Semua Bab Love by Choice: Bab 21 - Bab 30
54 Bab
Examination
"Gia berangkat," pamit Gia ke Ayah dan Bunda sambil setengah berlari menuju ke garasi. Hari ini hari pertama Gia Ujian Semester. Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini. Ujian pertama di jam tujuh pagi. Seharusnya, Gia sudah sampai kampus pukul 06.45, lima belas menit sebelum ujian dimulai. Sayangnya, untuk kesekian kalinya, Gia terlambat bangun. Sekarang sudah pukul 06.25, tapi Gia masih berada di rumah. Gia tidak bisa menahan cemas lagi. Setelah duduk di belakang kemudi, Gia melemparkan tas ransel hitamnya ke bangku samping dan segera menyalakan mesin mobilnya. Berkali-kali dicoba, mobil Gia tetap bergeming, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. "Ya, Allah. Berat banget cobaan gue," keluh Gia frustasi. Dia keluar dari mobil. "AYAH," panggil Gia sekencangnya. Suara cemprengnya memenuhi penjuru rumah. Tangan kirinya berada di pinggang, sedangkan tangan kanannya mengacak-acak rambut. Ayah yang mendengar teriakan putri kesayangannya segera menghentikan sarapan dan keluar r
Baca selengkapnya
The Nagging Oldman
Usia tidak menjamin kedewasaan. Pernyataan yang kali ini sangat disetujui Gia. Gia sama sekali tidak menyangka seorang pria yang usianya nyaris empat puluh tahun bisa menyebalkan melebihi balita, yang baru bisa menangis kalau keinginannya tidak dipenuhi. Belum ada satu tahun mereka berkenalan, tapi Restu sudah bersikap layaknya orang tua yang posesif pada Gia. Gia merasa punya dua orang Ayah sekarang. "Maaf, saya sedikit terlambat menjemput. Kamu bersedia menunggu saya?" Restu bertanya saat menelepon Gia. Dia benar-benar merasa tidak tenang membiarkan Gia harus menunggu. "Santai aja, Om. Gia masih di kampus, kok. Temen Gia masih banyak yang nongkrong di sini. Nanti kalau Gia udah bosen, bisa manggil ojek online aja. Om tenang aja, kelarin urusan Om. Jangan sampai diomelin bos besar cuma karena jemput putri cantik, kayak Gia ini. Jangan sampai Gia jadi alasan Om dipotong gajinya. Bahaya itu kalau dipotong gaji. Om bisa kekurangan duit. Kasihan Gavin nanti nggak bisa jajan es krim lag
Baca selengkapnya
Bioskop in Love
Aroma pop corn langsung menusuk hidung saat Gia masuk. Lampu temaram menerangi ruangan. Deretan manusia sedikit mengular di loket. Gia berjalan dengan debaran jantung tak beraturan, nyaris meledak seperti gumpalan pop corn yang sedang dimasak. Tangan kanannya digenggam erat oleh tangan yang lebih besar, sedikit kasar, dan hangat. Gia masih tidak percaya sekarang dia berdiri di samping Hugo, mengantre di loket. Dua hari sebelumnya, Hugo mengajaknya kencan kedua. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Gia langsung mengiakan. Tidak ada alasan untuk menolak Hugo. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk menyetujui kencan bersama Hugo. Gia bahkan mengabaikan Restu yang seharian ini terasa semakin menyebalkan. Gia berharap punya keberanian sedikit lebih besar untuk memblokir nomor pria tua itu. Tapi, jauh di sudut sempit hatinya, Gia mengakui masih membutuhkan Restu. Setidaknya dia masih bisa dimanfaatkan sebagai tukang ojek gratisan. "Mau minum apa?" tanya Hugo setelah mendapatk
Baca selengkapnya
Broken Heart
