All Chapters of SARANG PREDATOR: Chapter 21 - Chapter 30
46 Chapters
BAB 21
Dan bagi keluarga Bramantyo, makan malam adalah segalanya.Sebuah meja panjang berkilau yang dapat menampung lima orang di setiap sisi, dengan satu kursi di setiap ujungnya berada di tengah ruangan. Desain ruang makan rumah ini dipikirkan dengan serius—mungkin mereka punya seseorang yang mengerjakan itu—dan hiasan seperti dua tiang emas tempat lilin menyala dan rangkaian bunga bundar digunakan untuk mempercantik meja makan. Ruangan ini juga memiliki perapian dan lampu gantung besar yang berkilau.Sepertinya aku dan Adib yang terakhir tiba di ruang makan. Aqmal, tidak mengherankan, duduk di kursi yang letaknya paling strategis—berhadapan langsung dengan pintu masuk. Di ujung seberang meja Aqmal ada Andika—yang melirik ke arahku saat kami masuk, tetapi dengan cepat teralihkan oleh seorang wanita muda yang membungkuk untuk mengisi gelas airnya. Seorang pria yang tidak aku kenal duduk di kursi pertama di sebelah kiri Andika di samping Mutiara. Ada tiga
Read more
BAB 22
Setelah makan malam, Adib mengajakku berkeliling seperti yang dia janjikan. Di rumah ini  ada kolam renang dalam ruangan (mungkin digunakan ketika udara terlalu dingin untuk berenang di luar), gym, sejumlah kamar, perpustakaan, ruang bioskop mini, dan begitu banyak ruangan lain yang sepertinya kosong. Ketika kami sampai di tempat tinggal para pelayan, suasana menjadi lebih ‘rumah’. Pada dasarnya, ruang pelayan seperti sebuah rumah di dalam sebuah rumah. Ada lorong terpisah di belakang dapur yang mengarah ke sani, dan seperti rumah, tempat ini memiliki ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di ujung aula ada empat kamar tidur dan dua kamar mandi.“Selain pelayan yang tadi aku lihat dan Asih, ada lagi, kah, pelayan lainnya?” aku bertanya kepada Adib.Adib mengangguk. “Pengasuh anaknya Aqmal, Risma.”“Pengasuh anaknya Aqmal?”Adib menjawab dengan mengangguk. "Aqmal memiliki seorang putri, namanya Tara."
Read more
BAB 23
“Tunggu, kau ingin mengajak Ibu makan malam dengan siapa?”Aneh rasanya mencoba menjelaskan hal ini kepada Ibu, tetapi karena aku harus segera pergi untuk makan malam di rumah Bramantyo (dan aku berasumsi Aqmal sedang menunggu kedatanganku), aku harus menjelaskannya dengan cepat.“Dengan sepupu Adib. Dia wali Adib, kurasa. Adib tidak tinggal bersama orang tuanya. "“Siapa yang membesarkannya?” Ibu bertanya heran.Sebenarnya itu pertanyaan yang bagus. Namun mengingat kembali sepertinya Adib tidak pernah diperlakukan seperti orang seusianya oleh Aqmal, aku sedikit keberatan untuk mengakuinya. “Oleh keluarga sepupunya,” jawabku. Ya, aku dalam misi berbeda kali ini—merayu Ibu agar mau memenuhi undangan Aqmal.“Sepupunya lebih tua darinya?”“Ya. Aku pikir usianya sekitar tiga puluh lebih.”Ibuku mengangguk-angguk menanggapi itu. “Ngomong-ngomong, I
Read more
BAB 24
Untuk beberapa alasan, alih-alih mengirim Adib, mereka mengirim seorang Sopir untuk mengemudikan mobil yang menjemputku. Aku pikir itu dilakukan Aqmal untuk membuat ibuku terkesan—apakah itu berhasil? Supir itu berdiri di depan pagar. Wajahnya berusaha dia tekan agar memunculkan kesan ramah padahal tetap saja garang—aku yakin dia salah satu anak buah Aqmal—bahkan hampir mengeluarkan air liur saat aku naik ke kursi belakang dengan gaun baru yang cantik.Aku merasa sangat bersemangat dalam perjalanan, dan pada saat sampai di sana, aku merasa seperti Cinderella. Sopir bahkan membukakan pintu untukku.Andika yang menunggu di depan pintu masuk rumah, membuka pintu. Adel berdiri di belakangnya. “Aku datang!’ kataku bersemangat—sebenarnya aku bicara pada Adel, tetapi Andika yang tersenyum.Adel menghampiriku dan, sambil tersenyum penuh kasih sayang, dia berkata, "Kamu sangat ... " Dia menghentikan ucapannya lalu pend
Read more
BAB 25
Aqmal mengirim mobil—beserta supirnya, tentu saja—untuk menjemputku dan Ibu ke sebuah restoran mewah di kota.Om Anton bersedia mengawasi adik-adikku untuk pertama kalinya, dan aku membayangkan mereka semua duduk di sofa, menonton sepak bola, dan minum bir. Ibu meyakinkanku bahwa dia sudah menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk mereka makan malam sebelum pergi, jadi tidak ada kemungkinan adik-adikku akan kelaparan."Ini sangat mengasyikkan," kata Ibu kepadaku, begitu kami sampai di restoran. Tentu saja baginya; ini malam yang menyenangkan. Kapan lagi bisa makan di restoran semewah ini.Sepanjang perjalanan ke sini, Ibu banyak menanyaiku tentang keluarga Adib—apa yang mereka suka? Apakah mereka tampak seperti keluarga kriminal? Seberapa kaya, sih, mereka?Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan budaya aneh keluarga Bramantyo, jadi aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan ibuku sesingkat dan sewajar mungkin
