lift, menuju lantai lima belas dimana kamar hotel yang di pesan oleh laki-laki itu.

"Saya mau di bawa kemana tuan?" tanya Rania.

"Kamu diam saja, ikuti apa yang aku ingnkan. Tidak perlu banyak ingin tahu apa yang ingin aku lakukan padamu." kata laki-laki itu ketus dan dingin.

Rania kembali diam, dia menarik napas panjang. Dia tidak mengerti dengan sikap orang-orang kaya tersebut, dari penampilan dan mobil yang tadi di gunakan. Rania bisa menyimpulkan kalau dua laki-laki itu adalah orang kaya, dan laki-laki dingin itu bosnya sedangkan yang tadi menarik lengannya adalah anak buahnya.

Lift berhenti di lantai lima belas, Rania mengikuti kemana dua laki-laki itu melangkah. Cukup lumayan mereka melangkah, hingga di sebuah kamar hotel mereka berhenti. Laki-laki asisten itu membukakan pintu untuk tuannya, di susul Rania.

Tampak di dalam itu ada beberapa orang, ada yang memakai pakaian batik berpeci. Dua perempuan berpakaian mahal dan sedikit terbuka, serta laki-laki tua duduk di kursi roda.

"Jadi, apa sebaiknya kita laksanakan pernikahannya sekarang?"

_

_

*********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status