Lahat ng Kabanata ng Invitasi: Kabanata 11 - Kabanata 20
98 Kabanata
011. Makan Malam.
Adien sedang memasak untuk makan malam di dapur ketika Rania dan Tami turun bersamaan. Keduanya telah kembali segar setelah cukup istirahat dan mandi.“Masak apa?” Tami duduk di bagian depan meja dapur. Rania melakukan hal yang sama.“Moodku belum kembali jadi aku hanya masak masakan sederhana. Yang penting bisa menghilangkan rasa lapar.” Adien mematikan salah satu kompor dan memindahkan panci yang berisi sayur. “Aku enggak tahu selera kalian, tapi aku masak dalam jumlah yang cukup jika ada yang mau bergabung.”“Itu cukup.” Tami mendekat ke arah Adien. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menawarkan diri.Adien melihat sekelilingnya sebelum menjawab, “Tolong angkat ikannya!” katanya setelah melihat kompor yang lain.“Kalau aku enggak pernah memilih-milih makanan. Apa yang ada, itu yang dimakan,” Rania ikut menimpali.“Aku bisa makan apa pun asal ada samb
Magbasa pa
012. Memahami Situasi.
Setelah makan malam selesai dan bersih-bersih tuntas, Adien membuat teh dan memotong beberapa buah untuk dinikmati bersama. Mereka berkumpul di ruang depan. “Masih belum ada sinyal juga?” Jovita mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.  “Staf acaranya masih belum ada yang datang juga?” Tami mondar-mandir di depan pintu yang terbuka. Kembali merasa cemas. Hening. Masing-masing orang sibuk sendiri-sendiri. Ada yang memainkan ponselnya; terus-menerus memeriksa jaringan, keluar-masuk galeri foto, bermain game offline, dan apa pun yang masih bisa ponsel lakukan. Ada juga yang sibuk berpikir dan sibuk meratapi nasib. “Hidup benar-benar lucu.” Isamu memecah keheningan. “Siapa yang akan menyangka kalau di masa depan kita akan terjebak di tempat asing, bersama orang-orang enggak dikenal, dan orang yang dibenci.” Benar. Hidup benar-benar lucu. Takdir sangat pandai mempermainkan nasib seseorang. “Benar!”
Magbasa pa
013. Misteri Papan Nomor Kamar.
“Rania Meisy, tidak ada yang ingin kamu jelaskan?” Mika mengulang pertanyaannya.Semua mata masih menatap Rania lekat. Beberapa dari mereka menatap menghakimi, sisanya ingin tahu dan menuntut penjelasan. Jika tuduhan Mika benar, seharusnya ada alasan tidak biasa yang melatarbelakangi tindakan Rania.“Apa? Kenapa aku?” Rania yang tidak mengerti maksud Mika balik bertanya.“Saat kamu bertanya di mana kamar Isamu, aku menyebutkan kamar nomor 4. Tapi nomor 4 yang kamu pilih adalah kamar di seberang nomor 2. Itu aneh. Karena siapa pun pasti akan menghitung berurutan dari yang paling depan, tidak menghitung zig-zag seperti yang kamu lakukan,” jelas Mika. “Caramu menghitung seperti kamu tahu urutan nomor kamar yang benar. Yang sesuai dengan papan nomor yang seharusnya menggantung di pintu.”Rania mengerutkan keningnya “Itu bukan alasan,” kilahnya “Aku memang terbiasa menghitung seperti itu karena
Magbasa pa
014. Pagi yang Tak Terduga.
Nasi goreng, telur mata sapi, dan sawi rebus dalam wadah terpisah telah disajikan di meja makan. Adien, Rania, dan Isamu yang turun bersamaan, tidak melihat ada siapa pun berada di dapur.“Siapa yang masak?” Adien bertanya setelah membuka penutup meja makan. Aroma nasi goreng yang menguar dapat tercium oleh siapa pun. Uap panasnya yang menggulung di udara menandakan masakan langsung disajikan begitu matang. “Tami.” Mika muncul dari pintu belakang, “Pagi-pagi dia sudah bangun.”“Loh!” Adien menunjuk pintu yang baru saja Mika tutup. “Bukannya kemarin pintunya enggak bisa dibuka?”Adien yakin pintu belakang terkunci karena saat itu ia yang memeriksa. Berkali-kali Adien mencoba bahkan sampai memaksa agar pintu terbuka, sayangnya pintu tetap bergeming.Isamu mengangguk, ikut memperkuat keterangan Adien. Saat itu ia juga telah mencoba dan pintu sama sekali tidak bisa dibuka.“
