"Kita akan ke mana?" tanyaku, melihat Arsen yang hanya diam sambil menyetir.
Dia melirik sekejap dan kembali fokus menatap ke depan."Diam lah, Nara, jangan banyak bertanya," katanya.Kugigit bibir bawahku untuk tidak bertanya lagi seperti perintah Arsen. Tapi otakku, jangan diragukan. Sudah pasti pikiran ini berputar dan membuat banyak pertanyaan dan dugaan di dalam sana.Ke mana kami? Ada apa dengan Arsen? Apakah dia akan mengajakku ke sebuah tempat yang indah seperti saat itu? Ke mana kali ini? Mungkin ke pantai, pusat perbelanjaan, atau jangan-jangan memanjat tebing? Oke, otakku ini sudah keterlaluan.
Tapi bagaimana, ya. Namanya juga aku sangat penasaran. Tadi dia menyuruh aku bangun cepat-cepat, mandi juga cepat, dan Arsen juga membawaku ke sebuah salon kecantikan. Aku dikenakan pakaian yang sangat bagus, wajahku diberi riasan tipis tapi memang cantik, lalu ... sekarang kami berada di dalam mobil dan aku tahu ini bukan jalan pulan
"Apa yang salah? Aku hanya bertanya."Kembali Arsen melempar tatapan tajamnya pada wanita itu. Tapi entah apa pun yang dia pikirkan sekarang, sungguh aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku hanya terjebak dengan kekhawatiranku bahwa ternyata Arsen melihat aku sebagai Nara yang ada di dalam foto. Bukankah itu sangat menyedihkan?"Bisa Bibi menghentikannya?""Kau sangat pemarah, Arsen. Apa wanita itu akan kuat menjadi istrimu? Kulihat dia wanita yang lemah.""Elia, hentikan itu. Ini hari bahagia keluarga kita, kau tak sepatutnya memancing keributan di sini. Jika kau tidak merasa senang, kau boleh pulang lebih dulu." Tante Riana ikut mengangkat suara.Dan setelahnya, semua kembali diam seperti tadi. Bibi Elia pun hanya menggerakkan bibir atasnya sambil menunduk."Kapan kalian akan menikah?" tanya Neneknya Arsen menghapus hening yang terjadi. Wanita tua itu kini sudah kembali tersenyum seperti sebelumnya."Se
Aku terduduk di sisi ranjang di kamar kami. Pernyataan Arsen tentang cinta sangat menyakitiku sampai ke relung hatiku yang terdalam. Meski kuakui bahwa cinta memang sangatlah menyakitkan, tapi tetap saja aku masih tak mampu membayangkan pernikahan tanpa cinta.Maksudku ... jika hubungan yang didasari dengan cinta saja bisa berakhir menyedihkan, bagaimana jadinya pernikahan kami nanti? Meski aku sangat menginginkan Arsen, tapi aku tetap berharap dia mencintaiku lebih dulu."Ada apa lagi?"Arsen tengah mengenakan pakaian di sebelahku. Tak ada minat sedikit pun untuk melihat wajahnya. Mataku fokus menatap kedua kaki yang berjuntai di atas lantai. Aku lelah, capek berbicara dengan orang yang ingin seenaknya."Jangan membenani pikiranmu, pernikahan kita sudah ditentukan minggu depan."Spontan kuputar kepala untuk melihat orang yang kini juga tengah melihatku. Arsen tersenyum sangat lebar seakan dia bangga atas pernikahan kami, tapi senyum itu tentu saja
Selepas mencoba gaun pengantin, aku dan Arsen duduk di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kantornya. Ada beberapa urusan mendadak yang harus dia selesaikan. Katanya, agar pernikahan kami nanti tidak terganggu oleh urusan kantor."Aku akan meminta Arlan menjemputmu." Dia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan langsung melakukan panggilan. Setelahnya kudengar dia berbicara di dalam telepon seperti yang dia katakan padaku tadi."Kenapa?"Alisnya mengerut. Aku yakin ada ucapan Arlan yang tidak dia senangi."Ck! Ya sudah. Kau urus lah pekerjaanmu," tutupnya kemudian. Dia melihat aku lagi dan Arsen kembali mendecih."Ada apa?" tanyaku, memecah rasa gugup yang masih aku bawa dari rumah. Jujur, perkataannya untuk mencoba membalas perasaanku, sampai detik ini membuat aku sedikit merasa malu menatap matanya."Arlan tak bisa. Dia ada jadwal operasi dadakan. Waktuku sudah sangat sempit, Nara, seharusnya aku langsung mengantarmu se
Arsen sudah pergi menghadiri rapat di tempat lain. Aku merasa bosan hanya duduk di ruangannya, apalagi ketika sekretaris wanita itu masuk untuk meletakkan beberapa berkas di meja Arsen. Matanya yang tajam menusukku, membuat aku tak nyaman lebih lama di sana. Jadi, kuputuskan keluar untuk mencari Yunita, sebab kami sudah sangat lama tak bertemu.Di lorong ketika melewati ruangan Pak Sudrajat, aku berpapasan dengan pemilik perusahaan ini. Pak Sudrajat memanggilku untuk masuk ke ruangannya. Dan di sini lah aku sekarang berdiri di atas kakiku. Rasa gugup tentu saja sudah meliputiku sejak tadi."Kau mencintainya?" tanya Pak Sudrajat, memecah hening di antara kami. Dia duduk di meja kebanggaannya, sedangkan aku berdiri tepat di balik meja itu."Arsen orang yang keras, dia juga tak suka dengan perempuan cerewet. Aku ragu, kau mungkin tak akan tahan berada di sisinya," lanjutnya, ketika aku hanya mengunci bibir.Jika hanya sikap kerasnya,
