Akhirnya ia kembali ke Jakarta. Saat ini dirinya dan Rajata tengah berkendara menuju apartemen Rajata. Selama di Jakarta, mereka berdua akan tinggal di sana. Namun Vina merasa bahwa kata mereka berdua itu hanya kamuflase belaka. Yang sebenarnya adalah dirinya sendiri yang akan tinggal di apartemen, sementara Rajata pulang ke rumahnya. Karena sesaat setelah berkendara, Vina mendengar Rajata menelepon ART-nya. Mengabarkan bahwa dirinya akan pulang ke rumah.
Dalam diam Vina mengamati banyak hal. Salah satunya adalah Rajata enggan kalau rumah masa kecilnya dihuni oleh orang lain. Rajata memang tidak mengatakannya. Namun dengan dititipkannya dirinya di apartemen, sudah menjawab semuanya. Rajata tidak ingin membagi masa lalu bersamanya.
Ketika melewati jalan Thamrin, Vina membuka kaca jendela mobil. Dulu ia kerap melewati jalan ini. Berlalu lalang setiap pagi dan sore. Pagi, saat ia sesekali ikut bersama ayahnya mengecek bahan-bahan ya
"Selamat ya, Vina, Raja. Akhirnya lo punya generasi penerus juga. Padahal gue pikir lo bakalan jadi bujang lapuk abadi setelah dighosting Sarah." Mendengar kalimat dokter Lita, Vina yang bermaksud menerima jabat tangan sang dokter, mematung sesaat. Beberapa detik kemudian baru ia membalas jabat tangan dokter Lita.Hening. Dokter Lita tersenyum rikuh. Ia memandang Rajata dengan tatapan meminta maaf."Mulut lo dari dulu memang nggak pernah terdidik ya, Ta?" sembur Rajata kesal. Inilah hal yang membuatnya tidak nyaman mempertemukan Vina dengan teman-teman lamanya. Mereka terkadang suka kelepasan berbicara."Sorry... sorry... itu hanya intermezzo ya, Vin? Jangan dianggap serius. Intinya kandungan kamu baik. Usianya lima minggu dan sudah masuk kantong." Dokter Lita dengan luwes mengubah topik pembicaraan. Vina mengangguk. Ia menghargai usaha dokter Lita yang masih
Semakin mendekati gedung kantor, perasaan Vina semakin tidak karuan. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam benaknya. Ia mengkhawatirkan rumors miring yang akan menyerbu kantor, apabila melihat kehadirannya. Istimewa ia datang bersama Rajata. Padahal sudah menjadi rahasia umum, kalau hubungannya dengan Rajata di masa lalu, bagaikan kucing dan anjing. Mereka akan saling mencakar satu sama lain jikalau ada kesempatan. Kabar dirinya dipecat secara tidak hormat oleh Rajata juga telah terdengar di seluruh penjuru kantor. Dan kini melihat mereka berdua bersisian masuk ke dalam gedung, pasti membuat pikiran mereka travelling.Saat ini ia sedang berkendara dengan Rajata ke kantor. Pada pukul sepuluh pagi nanti, Rajata akan menghadiri sidang Aria. Sementara ada beberapa client penting yang akan menyambangi kantor. Rajata memintanya mewakili dirinya sebagai istri pemilik perusahaan untuk menjamu klien-klien penting itu. Vina
"Briefing pagi ini akan saya mulai dengan memperkenalkan istri saya pada kalian semua, yaitu Ibu Davina Bagaskara. Saya yakin kalian semua telah mengenal Ibu Vina dengan baik saat menjadi salah satu staff di kantor ini... dulu." Rajata sengaja menekankan kata dulu, demi memperjelas maksud yang tersirat dalam kalimatnya."Setelah saya memperkenalkan Ibu Vina secara resmi sebagai istri saya, saya harap rekan-rekan sekalian memperlakukan Ibu Vina selayaknya memperlakukan istri seorang pimpinan," tegas Rajata."Saya tidak mau mendengar adanya rumors yang tidak sedap tentang istri saya, dalam hal apapun. Ini kantor. Maka selayaknya rekan-rekan sekalian ada ke sini untuk bekerja. Titik. Jikalau saya mendapati rekan-rekan sekalian melanggar apa yang sudah saya tegaskan tadi, maka saya akan memberi sanksi. Sanksi itu bisa berupa teguran, SP 1, SP2 hingga pemecatan secara tidak hormat."Selama
"Selamat datang, Bu Sharen, Pak Andy, Pak Kevin, Pak Ghifari. Mari silakan masuk." Setelah menimbang-nimbang sejenak Vina, memutuskan untuk bersikap apa adanya saja menghadapi Ghifari. Tidak ada gunanya juga pura-pura tidak saling mengenal. Ia akan menunjukkan pada Ghifari arti sebuah kedewasaan. Selain itu ia ingin Ghifari tahu bahwa dirinya tidak takut padanya."Wah, Bu Vina sudah mengenal Pak Ghifari rupanya. Jadi saya tidak perlu susah-susah memperkenalkan kalian lagi bukan?" Sharen tertawa anggun khas sosialita. Tawa seperti ini memiliki banyak makna. Vina belum bisa menebak arti tawa Sharen. Oleh karenanya ia hanya membalas dengan senyum tipis saja."Bukan hanya kenal, Bu Sharen? Tapi sangat kenal. Iya kan, Din, Eh Vin?" imbuh Ghifari dengan suara di hidung.Ghifari sengaja pura-pura salah menyebut namanya. Ia menyapa Dina alih-alih Vina.Kini Vina sudah bisa menebak maksud kedatang