Pemanasan global mungkin bukan hanya sekadar teori. Sengatan panas matahari semakin hari terasa semakin membakar kulit, ditambah polusi udara yang semakin menyesakkan, membuat dunia terlihat semakin tua. Gia duduk di teras depan ruang sekretariat BEM sendirian. Keringat membuat kemejanya basah. Matanya memandangi layar ponsel yang sedang menampilkan game Onet. Jari-jari Gia lincah memencet setiap gambar yang sama. Tiba-tiba dahinya terasa dingin. Gia mengalihkan pandangannya ke atas. Hugo tersenyum memandang Gia. Disodorkannya sekaleng soda yang tadi sempat ditempelkannya ke dahi Gia. Gia menerimanya dengan senang hati. Bibirnya membentuk lengkungan lebar. "Serius banget," komentar Hugo, lalu duduk di samping Gia. "Makasih, Bang," sahut Gia, mematikan layar ponselnya dan menaruhnya di atas pangkuan. Dia meneguk minuman dingin yang sudah dibukakan Hugo itu. Langsung saja tenggorokannya terasa segar. "Udah kelar rapatnya?" tanyanya setelah puas minum. Hugo duduk di samping Gia, mel
Baca selengkapnya
Chicken Hunter
Wajah Gia kusut dan sedikit berminyak, mirip kertas koran bekas gorengan. Ditendanginya daun-daun kering yang berjatuhan di depannya. Dia meratapi kebodohannya sendiri, yang terus terulang. 'Harusnya gue paham kalau Bang Hugo bukan pacar gue. Dia bebas mau pelukan, bahkan ciuman sama cicak sekali pun. Gue yang salah udah cemburu sama dia. Gue ini cuma juniornya, nggak lebih bisa kurang kalau ada diskon akhir tahun.' Gia terus menghujat dirinya sendiri dalam hati. Baginya ini memang kesalahannya sendiri. Langkah kaki Gia terhenti saat melihat sepatu kulit coklat yang mengilat di depannya. Gia mengangkat kepalanya, memastikan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Restu tersenyum memandang Gia. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang jas warna silver, lalu meletakkannya di pundak. Dengan kaus hitam polos dan celana jins hitam yang dihiasi sabuk kulit coklat, sulit untuk menyatakan kalau Restu ini buruk rupa. Kalau tidak mengetahui sikap menyebalkan Restu, Gia berani bertaruh bisa
Baca selengkapnya
Hotel Asmara
Restu berusaha mengendurkan uratnya yang tegang. Dia mengusap wajahnya, lalu melepaskan sabuk pengamannya. Dia keluar dari mobil masih dengan sedikit keraguan. Restu memandang jijik saat melihat apa yang ada di depannya. Pemandangan di sini terlalu kasar. Beberapa pria bertampang sangar dan bertubuh kekar berhasil mampir di mata Restu. Di sisi lain, perempuan dengan pakaian minimalis mencoba tersenyum menggoda dengan bibir merah menyala. Restu berusaha mencoba setenang mungkin. Gia bisa murka lagi kalau mengetahui dia tidak nyaman dengan ini semua. Dia berlari ke arah pintu penumpang untuk membukakan pintu. Gia memamerkan senyum terbaiknya, lalu turun dari mobil. Segera dia melangkahkan kaki menuju ke arah hotel asmara. Tepat di depan pintu Gia berhenti, memandang Restu yang berjalan perlahan di belakangnya. "Buruan, Om!" pinta Gia tidak sabar. Tangannya melambai, meminta Restu mempercepat langkah. Restu menurut, mempercepat langkahnya. Saat dirinya sudah berdiri di samping Gia, G
Baca selengkapnya
Playing Feeling
Dress putih dengan motif polkadot membungkus tubuh langsingnya. Sneaker shoes putih menghiasi kakinya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, menjuntai sebagian di depan dadanya. Tangannya menggenggam buku catatan yang terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam tas.Matanya cerah saat menemukan Gia duduk di pojok kelas. Kakinya melangkah cepat menghampiri Gia. "Pagi," sapanya ceria lengkap dengan bibir merah yang menyunggingkan senyum terbaik.Jessica mengempaskan pantat di samping Gia. Dipandanginya Gia yang menatap ke luar jendela. Jessica ikut memandang ke luar, memastikan apa yang Gia lihat, sampai wajahnya kusut dan tidak membalas sapaan. Sayangnya, Jessica tidak menemukan sesuatu yang bisa membuat Gia sampai seperti ini. Hanya ada daun mahoni yang menutupi hampir seluruh jendela yang terbuka. Jessica mengayunkan tangan kanannya di depan wajah Gia. Gia akhirnya mengalihkan pandangannya. Dia terempas kembali ke dunia nyata."Kenapa lo?" tanya Jessica penasaran.Gia memandang Jessica. Wa