Mulutku setengah terbuka mendengar penjelasan Yuni. Dia duduk dan menarik tanganku ke genggamannya sembari berkata, "Batalkan pernikahan itu, Ra. Jangan menikah dengan Pak Arsen."Aku sampai mereguk liur yang mengganjal di tenggorokan, sebelum membuka mulut kembali."Da-dari mana kamu tau tentang Arsen? Yun, kamu ... kamu bukan salah satu dari korban yang kamu sebutkan, kan?" tanyaku ragu.Sumpah, aku tak berharap Yuni menjadi salah satu dari korban yang dia sebutkan."Aku?" Dia berhenti sejenak. Tangannya ditarik lagi dan Yuni menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Ayo lah, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Kamu lupa kalau aku masih virgin?" katanya menambahkan.Kuusap dada lega setelah mendengar penjelasan Yuni. Tapi tetap saja aku tak bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan lain yang bermunculan di kepalaku."Kamu nggak bohong, kan?""Untuk apa aku bohong? Papaku sangat keras mendidik kami, kau tau aku bisa s
Matanya yang sayu membuktikan Arsen sedang berhasrat sekarang. Aku baru saja membuat masalah pada lelaki ini, oleh rasa ingin tahuku yang menggebu. Jujur aku takut pada Arsen, tapi hatiku mengganjal sebelum mendengar penjelasan darinya."Maaf, kita akan menikah sebentar lagi. Menurutku, kau mungkin tak keberatan jika aku ingin tahu banyak tentangmu," kataku, dan kala itu pun batinku merontah-rontah di dalam sana. Menyalahkanku yang sudah dengan bodohnya membangunkan kemarahan orang gila ini.Lantas kiku mundur selangkah, menjaga jika sewaktu-waktu Arsen mengamuk."Tapi jika kau keberatan, kau tak perlu menjelaskannya." Kugigit lidah di dalam sana agar tidak lagi berbicara. Mata Arsen begitu menakutkan sekarang."Foto di kamar itu? Bukannya kau sendiri sudah melihatnya, dan kupikir kau sudah bisa mengartikannya," ucap Arsen. Tidak seperti yang aku bayangkan tadi, dia tidak mengamuk."Aku hanya melihat namanya sama denganku. Aku tak tau siapa dia dan
"Nara ..." panggil Tante Riana. Dia tak langsung melanjutkan perkataannya justru kulihat mengusap wajah. "Semua ini salah wanita itu. Dia yang membuat Arsen menjadi pribadi yang buruk."Apa katanya? Pribadi Arsen yang buruk berasal dari kesalahan wanita bernama Nara itu? Aku tak bisa mengartikan ucapan Tante Riana, lantas kuminta dia berbicara dengan jelas."Maksudnya, Tante? Aku tak paham jika Tante tak menjelaskan dengan detail."Dia mengembuskan napas kasarnya sebelum berkata, "Perempuan itu gila, Nara. Kami sendiri tak tau apa sebenarnya yang sudah dia lakukan pada Arsen. Tapi semenjak perempuan itu meninggalkannya, kami mendapat isu yang mengatakan Arsen memiliki gangguan pada ..." katanya tergantung."Gangguan pada masalah bercinta? Dia jadi kasar dan suka menyakiti pasangan kencannya?" Aku melanjutkan ucapan Tante Riana dengan bahasa yang lebih halus. Ya, bagimana pun aku tak tega menyebut putranya kelainan seks."Ya, seperti itu lah." Tante
"Kau sudah siap?"Aku melonjak ke depan Arsen dan memeluk lengannya erat. Kuabaikan para tukang rias yang menungguku dengan sabar. Aku hanya ingin menyambut Arsen yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ini.Dia melihatku dengan sebelah alisnya yang menukik. Ada keterkejutan di wajahnya yang tampan itu. Aku tetap membuat diriku seolah tak merasa terganggu dengan eskpresinya."Ada apa denganmu?" tanya Arsen.Oh ....Dia tentunya bingung melihat tingkahku yang berubah drastis. Dari yang tadinya kami hanya banyak diam, tiba-tiba aku menjadi sangat agresif seakan tak memikirkan persoalan terakhir di ruang kerjanya tempo hari."Kenapa? Ada yang salah denganku?" Mendongak kepala aku untuk melihat wajahnya."Kau tak merasa dirimu aneh? Sejak tiga hari ini kau seperti orang yang kesurupan."Bisa kau dengar bibirnya yang mengandung cabe? Aku sudah berusaha menahan rasa malu di depan dua perias ini, dan sekali lagi dia meledekku kesuru