Semua Bab Love by Choice: Bab 31 - Bab 40
54 Bab
Dissapointed
Matahari bersembunyi di balik gumpalan awan besar berwarna putih mirip kapas. Siang menjelang sore ini masih sama seperti kemarin. Deretan kendaraan mengular di perempatan. Ratusan knalpot berlomba memuntahkan asap hitam yang menyesakkan. Dalam hitungan detik asap itu berbaur bersama oksigen yang kemudian dihirup ratusan manusia. Menyesakkan memang, tapi tidak ada yang benar-benar bisa mengubah busuknya udara ini. Di dalam mobil Pajero putih yang melaju di jalan, berlomba bersama dengan mobil dan motor lainnya, tidak kalah menyesakkan. Dua manusia di dalamnya nyaris tidak berkomunikasi. Tidak ada suara musik, hanya teriakan mesin dan klakson di luar yang menghalau keheningan. Sesekali cewek di bangku penumpang berusaha mencoba membuka obrolan. Tapi, selalu berakhir dengan pengabaian yang menyebalkan. 'Pria tua ini nggak mendadak jadi tuli, kan? Suara gue nggak ngilang dicolong setan, kan? Udah cukup hati gue aja yang dibawa pergi cowok nggak bertanggung jawab. Suara gue jangan.' Gia
Baca selengkapnya
Confide in Mother
Intuisi seorang ibu memang tidak layak diragukan. Bunda menyadari ada masalah di antara anak gadisnya dengan duda yang tinggal di depan rumahnya itu. Sebelumnya, Restu selalu mengajaknya berbincang, walau hanya sebentar. Menanyakan bagaimana dia melewati hari ini menjadi pembahasan yang paling sering ditanyakan Restu. Pria itu selalu memperhatikan calon mertua barunya dengan baik. Berbeda dengan hari ini. Restu langsung pamit begitu Bunda keluar menyambut kedatangan Gia. Senyum yang dipaksakan Restu juga terlihat jelas di mata Bunda yang sudah harus memakai kaca mata saat membaca. Bunda mulai memahami bahwa Restu termasuk orang yang tidak berbakat menyembunyikan perasaannya. Semua isi hatinya tercermin jelas di raut wajah. "Kenapa senyum-senyum sendiri, Gi? Kesambet setan mana kamu?" tanya Bunda membuyarkan lamunan Gia. "Apaan, sih, Bunda? Anak sendiri malah didoain kesambet setan," protes Gia. Gia khawatir Restu yang belum terlalu jauh melangkah bisa mendengar perkataan Bunda barus
Baca selengkapnya
Sacrifice of Happiness
Gia memandang pantulan dirinya di cermin, memastikan penampilannya kali ini tidak akan diprotes lagi oleh Restu. Celana jins hitam yang sobek di bagian paha kirinya menutupi kaki jenjangnya. Kemeja hitam oversize yang lengan panjangnya dilipat asal sampai sebatas siku, kancing paling atas sengaja dibuka memamerkan tulang selangkanya yang indah. Kali ini Gia menggunakan kaus putih sebagai dalaman, menjaga dua aset berharga miliknya tidak menyembul, walaupun itu sebuah kemustahilan yang hakiki. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Kemarin sore Gia baru saja keramas, sekarang rambutnya masih cantik kalau terurai dan yang jelas wanginya masih tercium jelas. Gia yakin Restu tidak akan komplain dengan penampilannya. "Lah? Ini gue ngapain mikirin pendapat Om Restu soal penampilan gue, sih?" omel Gia pada dirinya sendiri. Dia merasa apa yang dilakukannya salah. Tidak seharusnya dia menuruti pria tua itu. "Ah, bodo amatlah! Udah terlanjur pakai baju. Bisa telat kalau ganti baju s
Baca selengkapnya
Uncommitment