Baca selengkapnya
The Best Choice
Mencintai tidak bisa dipaksakan. Seharusnya cinta datang tanpa permisi, mendobrak hati, lalu bersemayam di dalam sana sesukanya. Gia bingung harus memulai dari mana untuk memberikan kesempatan bagi Restu membuatnya jatuh cinta. Perasaannya masih tetap sama. Ada Hugo yang lebih dulu mengusiknya, belum berubah walau pelakunya terus menyakiti.Untuk kesekian kalinya, Gia mencoba menilai Restu dari penampilan. Tubuh jangkung pria tua itu menjulang menghalangi panas matahari, membelakangi Gia. Matanya awas mengamati Gavin yang menggiring bola di tengah jalan di depan rumahnya. Lagi-lagi Gia terlalu nyaman memandang punggung itu. Walau tegap dan bidang, Gia menangkap kepedihan dari punggung itu.'Rambutnya selalu rapi, licin dikasih minyak jelantah bekas goreng ikan asin. Ah, nggak. Om Restu nggak mungkin doyan ikan asin. Lidahnya terlalu terhormat buat nyobain makanan kasta bawah itu. Kalau gitu, pasti rambutnya dikasih oli bekas, makanya hitam mengilat gitu.' Gia berdialog dengan dirinya s
Baca selengkapnya
Out Of Sync
Udara masih sedikit segar. Polusi dari asap knalpot belum terlalu meracuni oksigen. Suara air jatuh ke dalam kolam ikan mendominasi halaman rumah yang mungil ini. Rumput hijau yang sengaja ditanam di sekitar kolam sedikit basah, bekas sisa hujan kemarin sore. Sayangnya, suasana damai ini tidak mempengaruhi perasaan Restu yang berantakan.Restu memandang Gia yang berdiri tiga langkah di depannya. Penampilannya pagi ini sempurna seperti biasanya. Hanya saja perasaannya sedikit berantakan setelah melihat Gia. Mata Restu menatap tajam Gia dari ujung kepala sampai jempol kakinya. Tidak ada senyum yang biasanya selalu dipamerkan untuk Gia. Kedua tangannya berada di pinggang. Nyali Gia mendadak ciut mendapat perlakuan seperti ini dari Restu."Kamu hendak pergi ke kampus seperti ini?" tanya Restu. Dia sengaja menahan perasaannya agar tidak meledak. Suaranya jadi sedikit bergetar.Gia menangkap dengan jelas bahwa Restu tidak suka dengan penampilannya yang sekarang. Ini bukan pertama kalinya Res
Baca selengkapnya
Two Men Who Love The Girl
Setelah menyelesaikan dua mata kuliah hari ini, Gia dan Jessica duduk berhadapan di taman kampus. Mereka mencari kedamaian untuk menikmati sebungkus cilok dan segelas es jus. Sebelumnya, mereka sudah menghabiskan seporsi bakso urat ukuran jumbo. Otak yang dipaksakan bekerja terlalu berat perlu makanan yang lebih sebagai upahnya. Jangan sampai karena kelaparan, otak jadi mogok kerja. "Tugas Ilmu Negara lo udah kelar?" tanya Jessica dengan mulut penuh cilok. "Belum. Kapan sih ngumpulinnya?" sahut Gia setelah dengan susah payah menelan cilok di mulutnya. Cilok kali ini terasa terlalu alot. Mungkin pembuatnya menginjak adonan cilok terlalu lemah, jadi gumpalan cilok belum tercampur dengan baik dan benar. "Lusa. Lo biasanya minta tolong Bang Hugo. Tumben belum kelar." Jessica heran. "Udah, ah, nggak usah bahas dia. Nanti gue jadi nggak nafsu makan cilok lagi." Jessica tersenyum mengejek. "Yakin, nih?" tanya Jessica memastikan. "Yakin apaan?" "Yakin nggak mau bahas Bang Hugo lagi?" "
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status