All Chapters of Jerat Tuan Pebinor: Chapter 41 - Chapter 50
128 Chapters
41. Jangan Pergi.
Dari arah lain Arlan datang dan langsung mendekati Arsen. Dia membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Lalu setelahnya, Arsen mengangguk sebelum melangkah ke dekatku.Lebih heran lagi, kulihat Arlan pun mendekati Ferdy. Kemudian mereka berjalan bersamaan."Ayo." Arsen menarikku ke arah dalam rumah sakit itu.Ada apa ini? Aku meliriknya dan Arsen hanya mengangguk seakan berkata, 'Ikut saja.' Lantas kupercayakan langkah kakiku padanya. Dia melirik kakiku yang terpincang. Matanya berhenti sekian detik di bagian yang ditutupi dengan perban."Kenapa itu?" tanya Arsen."Itu ... aku jatuh."Demi apa pun di muka bumi ini, aku tak rela jika Arsen tahu aku menduduki pecahan vas bunga di rumah. Biarlah hanya Bi Ratna dan Arlan yang tahu akan kebodohanku menangisinya. Di depan sebuah pintu yang bersebelahan dengan tangga darurat, Arlan berhenti dan membuka ruangan itu. Dia masuk lebih dulu yang langsung
Read more
42. Maafkan Aku.
Tentu aku tak pernah berpikir ingin pergi darinya. Tapi, jika Arsen memang tak lagi menginginkanku, apa yang bisa aku perbuat?"Kalau kau bosan, memangnya aku harus bertahan di sini? Aku tak punya hak untuk terus menyusahkanmu, kalau kau sendiri tak ingin aku tinggal," terangku, dan bisa kurasakan lagi hatiku berdarah sekarang.Dia mendengus dua kali. Lalu kikik tawanya terdengar sumbang dengan mata yang masih tetap padaku. Tapi rahangnya yang mengetat itu bisa kuartikan bahwa tawanya adalah sebuah kemarahan."Apa memang kebiasaanmu seperti itu? Kau sengaja mencari alasan untuk pergi?" Dia salah paham lagi. Kenapa dia sangat suka beranggapan buruk tentang aku? Bukankah aku hanya sekedar bertanya dan memberi saran? Aku hanya tak ingin Arsen membuangku setelah anak ini lahir. Aku tak terima diperlakukan seperti itu. Lagian, jika pada ujungnya dia akan membuangku juga, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"Kau yang punya permainan, kau yang ber
Read more
43. Beri Kesempatan Mendapatkan Hatimu.
Danau? Alisku menukik menatap pemandangan di depan kami. Danau luas dengan air berwarna hijau terlihat di depan mata kami sekarang."Ayo turun," ajak Arsen, dia melepaskan lagi sabuk yang melingkar di dadaku, sebelum akhirnya dia turun.Mengikuti gerakannya, pun aku turun dari dalam mobil. Arsen berjalan dua langkah di depanku yang mengikutinya dalam diam.Mau apa kami ke sini? Oh ... khayalan setinggi langit yang sempat menyelimuti otakku, perlahan sirna. Dia tak mungkin melamarmu, Nara!"Ke mari, Nara."Melangkah ragu, kuikuti Arsen duduk di atas tikar kain yang sudah terbentang di sana. Keranjang buah dan snak juga kaleng soft drink terletak di tengah tikar yang tak lebih dari dua meter itu. Entah siapa yang mempersiapkannya, tapi sepertinya itu disuruh oleh Arsen.Dia mengambil bir kaleng beralkohol rendah dari balik keranjang buah, aku tak melihat minuman itu sebelumnya. Arsen membuka salah satunya dan menawarkannya padaku."Kau ingin m
