PERHATIAN! CERITA INI BERISI KONTEN DEWASA (21+) HARAP KEBIJAKAN PEMBACAJudul: SARANG PREDATOR Penulis: Ahmad RusdyFiksi, sub-genre: Suspense, Crime, Romance, ErotisSegmen Pembaca: DewasaBlurb: Adib tidak pernah punya alasan untuk memperhatikanku, sampai secara tidak sengaja aku menyaksikan kejahatannya. Keluarganya tidak akan pernah membiarkan seorang saksi hidup, tetapi Adib tampaknya berbeda. Dia tahu hal terbaik yang bisa dia lakukan untukku adalah menjauh, tapi ada sesuatu yang membuat kami tetap bersatu, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak mencintainya. Namun masalah buatku adalah, Adib seperti sebuah paket; jika aku menginginkannya, aku juga harus berurusan dengan keluarganya. Dan sekarang, aku terjebak dalam jeratan keluarga kriminal yang terkenal kejam. Akankah hidupku menjadi milikku lagi?
๋ ๋ณด๊ธฐIbu selalu menasehati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap โpria nakalโ, dan aku mendengar nasehat itu hampir sepanjang hidup.
Ibu pasti mengira aku telah memahaminya. Namun, saat aku meletakkan bantal di wajah lalu mentupi seluruh tubuh dengan selimut untuk menelepon Riko Meilando, pria nakal kaya raya yang terus-menerus mendekatiku selama beberapa minggu, itu tidak bagus, untuk ibuku, sudah pasti.
Yang aku tahu, Riko sudah putus dengan Alia satu bulan yang lalu. Alia Mega yang cantik dan pintar. Seorang kutu buku yang ekspresi wajahnya terbatas pada variasi kebosanan dan kesombongan yang menyebalkan. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mempermalukannya di depan teman-teman. Tentu saja, hanya jika aku bisa menangkap detik-detik momen cerobohnya.
Tapi jujur, Alia punya mata yang bagus. Dan cara dia melihat saat tersenyum kepadaku โฆ
"Persetan!" gumamku, lalu menyibakkan selimut, mengayunkan kaki ke lantai, mengambil beberapa langkah ke depan, menatap pintu kamar dan aku tidak mendengar suara televisi di ruang keluarga menyala. Ibu sudah tidur. Dia pasti akan marah jika mengetahui aku menelepon pria yang tidak akan direstuinya pada jam sebelas malam. Aku yakin seratus persen.
Aku kembali menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggirannya. Jari-jariku menelusuri nama kontak di ponsel dan tanpa sadar tersenyum ketika melihat kontak Riko yang namanya aku samarkan: โPenjaga Perpusโ (seandainya Ibu melihat nomornya berkedip di layar ponselku). Tadi dia izin untuk mandi dan akan meneleponku kembali setelah selesai.
Secercah cahaya yang hinggap di jendela kamar menarik perhatianku. Aku yakin sumber cahayanya dari rumah depan. Pecandu tinggal di sana dan selalu ada orang yang datang larut malam, jadi aku tidak perlu penasaran dan bersiap kembali sembunyi di dalam selimut ketika Riko menelepon. Namun, semua pikiran tentang Riko tiba-tiba hilang dari kepalaku saat cahaya yang tadinya kuning menjadi oranye, dan semakin terang. Otakku perlahan memproses bahwa yang kulihat itu bukan cahaya, tetapi api.
Aku berdiri dan mendekati jendela. Saat mataku menyapu rumah tetangga depan, sedan tua miliknya yang diparkir di teras rumah, terbakar.
Mataku melebar dan untuk sesaat, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku berjinjit untuk mencari orang dewasa atau siapa pun yang tahu harus melakukan apa, tetapi tidak ada. Sedangkan pemilik rumah dan mobil itu mungkin sekarang sudah teler di atas ranjang, tidak bisa diharapkan. Aku berlari ke luar kamar, menuju ruang tamu dan membuka pintu utama rumahku. Pandanganku mengarah tepat ke mobil terbakar itu, dan ada sebuah mobil diparkir tak jauh dari rumah tetanggaku. Dari posisiku, aku bisa melihat bagian depan mobil itu, aku yakin itu sedan, warnanya merah.
Sesuatu membuat jantungku berdegup kencang, ketika mesin sedan merah itu menyala. Hal yang sontak membuatku melangkah mundur memasuki rumah dan menutup pintu ruang tamu. Pikiran tentang: kenapa orang di dalam sedan merah itu tidak berusaha memadamkan api? Atau, jangan-jangan dia yang membakarnya? Tentu saja membuatku takut.
Jari-jariku melingkari ponsel erat-erat, dan aku memutuskan untuk menelepon polisi, tetapi ada sesuatu yang menghentikanku.