Read more
BAB 26
Tangan Adib bergerak di sepanjang lekuk punggungku yang telanjang, sentuhannya ringan, hampir seperti menggelitik Aku tengkurap di tempat tidur, kepalaku bertumpu pada lenganku di atas bantal lembut dan empuk. Aku suka saat dia menyentuhku. Aku suka akan fakta; aku berbagi tempat tidur dengannya.“Kau akan membuatku tertidur,” kataku padanya sambil tersenyum santai.Sambil tersenyum, dia berkata, "Ini sudah lewat tengah malam; itu mungkin hal yang baik. ”Aku menghela napas saat tangannya berpindah mengusap seluruh punggungku, dan aku memalingkan wajah untuk melihatnya. Itu mengingatkanku pada malam saat dia menyelinap untuk memelukku. Aneh sekali, saat mengetahui dia tidak perlu menyelinap lagi.Dua minggu sudah berlalu dan aku merasa cukup mampu beradaptasi dengan keluarga iniAqmal sudah tidak terlalu mengawasi pergerakan Adib dan aku sekarang, membiarkan kami tenang. Aku t
Read more
BAB 27
“Siapa yang akan kau nikahi?”Mutiara mendongak, kaget, saat aku duduk di kursi di depannya. Melihat aku yang bertanya, dia tertawa kecil, membalik halaman berikutnya dari majalah Panduan Pengantin. “Tidak ada. Tapi akan. Aku tidak mau mati tanpa anak dan sendirian. ""Punya anak ... kedengarannya menyenangkan," kataku, lalu mengambil stroberi dan memasukkannya ke dalam mulutku.“Semua menyenangkan, sepanjang waktu, itulah hidupku.”Setelah beberapa menit, dia menutup majalah dan mendoronganya ke seberang meja ke arahku. “Kau bisa memilikinya jika kau mau.”Aku berkedip saat majalah itu sampai di depanku. "Aku?"“Kau akan menikah sebelum aku menikah,” katanya, lalu berdiri dan mengumpulkan piring sarapannya.“Apakah semua orang di rumah ini tahu bahwa aku baru berusia 20 tahun?” aku bertanya, dengan nada bercanda. “Siapa yang menikah semuda itu? Juga, sementara Adib
Read more
BAB 28
Meskipun Mutiara meyakinkanku bahwa aku bukan tahanan dalam bentuk apa pun, Aqmal masih tidak mengizinkan aku pergi keluar rumah tanpa pengawasan. Adib biasanya memberiku tumpangan ke dan dari sekolah, tetapi sekarang aku punya pekerjaan, aku tidak tahu apakah dia akan selalu ada untuk mengantarku. Aku tidak tahu bagaimana nantinya, tetapi untuk hari pertamaku, Adib mengantarku ke toko roti.Saat kami memasuki toko roti dan melihat seorang pria yang cukup menarik di belakang meja depan, aku melihat lengan Adib dengan posesif merangkul pinggangku.Pria di belakang meja kasir tersenyum padaku. “Kau pasti Irina. Mutiara bilang kau akan datang hari ini.”“Apakah dia tidak datang hari ini?” tanyaku bingung.“Dia harus pergi karena ada urusan di luar. Tapi akan segera kembali. Aku akan melatihmu hari ini, jadi jika kau ingin, kita bisa mulai sekarang.”Aku pergi untuk menjauh dari Adib, tetapi dia menarik
Read more
BAB 29
“Kau bisa mengeluarkan rotinya.”Aku mengambil kedua keranjang roti dan pergi ke ruang makan. Ini hari Minggu, jadi meja makan malam ini penuh dengan anggota keluarga yang akan aku temui—masih banyak yang belum aku kenal. Setidaknya setengah dari waktu makan malam aku tidak terlibat dengan percakapan, jadi itu tidak masalah. Seperti yang dikatakan Adel kepadaku, aku khawatir keluarga itu akan menjadi lebih chauvinistik, tetapi sebagaimana adanya, makan malam Minggu malam tampak seperti panggilan kembali ke tradisi lama. Aku tidak akan menyalahkan mereka.Saat aku kembali ke dapur, aku mengambil salad Adib. Sebelum aku keluar, Adel memanggil, "Na, Aqmal sudah memberitahumu, kan?”“Beritahu apa?”Adel mengernyit. “Kapan terakhir kau bicara dengannya?”Sedikit terkejut, "Oh", aku berbalik. "Terakhir kali dua minggu lalu," kataku.“Dia tidak membicarakan tentang makan malam?”
Read more
BAB 30
Adib sedang melepas pakaiannya ketika aku masuk ke dalam kamar.Naluri pertamaku adalah mundur dari kamar untuk memberinya privasi, tetapi kurasa itu bodoh. Kami sudah berhubungan seks, dan sekarang kami tinggal di kamar yang sama—kami sudah melewati itu.Aku secara halus berdehem, supaya Adib tahu aku di sini. Dia melirik ke belakang dari balik bahunya cukup lama untuk manatapku, lalu melangkah menuju lemari, meraih kaus dan memakainya.  "Kita harus nonton film yang bagus malam ini," kataku padanya. "Aku terlalu kenyang untuk berondong jagung, tapi menurutku ... nonton film bisa sesuai dengan yang diperintahkan dokter: baik untuk kesehatan mental."Keheningannya yang membatu terus berlanjut, menandakan dia tidak akan menjawabku.Aku melepas sepatuku, lalu menggunakan kakiku untuk menggesernya ke samping meja samping tempat tidur. "Atau kita bisa melakukan sesuatu yang lain, jika kau mau.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status