Vina berdiri gelisah di depan ruangan kerja Rajata. Semenjak pulang dari persidangan, Rajata sangat murung. Di kantor tadi, Rajata menjemput dan memintanya beristirahat saja di rumah. Alasan Rajata, ia takut kalau dirinya kelelahan. Setelah mengantarnya pulang ke rumah, Rajata kembali lagi ke kantor dan baru pulang pada pukul sepuluh malam. Itu pun Rajata langsung masuk ke ruang kerja dan tidak keluar-keluar lagi. Biasanya setelah pulang kantor, Rajata akan membersihkan diri dan makan dulu. Baru ia bekerja di ruangannya.Kini sudah pukul dua dini hari, namun Rajata belum juga keluar dari ruang kerjanya. Tidak biasanya Rajata seperti ini. Pasti telah terjadi sesuatu di persidangan, sampai Rajata mengurung diri seperti ini.Melihat keadaan Rajata yang seperti ini, Vina tidak berani mengusiknya. Padahal Vina sangat ingin mengetahui hasil dari persidangan tadi. Menilik dari bahasa tubuh Rajata, Vina menduga kalau hasilnya pasti tidak baik. Makanya
"Lain kali kamu jangan melakukan hal seperti itu lagi ya, Vin? Tiba-tiba menghilang tanpa kabar, dan tahu-tahu akan menikah saja. Ayahmu hampir saja membuat laporan ke pihak yang berwajib, sebelum akhirnya Rajata menelepon. Membuat kejutan sih boleh saja. Tapi jangan sampai keterlaluan seperti itu. Kamu membuat Ayah dan Ibu ketakutan setengah mati, Vina."Bu Misna mengomeli Vina. Setelah menghilang sekian lama karena menikah, untuk pertama kalinya anak dan menantunya pulang. Melihat anak gadisnya dalam keadaan baik-baik saja, Bu Misna sangat lega. Tetapi tetap saja ada rasa jengkel di hatinya. Bu Misna teringat pada saat Vina menghilang beberapa bulan lalu. Dirinya, suaminya serta Suci kelabakan mencari keberadaan Vina. Suci menelepon ke semua teman Vina yang yang ia kenal, sementara suaminya menyusuri jalan-jalan yang biasa Vina lalui dengan mengendarai gerobak bakso hingga tengah malam buta. Namun semua usaha mereka tidak membuahkan ha
Vina berjalan hilir mudik di rumah kontrakan Suci. Pikirannya kacau karena terus menduga-duga hubungan antara Rajata dengan perempuan cantik tadi. Apalagi jika mengingat anak laki-laki kecil yang memanggil mommy pada wanita tersebut. Jangan-jangan anak laki-laki itu adalah anak mereka berdua. Terjebak oleh prasangkanya sendiri, Vina kian gelisah."Lebih baik lo duduk dulu, Vin. Ini minum dulu biar hati lo adem." Suci menuntun Vina duduk di sofa. Setelahnya ia menggenggamkan segelas air dingin ke tangan Vina. Ia tidak menyangka kalau cuti yang ia ambil untuk mengajak Vina hang out akan berakhir seperti ini."Minum, Vin. Minum. Biar hati dan kepala lo dingin dulu," desak Suci lagi.Seperti robot, Vina meneguk air dingin di dalam gelas hingga tandas. Setelahnya ia beranjak dari sofa, dan berjalan mondar-mondir dengan mulut komat-kamit.Suci menepuk keningnya. T
"Ditiup-tiup dulu baksonya, Vin? Masa masih berasap begitu kamu telan saja? Apa tidak panas?" Rajata ngeri melihat istrinya melahap bakso seperti orang yang tidak makan seminggu. Padahal bakso tersebut masih mengeluarkan asap, pertanda masih sangat panas.Saat ini mereka sedang makan malam. Vina tiba-tiba saja tidak berselera dengan menu yang dimasak oleh Ceu Titin. Vina ingin makan bakso. Baksonya juga bakso spesial. Yaitu Bakso Pak Kumis, gerai bakso ayahnya. Lebih tepatnya Bakso Pak Kumis cabang jalan Aksara, yang pulang perginya saja memakan waktu tiga jam. Itu pun kalau mengebut. Padahal ada gerai bakso yang sama, di mana lokasinya hanya lima belas menit dari kediaman mereka. Namun Vina bersikeras ingin bakso yang berasal dari gerai yang ada di jalan Aksara. Tidak boleh memakai jasa gojek lagi. Harus Rajata sendiri yang membelinya. Alhasil mereka baru bisa makan malam pada pukul sembilan malam, di mana rasa lapar Rajata sudah sampai di titik nadir.