"Ayo," kata seseorang, suaranya rendah dan parau.
Kemudian seorang pria membuka pagar rumah itu, lalu melangkah ke luar. Aku tidak tahu seperti apa dia, tapi aku tahu dari rambutnya yang acak-acakan itu bukan tetanggaku. Jadi aku menyimpulkan kalau pria itu temannya yang sering berkunjung (keluar dari dalam rumah, kan?).
Aku membuka mulut untuk memanggil, tetapi sesuatu tentang caranya bergerakโdengan tenang tapi cepat, membuka pintu depan bagian penumpang sedang merah lalu membungkuk memasukinya, seolah mencoba menyembunyikan dirinya di tempat terbukaโmembuatku terdiam.
Alih-alih keluar dari rumah dan berteriak, aku tenggelam dalam kengerian. Tangan yang mencengkeram ponselku bergetar saat membuka aplikasi kamera, menggesernya ke video, dan mengarahkan kamera ponsel ke rumah tetangga depan.
Pria kedua keluar dari dalam rumah. Dia tampak lebih tenang dari pria sebelumnya, seolah-olah tidak ada hal ganjil di sana. Sambil menghisap rokok dan tangan satunya disembunyikan di saku celana, dia berdiri di depan pagar cukup lama, menatap mobil yang terbakar.
Aku terkejut bukan main, ketika sekonyong-konyong ponselku berbunyi melantunkan intro lagu โSweet Child O Mineโ dengan suara yang keras! Riko menepati janjinya, menelponku. Namun tentu saja hal itu justru membuatku panik lalu dengan cepat memutus panggilan dan, sambil berharap semuanya akan baik-baik saja, pandanganku kembali ke depan. Perasaanku semakin tenggelam dalam kengerian saat mataku terhubung dengan mata Pria Kedua. Aku menjatuhkan ponselku.
Yang mengejutkan, aku mengenalnya.
Aku pernah melihatnya di kampus dan mendengar cerita tentang keluarganya.
Dan saat dia melangkah ke arahku, aku tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut.
Sambil berdiri tepat di depan pagar rumahku, ragu-ragu dia melihat ke mobil, lalu kembali menatapku. Aku bergegas menutup gorden dan melangkah mundur menjauhi jendela.
"Oh, Tuhan," aku merengek pelan. Aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini dalam hidupku.
Yang terjadi sekitar tiga sampai empat menit kemudian, aku mendengar suara mobil melewati rumah dan menjauh.
Dia pergi? Entah. Aku harus memeriksanya dan betul, sedan merah itu tidak ada lagi di sana.
Aku meraih ponsel di lantai dan berpikir untuk menelepon polisi. Jika aku melakukannya, polisi akan menjadikanku saksi dan akan mengajukan beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi.
Aku harus memberi tahu polisi bahwa Adib Bramantyo, dari keluarga Bramantyo yang terkenal, berada di lokasi ketika kebakaran terjadi.
Namun itu sangat berbahaya mengingat siapa keluarga Bramantyo. Jadi, aku membuat keputusan untuk kembali ke kamar tidur dan berusaha melupakan semua yang aku lihat, walau itu tidak mungkin.
Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.โKau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,โ canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,โ candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. โIni rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.โDia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagiโsudah lama se
Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannyaโdia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkanโtetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b
Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebekโdan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkapโini benar-benar bencana.Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal โฆ aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.Polisi akan menangkapnya.Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?"Itu dia, kau bajingan pe
Adib duduk di tepi tempat tidur, mengamati Adel menggulung rambutku.Tidak ada yang berbicara. Terkadang Adel, ketika dia harus menyuruhku memiringkan atau tidak menggerakkan kepalaku, tetapi Adib dan aku sama-sama diam.Akhirnya selesai, dia mengambil hair spray dan menyemprot rambutku.โApakah kau perlu ada di pertandingan itu?" tanya Adib, dengan perasaan kesal.Aku agak menyesal tidak menerima tawaran Aqmal untuk membuat Adib sibuk. Mungkin seharusnya aku memintanya, meskipun aku tetap akan memberi tahu Adib tentang ini. Tidak membantu siapa pun untuk membuatnya duduk di sini, menonton Adel mendandaniku atas perintah Aqmal, tidak ada dari kami yang tahu persis apa yang akan aku alami nanti, karena kami semua sadar apa pun bisa terjadi.Adel mengerti situasi di kamar ini, jadi dia tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan.โAyo ambil pakaiannya. Di mana kau meletakkannya?
Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.โBagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?โ Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar
Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmalโsetidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat dengankuโsemalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng
Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"โIni hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.โ"Aku harus ikut?โDia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba
Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang โฆ ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t
Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.โ Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. โTahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
๋๊ธ