All Chapters of My Arrogant CEO: Chapter 41 - Chapter 50
52 Chapters
Diana Berganti Gaya
"Jadi ini yang kamu lakukan selama ini di belakangku?" teriak lelaki berkaca mata di depan pintu ruangan Arvan. "Apa-apaan ini? Kalian jangan bikin keributan di sini!" bentak Malik. "Diam kamu! Ini urusan kami," kata Danu lagi. "Kami? Urus saja urusan kalian sendiri. Jangan bawa-bawa saya! Dan katakan pada istrimu untuk berhenti mengganggu hidupku lagi!" Arvan mendorong tubuh Chintya ke arah suaminya. Ya, Danu adalah lelaki yang usianya 10 tahun lenih tua dari Chintya. Ia merupakan anak seorang konglomerat. Sama-sama menjabat sebagai seorang CEO.  "Van, tolong aku, Van, please! Aku gak mau lagi hidup sama pria ini," kata Chintya yang sudah diseret oleh suaminya.  Malik segera menutup pintu. Meski sejenak tiba-tiba pria berkumis ini merasa kasihan dan iba kepada Chintya. "Van, kayaknya Chin ...." "Stop! Jangan sebut nama dia lagi
Read more
Cincin untuk Diana
Diana meminjam charger salah satu pegawai salon. Ia segera mengisi daya baterai ponselnya dan membiarkannya tergeletak di meja. "Kira-kira selesai jam berapa?" tanya Diana. "Gak lama kok, mungkin sekitar 3 jam," jawab pegawai salon itu sambil menjepit poni Diana ke belakang. "Ya ampun. Ini jidat apa lapangan? Lebar bener," batin pegawai salon itu ketika melihat dahi diana yang menonjol dan lebar. Diana melihat jam dinding dari cermin. Perombakan yang dilakukan diperkirakan akan selesai pukul 22.00 malam. *** Heksa masih menunggu dengan gelisah. Ia memanggil salah satu pelayan dan memberikan cincin itu. "Jika wanitaku sudah datang, taruh cincin ini ke dalam hidangan. Terserah kalian, mau di taruh pada makanan apa. Pastikan mudah ditemukan." "Baik, Tuan." "Saya akan menjemput kekasihku dulu. Siapkan
Read more
Mobil Bergoyang
Diana mulai kesulitan bernapas. Tanpa pikir panjang, Heksa langsung membopong gadis itu. Wajah Diana sudah pucat. Napasnya pendek seperti orang yang terserang asma dadakan. "Sabar, Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang ya!" Heksa membawa Diana keluar dari private room. Beberapa pramusaji terlihat mengintip dari balik pintu. Mereka saling berbisik karena tidak tahu jika Diana menelan cincin yang dimasukkan ke dalam cheese cake. "Kasihan. Pacarnya udah bikin momen romantis kayak gini malah asmanya kambuh." "Iya kasihan banget. Mudah-mudahan gak jantungan juga." Bisik-bisik dua pramusaji yang sedang melihat Heksa kesulitan membopong Diana yang cukup berat. "Di, kamu kurus tapi kok berat. Apa aku yang gak pernah angkat beban?" kata Heksa sambil terengah. Diana tidak menjawab. Ia sibuk mencolok mulutnya dengan telunjuk. Berharap sesuatu yang te
Read more
Siapa yang Ditabrak Wijaya?
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu. "Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik. Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala.  "Siapa nama kalian?" "Heksa, Pak," jawab Heksa. "Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis. "Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu. Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam. "Siapa nama kamu?" Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor. "Apa?" kata pria berkumis itu. 
Read more
Pengirim Bunga Misterius
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya. Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka. "Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya. "Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan." "Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat." "Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana. "Kayaknya mati, Di." "Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah." "Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Read more
Tanda Bibir di Kemeja Danu
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi. Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu. "Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya. "Gak ada." "Klien udah datang. Lagi nunggu kamu." "Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya. Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya. Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Read more
Kado Kedua
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.  CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana. Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu. Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung. "Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik  Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh. "Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan. "Jangan mendekat, Den!" "Kenapa?" 
Read more
Setangkai Mawar Layu
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya. Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal. Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda. "Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin. Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Read more
Rahasia Cinta 100 Hari Diana Terbongkar
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya.   "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata."   "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup.   "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu.   "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana.   "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!"   "PULANG!" teriak Diana lagi.   Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka.    "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur.    "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Read more
Bertukar Peran
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil.   CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya.   "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan.   Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang.   Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat.   Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status