Perjalanan menuju kampus Gia kali ini cukup mencekam. Di samping Gia duduk seorang pria tua yang hatinya sedang resah. Tanpa perlu Gia tanyakan lagi, dia tahu kalau Restu masih menyimpan amarah setelah pertemuannya dengan Hugo. Duda beranak satu itu berulang kali meminta Gia mengambil jarak dengan senior spesialnya, tapi Gia belum bisa menurut. Belajar di tempat yang sama mempersulit Gia untuk menjaga jarak dari Hugo. Sekarang, Gia merasa nyawanya berada dalam bahaya. 'Pria tua ini emosinya lagi labil kayak kucing oren barusan ngelahirin, disenggol dikit langsung mau nyakar. Ini kalau gue salah ngomong, Om Restu bisa nabrakin mobil ke tiang listrik. Ya Allah, gue belum mau mati muda. Gue belum nikah ini. Yang ngajakin nikah baru duda beranak satu, yang bawelnya ngalahin emak-emak di akhir bulan. Masa gue nggak ada harapan punya suami tampan, kaya, dan romantis kayak di novel-novel, sih?' gerutu Gia dalam hati. Jemarinya sibuk memainkan ujung kuku, mencoba menghalau semua pikiran buruk
Baca selengkapnya
Neutralize Love
Cahaya matahari bersinar sangat cerah. Bulatan oranye itu sudah terlalu berada jauh di atas kepala, menyebarkan sengatan yang menusuk dan membakar kulit. Suasana jalanan masih terus dipenuhi kendaraan yang berlomba membuang gas beracunnya. Bisingnya jalanan tidak mengusik suasana kafe di salah satu komplek pertokoan, tidak jauh dari gerbang kampus Merva. Bangunan dua lantai itu disulap menjadi kafe kecil yang nyaman. Dengan ukuran sempit, pemiliknya berhasil membuat Le Blanc menjadi tempat ngopi yang instagramable. Setiap sudut dihiasi dengan berbagai ornamen menarik. Rooftop kafe menjadi tempat paling favorit, asal tidak turun hujan.Gia duduk di sebuah sofa paling ujung, di samping lorong menuju kamar mandi. Dia meringkuk di sudut kafe sendirian. Dia memeluk kedua kaki yang sengaja dinaikkan ke sofa. Wajahnya dibenamkan ke sela-sela kedua pahanya. Gia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Suara musik yang disetel kencang mengalunkan lagu-lagu riang tidak memengaruhinya. Suasana hat
Baca selengkapnya
The Bittersweet Love
Sebelum matahari terbenam, Restu sudah kembali menjalankan mobilnya menjauhi area pantai. Suasana mulai sepi. Lampu-lampu mulai memancarkan cahayanya, menggantikan tugas matahari yang mulai menjauh. Mobil Restu meninggalkan tumpahan air asin jauh di belakang. Di sampingnya, Gia terus bernyanyi bersama Gavin yang sekarang menyembulkan kepalanya di sela-sela Restu dan Gia. Kepala Gavin bergerak mengikuti irama tepukan tangan Gia. Restu tidak mau kalah dengan ikut menyumbangkan suaranya yang tidak terlalu merdu. Mobil Restu dipenuhi paduan suara yang sumbang. Tidak ada satu pun, dari tiga manusia yang berada di dalam mobil, mempunyai suara bagus. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan bagi Restu, jelas bukan karena suara-suara menyedihkan yang terus bernyanyi dengan riangnya. Gavin sudah lama tidak sebahagia ini. Ini semua karena Gia. Sebuah alasan sederhana kenapa Restu bisa mencintai perawan muda yang tinggal di depan rumahnya itu. Gia berhasil memberikan nyawa pada keluarga keciln
Baca selengkapnya
Oldman's Charm
Pagi ini Gia bersiap lebih pagi dari biasanya. Dia bahkan mau repot-repot menyetel alarm di jam lima pagi. Padahal, biasanya Gia baru bisa bangun karena teriakan Bunda. Semua ini dilakukan Gia demi janji yang terlanjur diucapkannya kepada Gavin. Dia tidak mau membuat kecewa Gavin. Gia memandang pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya disisir supaya rapi dan dibiarkan terurai begitu saja. Segera Gia meraih tas ransel cokelat yang tergeletak di atas tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Bunda sedang masak di dapur saat anak gadisnya muncul. Gia segera menghampiri Bunda dan mencium pipi kanannya sekilas. "Gia ke rumah Om Restu dulu, ya. Sekalian langsung berangkat," pamit Gia. "Iya. Ati-ati, ya, Gi. Di rumah orang jangan bikin malu." Bunda mengingatkan. Pandangannya tetap fokus pada tumis brokoli yang dimasaknya. "Bunda apaan, sih? Masa Gia bikin malu. Gia ini wanita terhormat yang selalu menjaga sopan santun layaknya bangsawan Eropa. Ratu Elisabeth aja berguru sama Gia," protes G
