Rajata beringsut dari kursi. Ia kini berjongkok di samping meja makan. Menunggu Jago yang berjalan ke arahnya dengan semangat, walau langkahnya tertatih-tatih. Ketika langkah Jago semakin dekat, Rajata mengembangkan kedua lengannya. Jago makin girang dan berteriak kencang. Rajata ikut tertawa melihat Jago terus memperdengarkan tawa renyahnya. Interaksi mereka berdua tidak lepas dari pengamatan Vina. Vina seperti melihat kepribadian Rajata yang lain.
Namun ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya. Menilik begitu tulusnya interaksi antara Rajata dengan Jago. Yang ia taksir berusia sekitar enam atau tujuh namun memiliki postur seperti anak berusia lima tahun itu, wajar jika orang mengira mereka berdua adalah ayah dan anak. Namun jika dipandang dari sisi fisik dan kemiripan, keduanya sangat jauh berbeda. Jago berkulit sawo matang dengan rambut ikal cenderung keriting. Sementara Rajata berkulit putih dengan rambut lurus. Perbedaan fisik keduanya sangat mencolo
Setelah delapan hari berada di Pulau Nusa ini, baru kali inilah Vina merasa menjadi bagian dari komunitas penduduk pulau. Karena biasanya Rajata terus menyekapnya di dalam rumah seperti seorang tahanan tanpa jeruji besi. Dan kini saat ia bisa lepas sejenak dari sangkar emasnya, ia sangat antusias. Ia menikmati setiap jengkal tanah yang ia lewati.Ia tidak membawa Jago. Karena menurut Bu Sainah, Jago masih lelah karena baru saja menjalani jauh. Jago memang tinggal di ibukota selama masa terapi. Jago hanya akan pulang ke Pulau Nusa di saat hari libur. Selain itu Jago memang tidak tahan berjalan jauh. Oleh karena itulah ia hanya berduaan dengan Rumini, saat menjelajahi keindahan Pulau Nusa ini.Di sepanjang pantai mereka melewati rumah-rumah tradisional penduduk yang berupa rumah panggung. Bangunan sekolah sederhana dan juga sebuah mesjid kecil namun tampak kokoh dan teduh. Di bagian wilayah utara tampak perahu sampan dari para nela
Vina gelisah. Sudah hampir satu jam ini ia terjebak bersama Rajata dan tiga orang rekannya. Saat ini ia bersama Rajata dan ketiga rekannya berada di showroom Soul Pearl. Rajata dengan dibantu dua orang staff showroom, tengah memamerkan mutiara-mutiara bernilai seni tinggi pada ketiga rekannya.Sebenarnya Vina tidak keberatan menemani Rajata bekerja. Masalahnya adalah Rajata kerap memperlakukannya dengan intim, selama ia menjelaskan tentang kualitas mutiaranya. Seperti saat ini saja misalnya. Raja terus merangkul bahunya, sementara staff showroom menjelaskan jenis-jenis mutiara unggulan mereka."Kalian sudah melihat sendiri kualitas mutiara-mutiara hasil budi daya Soul Pearl ini bukan? Sebagai informasi tambahan, semua mutiara-mutiara saya ini telah mendapatkan sertifikat dari Gemological Institute of America."Rajata melepaskan rangkulannya. Vina menarik napas lega. Namun kelegaannya tidak berlangsung lama. Karena Rajata
Vina mencagak motor di depan rumah. Kemudian ia menyeka wajahnya yang terasa lengket oleh debu dan keringat dengan sapu tangan kecil. Ia baru saja kembali dari tambak udang dan kepiting dengan meminjam motor Pak Mustiarep. Resiko menggendarai motor memang seperti ini. Semua debu dan kotoran selama berkendara, akan melekat pada tubuh. Namun ia memang membutuhkan motor ini. Aktivitasnya sekarang menuntut ia harus memiliki kendaran.Setelah motornya tercagak, Vina menghempaskan bokongnya di kursi depan. Ia lelah sekali. Sudah seminggu ini aktivitasnya luar biasa padat. Dimulai dari mengawasi kemungkinan adalanya tengkulak di Tempat Pelelangan Ikan. Mengontrol kinerjapara pekerja tambak udang dan kepiting. Hinggamengamati aktivitas para pekerja di tempat penangkaran mutiara. Ia mendapat tugas-tugas ini dari Rajata, karena Rajata sudah kembali ke Jakarta.Ya, sudah seminggu ini Rajata meninggalkan pulau. Dan dalam seminggu ini p