Read more
44. Kau Tak Harus Menjawab.
Arsen menatapku bergeming. Bisa kulihat pupil matanya membesar dan kaget akan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan padanya. Perasaan kecewa langsung melanda hatiku membayangkan penolakan keras yang akan dia berikan.Kenapa kau sebodoh ini, Nara? Arsen baru saja bersikap sedikit lembut dan kau sudah mencari perkara padanya? Bagaimana jika dia marah dan melemparmu jatuh dari sepeda bebek ini? Perasaan takut dan bersalah langsung menyelimuti hatiku, membuat aku menyesali perkataan itu."Ma-maaf," ucapku lirih. "Aku sudah keterlaluan." Memaksa bibirku tersenyum, kuseka kedua pipi dengan telapak tangan untuk menghibur diriku. "Jangan dipikirkan, Arsen. Anggap aku baru saja berkata melantur, anggap kau tak mendengar apa pun dariku."Tak ingin aku dia terbebani oleh perkataanku, dan akhirnya membuat dia lepas kontrol lagi."Nara," panggil Arsen. Bisa kurasakan jantungku melompat di dalam sana. Batinku mengumpat, mengataiku dengan ber
Read more
45. Dia Istriku!
Kakiku gemetar sehingga aku harus berhenti melangkah. Tante Riana menyenggolku pelan, dan dia berbisik mengingatkanku lagi. Tapi belum lagi aku berani melangkah, Arsen sudah lebih dulu merangkul pundakku dan menggiringku menuju sofa. Kami duduk bersebelahan."Jangan takut," bisiknya, sedang rangkulan tangannya masih setia di pundakku.Di depanku ada Ferdy yang duduk berdempetan dengan Nindy. Kulihat, sebagian wajah Ferdy masih menyisakan bekas memar atas pukulan Arsen tempo hari. Mata kami beradu beberapa detik, lalu Nindy segera memeluk lengan Ferdy seakan takut aku akan merebut suaminya. "Arsen dan Nara sudah di sini, sekarang bisa menjelaskan kedatangan kalian?" Tante Riana yang berbicara."Seperti kata kami tadi, kami ke sini ingin menuntut perbuatan putra ibu dan bapak. Lihat wajah putra kami, apa pantas dia mendapatkan perlakuan seperti ini? Anak kalian sudah memukul dan mempermalukan Ferdy di depan umum, jadi tontonan banyak orang. Bukan hany
Read more
46. Keputusan Yang Tepat.
Kini semua pasangan mata tertuju padaku. Aku yakin itu, meski aku masih tetap menunduk seperti ini. Mereka tentunya ingin mendengar jawaban dari ajakan Ferdy."Nara, apa yang kamu pikirkan, Sayang? Ayo pulang sama aku, kumohon," pinta Ferdy lagi, suara serak itu membuat hatiku terenyuh.Jika aku menyetujui ajakannya, benarkah Ferdy akan kembali menjadi baik? Dan kalau pun dia baik, bagaimana dengan Arsen ke depannya? Dia mungkin akan membenciku. "Pulang ke mana?" Kupaksa suara itu keluar dari mulutku. Nada yang gemetar dan serak membuatku terdengar seperti seekor kodok. Ferdy mengerut keningnya dan melihatku dalam."Ke rumah kita. Memangnya ke mana lagi?" Hatiku mencelus mendengar kalimat terakhirnya. Ya, suaranya memang terdengar lembut, tapi kalimat itu sangat tak enak di telingaku."Rumah kita?" Aku terkekeh miris. "Kamu sendiri yang usir aku dari sana, kan? Kamu mukul aku demi istri ke dua kamu. Kamu juga hina aku, maki
Read more
47. Salah Mendidik
Alarm di atas kepala berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur lelap. Kudapati tangan Arsen melingkar di atas perut, yang lantas menghadirkan senyum di bibirku. Sepanjang malam dia selalu memelukku dalam tidur, dan itu selalu membuat hatiku menghangat.Mengangkat wajah mendongak, aku bisa melihat wajah tampannya yang sedang terlelap itu di atasku. Alis tebal dan bulu halus di sekitar wajahnya begitu indah dipandang mataku.Jika sedang terlelap seperti ini, wajah itu terlihat sangat polos bagaikan bayi tanpa dosa. Tak kutemukan Arsen yang dulu pemarah dan suka berlaku kasar. Kenapa dia sangat tampan? Senyumku semakin mengembang melihatnya. Apalagi jika kuingat tak pernah lagi dia meledak-ledak seperti kebiasaannya dulu. Ini seperti surga baru yang kutemukan, aku sudah membuat keputusan yang tepat, aku menyukai itu.Bibir itu sedikit mengerucut, mungkin dia bermimpi buruk? Tanganku refleks terangkat untuk meraba sebelah pipinya. Lembut dan nyaman di perm
