All Chapters of Ramalan Buku Merah: Chapter 21 - Chapter 30
108 Chapters
- 20 -
Dunia ini adalah panggung sandiwara. Setiap orang ingin mementaskan karya terbaiknya. Padahal semua itu hanyalah kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk mendapatkan pujian dan tepuk tangan. Dalam dunia panggung ini, tak ada namanya aturan menghibur. Kau bisa menjadi siapa pun, melakukan apapun, sekalipun kau mempermainkan orang lain atas nama hiburan.Dunia sandiwara sangatlah kejam dan tak ada yang bisa dipercaya. Semua pemeran memakai topeng untuk melakukan penyamaran. Tahukah kau apa yang paling kubenci? Seorang penyamar yang mengambil peranku. Kau boleh menyamar dan memainkan seribu peran. Tetapi tidak untuk peranku. Karena aku adalah pemeran utama di panggung ini.Sayangnya, ada orang yang menirukan peranku itu. Ia terus bersandiwara dan memoles wajahnya lalu menggambar wajahku. Kau tahu apa akibatnya? Akan kuantarkan dia pada penyamaran sesungguhnya. 'Death is a great disguiser' alias kematian adalah
Read more
- 21 -
Gerimis kembali menyambangi kediaman Alfie. Sudah seminggu terakhir hujan kerap kali turun di pagi hari hingga menjelang siang. Wajar saja, saat itu sudah memasuki bulan penghujung tahun. Oleh karena itu, Alfie dan Si Kembar lebih memilih menghabiskan waktu di rumah saja. Sebenarnya Alfie tidaklah suka terus-terusan berada di rumah. Walaupun usia sudah memasuki senja, ia tetap saja sering keluar rumah sendirian meski hanya sekedar untuk berbelanja di minimarket atau minum kopi di kafe. Musim hujan kali ini sepertinya mampu menahan kebiasaannya itu.Pagi itu Airel menyiapkan beberapa potong roti bakar dan cokelat hangat untuk menemani sarapan mereka. Kemudian ia mengambil selai kacang dari dalam kulkas yang berada di sudut ruangan lalu mengolesi roti itu satu per satu."Ada kabar terbaru mengenai Edi," sela Airen datang menghampiri Airel.Airel menoleh sebentar. "Oh," respon Airel datar.Airen mengernyit. "Kau tak tertarik dengan perkembangannya?"
Read more
- 22 -
Inspektur Yoga merebahkan punggung di kursi kerjanya. Lelah matanya tak bisa ia tutupi. Beberapa waktu terakhir ia memang terpaksa harus lembur. Bahkan di atas meja kerjanya masih ada setumpuk berkas yang harus ia periksa. Baru saja matanya hendak terlelap, terpaksa harus tersadar karena mendengar suara ketukan pintu. Seorang pria berseragam pun masuk setelah diberi izin olehnya."Lapor, Pak!" Pria itu menberi hormat. "Saya baru saja mendapat kabar telah ditemukan mayat seorang laki-laki tanpa identitas di kawasan Taman Akcaya. Sementara ini mayat diduga adalah korban pembunuhan, Pak."Wajah Yoga berubah muram. Apalagi ini? kata Yoga dalam hati. "Pembunuhan?" tanya Yoga memastikan. "Bagaimana kalian bisa menyimpulkan secepat itu? Bahkan saya belum melihat keadaannya.""Berdasarkan keterangan pelapor, keadaan korban sangat mengenaskan, Pak. Kecil kemungkinan ini adalah kasus kecelakaan apalagi bunuh diri."Apakah separah itu? batinnya lag
Read more
- 23 -
Inspektur Yoga meminta pelayan rumahnya menyediakan minuman setelah membukakan pintu untuk Alfie dan Si Kembar. Mereka berjalan menghampiri Bripka Adi dan Aipda Hendri di ruang tamu yang telah datang lebih dulu."Siapa mereka?" bisik Bripka Adi pada Aipda Hendri.Aipda Hendri hanya mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya."Maaf, Pak Alfie! Saya harus meminta kalian datang langsung ke rumah saya. Di luar sana hujan turun lagi. Jadi saya rasa lebih baik kita membicarakannya di sini saja," ujar Yoga merasa sedikit bersalah.Alfie tersenyum semringah. "Itu bukan sebuah kesalahan, Yoga," balas Alfie seraya menepuk pelan pundak Yoga. "Aku yang harusnya meminta maaf karena akan merepotkanmu."Inspektur Yoga tertawa renyah mendengar pernyataan Alfie. Ia pun langsung mengenalkan Alfie dan Si Kembar kepada Bripka Adi dan Aipda Hendri. Mereka pun saling bersalaman dan menyebutkan nama satu sama lain."Bripka Adi, Aipda Hendri. Inilah Airen dan Aire
Read more
- 24 -
Seisi ruangan luas itu pekat akan aroma disinfektan2. Lima meja bedah beserta peralatan lengkap ada di ruangan itu. Di sisi lain dinding ruangan yang bercat putih itu, terdapat pintu-pintu yang mengarah ke ruangan lain. Terdapat nama di setiap pintu, salah satunya Cold Storage.Itu kali pertama Airel masuk ke ruangan bedah. Jauh dari bayangannya, ternyata ruangan operasi forensik tidak seseram kedengarannya. Seperti biasa, ia selalu mengamati keadaan sekitar seperti mempelajari apa yang mampu ditangkap oleh matanya."Tolong letakkan jenazahnya di sini!" ujar seorang pria berperawakan tajam yang berdiri di dekat salah satu meja bedah.Seorang pria berkulit terang dan dibantu Bripka Adi menuruti perintahnya. Mereka meletakkan kantong berwarna oranye di atas meja bedah yang telah ditentukan."Hey, apa kau hanya akan berdiam di situ saja?" tanya pria berperawakan tajam itu pada Airel.Airel menoleh ke pria itu dan menaikkan
Read more
- 25 -
"Sepertinya kau begitu menguasai mengenai anatomi tubuh manusia. Walaupun masih muda, tapi kau terlihat sangat ahli dalam hal itu Bagaimana kau mempelajarinya?" tanya Bripka Adi sembari melepas baju operasi yang masih dikenakannya."Aku hanya belajar dari membaca dan menonton saja."Bripka Adi mengernyitkan dahi tak percaya. Ia sangat yakin mana mungkin tanpa praktik langsung, seseorang bisa menguasai sebuah ilmu dengan mudahnya. Apa mungkin Airel adalah pengecualiannya? Atau ada jawaban lain yaitu Airel sedang menutupinya saja."Langsung ke ruangan Inspektur Yoga?" tanya Airel.Bripka Adi mengangguk sebagai jawaban. Lalu mereka pun berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruangan Inspektur Yoga. Ruang operasi forensik sendiri memang masih satu kawasan dengan kantor kepolisian, hanya terpisah gedung namun tidak terlalu jauh."Kenapa Inspektur Yoga tidak ikut melihat secara langsung proses autopsi?" tanya Airel lagi sembari menyibak rambutnya.