"Setahu saya, Pak Raja dan ayahnya ini sudah lama tidak saling berhubungan bukan?" Vina mensejajari langkah-langkah panjang Rumini. Ia memerlukan sedikit gambaran sebelum menghadapi ayah Rajata. Ia takut salah bersikap."Sepengetahuan Pak Raja sih tidak, Bu. Tapi sebenarnya sesekali Pak Ramdan singgah ke rumah ini untuk menemui ayah saya. Kadang mereka bertemu di kedai kopi dekat dermaga. Pak Ramdan ini teman ayah saya sejak muda dulu, Bu." Rumini menjawab sesuai dengan apa yang ia tahu. Memang seperti itulah yang diceritakan ayahnya."Apa nggak pernah kepethuk dengan Pak Raja saat Pak Ramdan ini datang?""Selama ini nggak pernah sih, Bu. Soalnya Pak Raja itu jarang ke pulau. Paling sebulan sekali. Sejak ada Ibu di sini saja, baru Bapak sering ke pulau."Jawaban Rumini ini memberi satu pengertian baru. Bahwa sesungguhnya Pak Ramdan ini tidak meninggalkan Rajata sepenuhnya. Ia
Vina melirik Rajata yang tertidur pulas di sampingnya. Dengan tangan gemetar ia menutupi tubuhnya yang terbuka dengan selimut tebal. Dengan pandangan nelangsa ia memandangi ranjang yang kusut, berikut pemiliknya. Rajata, terlihat kelelahan setelah tidak puas-puasnya mereguk asmara.Vina berjalan terseok-seok dengan selimut tebal yang menyulitkan langkahnya. Setelah ia menarik sehelai daster bermotif bunga-bunga di gantungan. Mengenakannya tergesa, sembari menarik selimutnya dari balik daster. Ia bermaksud ke dapur alih-alih mendem bersama dengan Rajata di dalam kamar. Ia malu. Malam belum terlalu tua, tetapi ia sudah mengurung diri di dalam kamar.Baru saja Vina bermaksud membuka pintu kamar, suara lenguhan sedih Rajata singgah di telinganya. Rajata tengah bermimpi buruk sepertinya."Aku benci Ayah! Benci! Pukul aku sampai mati. Sampai di neraka nanti aku akan berdoa semoga Ayah segera menyusul ke sini!"
Sedari bangun tidur tadi, Vina sudah merasa tegang. Sebenarnya bukan hanya dirinya saja yang tegang, tetapi Rajata juga. Vina adalah saksi bagaimana Rajata terus membolak-balik posisi tidurnya. Ia hanya pura-pura tidur saja demi mengurai kecanggungan. Bayangkan, bagaimana awkwardnya situasi apabila mereka sama-sama tidak bisa tidur, tetapi tidak saling berbicara. Makanya ia mengambil jurus aman dengan berpura-pura tidur saja. Lama-kelamaan ia malah tertidur sungguhan.Pada saat dirinya terbangun, Rajata baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih setengah basah dengan bulir-bulir air yang menetes di ujung-ujungnya. Sehelai handuk putih tergantung di pinggulnya. Rajata baru selesai mandi dan sepertinya akan berpakaian.Mereka bertatapan sejenak sebelum sama-sama membuang pandang. Beginilah interaksi mereka apabila tidak ada mata dan telinga lain yang menyaksikan. Beraktivitas dalam diam dan hanya berbicara seperlunya.
Vina terbelalak saat melihat seseorang menusukkan sebilah pisau pada Rajata. Tanpa memikirkan apapun, ia segera berlari keluar dari pondok persembunyiannya.Tolong lindungi Rajata, ya Allah!Vina menggumankan doa sepanjang kakinya berlari. Karena jaraknya mengintai tidak terlalu jauh dari warung, Vina tiba di depan warung dalam hitungan detik. Vina terkesiap. Bukan! Ternyata bukan Rajata yang terkena tusukan pisau. Sosok yang terkapar di lantai warung adalah laki-laki berjaket tebal dan bertopi lebar yang ia amati tadi.Vina takut. Namun ia penasaran dengan sosok yang kini tengah ditolong oleh Pak Mustiarep dan beberapa penduduk. Sementara Rajata berdiri kaku bagai patung. Tatap matanya kosong saat memandang orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Sikap Rajata sangat aneh. Alih-alih membantu Pak Mustiarep, Rajata malah bersikap seperti orang linglung.Mengetahui kalau Rajata baik-b
Rajata masih terpekur di atas tanah basah makam ayahnya. Sementara para pelayat satu persatu mulai meninggalkan makam. Kini hanya tersisa tiga orang di sana. Dirinya, Vina dan juga Pak Mustiarep. Tidak ada Tante Rena alias ibu tirinyadi sana. Padahal biasanya ibu tirinya itu seperti ekor ayahnya. Selalu bersama ayahnya di mana pun dan kapan pun juga. Tante Rena terlalu takut kalau ia melewatkan aset-aset ayahnya.Namun sekarang, lihatlah. Perempuan perusak rumah tangga orang tuanya itu, sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Tante Rena adalah perwujudan dari peribahasa ; senang kita nikmati bersama. Susah kamu hadapi sendiri saja."Apa Tante Rena tidak tahu kalau ayah meninggal, Pak Arep?" Rajata akhirnya membunyikan juga rasa penasarannya."Tahu, Pak Raja," sahut Pak Mustiarep singkat. Saat ini kepalanya penuh dengan pesan-pesan Ramdan. Ia harus segera meluruskan kesalahpahaman akibat kekeras