Read more
48. Kau Tak Mengerti Hatiku.
"Bunda, Nara akan jelaskan nanti," kataku terpaksa. Kulihat Arsen mengerut kening di ketika aku mendatanginya ke ambang pintu. Lantas kutarik pergelangannya dan berkata, "Kita perlu bicara."Arsen menatapku lama. "Kenapa?" katanya. Kendati aku selalu takut dia akan menjadi kasar lagi, kali ini kuberanikan menatapnya denga melotot. Rahangku mengetat pertanda aku tak bisa menjelaskan di depan bunda. Dia menggerdik bahu dan mengikutiku akhirnya.Di luar bangunan panti kulihat mobil Arsen terparkir. "Buka," kataku yang lantas diturutinya. Beberapa orang anak dan pengurus panti melihat bingung ketika aku dan Arsen masuk ke dalam mobil itu."Kenapa harus di sini? Bukannya orang tua itu ingin tau anak siapa yang kau kandung?" cecar Arsen acuh.Ya Tuhan ... aku tahu aku mencintainya sangat dalam. Aku pun paham, aku lah yang mengemis memohon tempat di hati lelaki ini. Tapi sekali saja, kumohon hanya sekali dia bisa memberiku kesempa
Read more
49. Karena Aku Peduli Padamu.
Isi hatinya?Aku selalu mengulang-ulang kata yang dia ucapkan. Isi hatinya yang mana maksud Arsen? Kupikir bahkan dia tak punya hati.Sekian menit Arsen mendekapku dekat di dadannya. Dia menarik tubuhnya menjauh dan menatapku sangat dalam. Kemarahan yang tadi menguasainya sudah berangsur hilang dari wajah Arsen. "Arsen, kumohon sekali ini bantu aku," kataku, mengingat lagi wajah kecewa bunda panti."Membahas itu lagi?" katanya  seketika kulihat Arsen tak senang di wajahnya. "Jangan meminta yang tidak-tidak. Sampai mati pun, aku tak akan pernah menyakiti hati bayi itu." "Menyakiti hatinya? Apa dia sudah dewasa sampai kau pikir bayi ini paham hal seperti itu, Arsen? Kau tak tahu bagaimana bunda membesarkanku, dia selalu memperlakukan aku  seperti purti yang dilahirkannya sendiri. Aku tak tega membuatnya kecewa."Arsen menyalakan mesin mobilnya."Persetan dengan perasaan orang lain!" Kemudian mengendara membaw
Read more
50. Kami Akan Menikah!
"Kita akan ke mana?" tanyaku, melihat Arsen yang hanya diam sambil menyetir.Dia melirik sekejap dan kembali fokus menatap ke depan."Diam lah, Nara, jangan banyak bertanya," katanya.Kugigit bibir bawahku untuk tidak bertanya lagi seperti perintah Arsen. Tapi otakku, jangan diragukan. Sudah pasti pikiran ini berputar dan membuat banyak pertanyaan dan dugaan di dalam sana.Ke mana kami? Ada apa dengan Arsen? Apakah dia akan mengajakku ke sebuah tempat yang indah seperti saat itu? Ke mana kali ini? Mungkin ke pantai, pusat perbelanjaan, atau jangan-jangan memanjat tebing? Oke, otakku ini sudah keterlaluan. Tapi bagaimana, ya. Namanya juga aku sangat penasaran. Tadi dia menyuruh aku bangun cepat-cepat, mandi juga cepat, dan Arsen juga membawaku ke sebuah salon kecantikan. Aku dikenakan pakaian yang sangat bagus, wajahku diberi riasan tipis tapi memang cantik, lalu ... sekarang kami berada di dalam mobil dan aku tahu ini bukan jalan pulan
Read more
PREV
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status