Baca selengkapnya
Sudden Shot
Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Gia. "Cieh, dianterin Om Restu. Cieh, senyum-senyum najis," ejek Jessica yang tiba-tiba ada di belakang Gia.Gia terlonjak. Refleks, dicubitnya hidung Jessica pelan. "Ngagetin aja lo! Mau bikin jantung gue keluar dari mulut?" protes Gia gemas."Aduh aduh, sakit, ih," keluh Jessica sambil mengusap-usap hidungnya yang mungil. "Mukanya cerah bener, Neng? Lagi jatuh cinta, ya?" Jessica masih terus menggoda Gia.Gia melotot. "Jatuh cinta apaan?" bantahnya, lalu berjalan memasuki gedung A, mengabaikan Jessica."Keliatan kali orang jatuh cinta, mah. Pipi merah. Mata berbinar. Senyum terkembang. Jantung berdetak lebih cepat. Rahim anget abis dibakar api cinta. Itu yang terjadi sama lo saat liat Om Restu tadi, kan?" Jessica menjelaskan. Dia berjalan cepat sampai berhasil berada di sisi kanan Gia."Ngaco aja lo, Je!" bantah Gia. Padahal, Gia benar merasakan apa yang disebutkan Jessica tadi.Jessica mengamati wajah Gia. "Cieh, malu-malu, tuh. Biasa aja hidungn
Baca selengkapnya
Hidden Feeling
Gia menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah diisi dengan kopi dan gula. Di sampingnya, Restu sedang sibuk memasak nasi goreng seafood pesanan Gavin. Aroma nasi goreng yang gurih dan kopi yang pahit bercampur di dapur Restu. Gia dan Restu sibuk dengan tugasnya masing-masing, sedangkan Gavin duduk manis menanti dengan tenang. "Belum mateng, Om?" tanya Gia sambil mengaduk kopi. Restu menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng di dalam wajan. "Sudah lapar?" Restu balas bertanya. Tidak lupa dia memberikan senyum kepada Gia. "Baunya enak, bikin laper," jawab Gia, lalu tersenyum malu-malu. Entah kenapa debaran jantungnya kacau sejak dia masuk ke rumah ini tadi. "Sebentar lagi matang. Kamu duduk saja," sahut Restu kembali mencampur bumbu dan nasi. Gerakan tangannya cepat. Butiran nasi di dalam wajan perlahan berubah warna menjadi cokelat. Dihiasi potongan udang yang memerah, cumi, serta bakso ikan yang ikut kecokelatan, nasi goreng buatan Restu sungguh menggiurkan. Gia
Baca selengkapnya
Touch of Fishes
Matahari mulai condong ke barat, perlahan menjemput senja. Beberapa gumpalan awan putih bergerombol menghalangi bulatan oranye yang panas itu. Kumpulan burung terbang rendah menuju rumah masing-masing. Teriakan pedagang siomai menjajakan dagangannya mengusik sore yang tenang di gang rumah Gia. Gia duduk di pinggir kolam ikan miliknya. Segelas besar susu dingin menemaninya. Sekarang, kolam ikannya terlihat lebih ramai dengan adanya tambahan lima ekor ikan harimau sumatera. Ikan ini ukurannya lebih kecil dari ikan emas koi yang sudah lebih dulu dimiliki Gia. Warna mereka kontras, mempercantik kolam kecil yang dibuatkan Ayah setelah Gia merengek selama satu minggu. Ayah yang tidak sanggup menolak permintaan anak semata wayangnya merombak halaman rumahnya. Sebuah kolam ikan dengan air terjun sederhana berhasil membuat Gia kembali tersenyum. Gia menebar makanan ikan ke dalam kolam. Ikan-ikan yang kelaparan itu langsung berebut melahap makanannya. Mereka saling menabrak dengan mulut terbu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status