Read more
- 26 -
Dokter Faiz Anhar, dokter muda yang baru bergabung di forensik kepolisian setahun terakhir. Sekilas penampilannya tidaklah seperti seorang dokter cenderung seperti selebritas Turki. Kulit yang terang dengan jambang tipis menjadi pemikat tambahan selain hidung mancungnya yang telah tertancap. Rumornya dokter muda itu memang memiliki darah keturunan arab, namun belum ada seorang pun yang memastikannya langsung.Meskipun terkenal pendiam, kinerja Dokter Faiz tak kalah mengangkat namanya. Dia bekerja sangat teliti, cepat dan hasilnya selalu memuaskan. Tak heran Dokter Doni yang terkenal perfeksionis pun sangat percaya padanya. Bahkan Dokter Doni dengan bangga pernah berkata bahwa Dokter Faiz adalah cerminan dirinya saat muda.Pagi itu Dokter Faiz melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Inspektur Yoga. Ternyata sudah ada lima orang yang sudah menunggu kehadirannya. Ia pun langsung memberikan berkas hasil pemeriksaan forensik kepada Inspektur Yoga.Sejujurnya Dokt
Read more
- 27 -
Anggi tertunduk lesu. Derai air mata mengalir deras di pipi. Sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang tengah dirasakan. Jemari tangan kanannya mengenggam sebuah benda dengan erat, sedangkan jari yang lain mencengkeram kuat ujung bajunya. Andai sanggup berteriak mungkin ia sudah melakukannya.Anggi dilema dengan apa yang tengah dirasakan. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Menerimakah atau menolaknya? Untuk sesaat menumpahkan air mata adalah pilihan terbaik.Seketika Anggi mendongakkan kepala dan mengusap air mata saat pintu kamarnya berderit. Tampak Mira masuk dengan wajah khawatir. Bagaimana tidak? Mira sangat cemas dengan keadaan Anggi yang sudah seharian mengurung diri di kamar. Sadar akan kedatangan Mira, Anggi langsung menyembunyikan dan menduduki benda yang tadi berada di genggamannya."Ada masalah apa, Gi?" tanya Mira pelan dan langsung duduk di samping Anggi.Anggi hanya menggeleng samar sebagai jawaban. Ia merasa mal
Read more
- 28 -
Airen berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sorot matanya terus tertuju pada lantai. Mulutnya menggigiti jari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya terlipat ke dada menopang siku kanan. Wajah gusarnya tak bisa ia tutupi. Sesekali ia mengecek lagi ponselnya dan melakukan panggilan, namun semuanya berakhir nihil. Ia tak mendapati sesuatu yang bisa membuatnya tenang.Jarum jam terus berputar dan menunjukkan pukul dua pagi. Airel yang duduk di ruang tamu hanya bisa memperhatikan kegelisahan adiknya. Ia tahu sikap Airen menjadi demikian karena ucapannya mengenai sketsa wajah yang telah ia lihat."Kenapa sikapmu aneh, Ren?" Airel membuka suara dan memecah keheningan. "Kemarin kau keluar ruangan Inspektur Yoga sesuka hatimu, sekarang kau begitu khawatir mengenai Paman Alfie. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Airen mengangkat wajahnya dan melempar pandangan ke Airel. "Bagaimana aku tidak khawatir setelah mendengar ceritamu? Apa kau lupa dengan ekspresi paman saat men
Read more
- 29 -
Suasana kediaman Si Kembar tidak seperti biasanya. Pagi itu mereka harus sarapan tanpa Alfie. Biasanya mereka bertiga akan menyantap roti selai kacang dan cokelat hangat buatan Airel. Lalu membincangkan kejadian kemarin atau rencana yang akan dilakukan pada hari itu.Sesekali Airen masih mengecek ponselnya, mungkin saja ada kabar tentang Alfie. Namun terpaksa netranya lagi-lagi tidak mendapati kabar apa pun mengenai pamannya."Kita tunggu saja sampai nanti siang. Jika belum ada kabar dari paman, kita harus ambil tindakan," ujar Airel."Iya," balas Airen singkat.Airel meletakkan buku merah di meja. "Sekarang lebih baik kita pecahkan maksud dari deretan angka ini."Mata Airen tertuju pada delapan belas angka yang berderet itu. "231431512 623313936" tertera dengan jenis tulisan sancreek di sampul buku. Warnanya putih kusam namun tetap jelas terlihat pada buku yang berwarna merah darah."Apakah angka-angka ini mewakili
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status