Magbasa pa
015. Penyelidikan dari Luar.
Sebuah bangunan mewah dengan halaman seluas 500 meter persegi berdiri dengan megah di pusat kota jalan MT Haryono. Kawasan itu memang terkenal elite. Sepuluh konglomerat terkaya di Indonesia tinggal di area itu.Laisa Khalila 23 tahun, tinggi 173 senti. Ia sedang bersantai di halaman depan, di bawah sinar matahari yang hangat. Ia berbaring dengan malas di atas kursi santainya. Matanya terpejam namun kesadaran masih utuh terjaga.Rambut Laisa dipotong terlalu pendek, belah samping. Penampilannya tomboi dan serampangan. Sama sekali tidak ada kesan anggun atau manis sebagai putri konglomerat.“Laisa!” Seorang pria memanggil namanya. Dengan setengah berlari ia mendekat. “Laisa!!” panggilnya lagi dengan suara yang lebih keras. “Laisa, Laisa!!!” panggilannya berulang kali lebih dekat ke telinga Laisa.Razan Witton 25 tahun, tinggi 185 senti. Tubuhnya tegap, berisi tapi tidak gemuk. Rambutnya tersisir rapi belah samping dengan
Magbasa pa
016. Memindahkan Mayat.
Mika mengetuk pintu kamar mandi. Suara keran air terdengar dimatikan dan tidak lama kemudian pintu akhirnya dibuka. Wajah Rania yang basah menandakan ia baru selesai membasuhnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Mika.Rania hanya mengangguk. Wajahnya masih terlihat pucat. Semua orang juga sama. Mereka terkejut, syok, tidak menyangka. Adien dan Tami bahkan saling berpelukan dan menangis cukup lama.Semua orang berkumpul di ruang depan lantai bawah. Tidak terdengar percakapan apa pun sejak Rania masuk ke kamar mandi. Hanya sesekali terdengar suara isak tangis. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikirannya, merasa terancam, dan ketakutan.“Bukannya kamu sangat suka menakut-nakuti orang, kenapa sekarang wajahmu terlihat lebih pucat dari Tami?” celetuk Isamu.Adien berhenti terisak. Semua mata melihat ke arah Isamu, kemudian beralih memperhatikan ekspresi Rania.Rania menatap tajam Isamu, kemudian tersenyum sinis. “Seseo
Magbasa pa
017. Saling Tuduh.
Mika dan Rania berlari menuruni tangga. Suara derit kayu terdengar seiring pijakan berpindah dari satu anak tangga ke anak tangga lain. Suara ribut-ribut di lantai bawah sungguh membuat khawatir. Terlebih karena hal buruk baru saja terjadi.“Hentikan! Berhenti!!”Tami menjambak rambut Isamu. Isamu yang tidak mudah ditindas lantas melawan. Jambak-menjambak rambut antar Tami dan Isamu terjadi cukup sengit. Keduanya sampai terjatuh dan bergulung di lantai. Adien yang coba memisahkan justru terkena sikut hingga hidungnya berdarah.Melihat kemalangan yang menimpa Adien, Rania yang semula akan memisahkan memilih mundur teratur. Tidak ingin bernasib sama. Ia menggeleng pada Mika dan memaksakan senyumnya, kemudian mempersilakan Mika untuk mengambil alih. Menjadi pelerai.“Berhenti!” Meski tegas, suara Mika tetap terdengar tenang.Tidak ada yang menghiraukan. Sebenarnya Mika memang  tidak berharap banyak.  Ia celingukan ke
Magbasa pa
018. Perasaan Tidak Aman.
Saat Jovita yang tergeletak berlumur darah ditemukan di kamarnya, Isamu melihat Tami menyembunyikan sesuatu. Tami adalah orang pertama yang menemukan mayat Jovita, jadi tidak heran kalau Tami mendapatkan sesuatu yang mungkin berhubungan dengan pembunuhan Jovita.Pembunuhan!Tidak ada satu orang pun yang berani menyebut kata ‘pembunuhan’ atau ‘membunuh’. Mereka tidak ingin membuat situasi semakin tegang. Tidak ingin menghadirkan suasana yang lebih menakutkan. Meski tidak disebut, masing-masing dari mereka tahu dengan jelas apa yang telah terjadi.Meski tahu Tami menyembunyikan sesuatu, Isamu tidak mengatakannya pada siapa pun. Jika dibuka saat itu juga, Isamu takut Tami akan mengarang alasan dan tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Isamu akan menyelidiki sendiri dan menangkap basah Tami. Ia bisa melakukannya seorang diri.Isamu mulai berpikir, mengurutkan semua hal dari awal.“Bukankah kamu tadi terlihat bersemangat sa
Magbasa pa
019. Omlet.
Mika berjalan menuju dapur bukan dengan niat seperti sebelumnya. Bukan untuk mengambil air atau apa pun untuk memisahkan keduanya. Kali ini Mika tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Ia biarkan saja Isamu dan Tami saling bergelut sampai puas. Sampai mereka lelah dan berhenti dengan sendirinya.Mika mengambil pisau, kol, wortel, telur, dan mulai memasak.“Di saat seperti ini masih sempat-sempatnya memasak?” Rania menggeleng tidak habis pikir.“Kalau kamu mau mati kelaparan lakukan saja sendiri!”Pagi tadi mereka belum selesai sarapan dan kejadian yang tidak diharapkan terjadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15. Meski tidak ada keinginan untuk makan, meski keadaan tidak baik-baik saja, meski perasaan dipenuhi hal-hal yang tidak mengenakkan, tenaga tetap dibutuhkan. Untuk berpikir, untuk bertahan.“Apa benar enggak apa-apa membiarkan mereka seperti itu?” Adien yang tidak tenang ikut bergabung di dapur.&l
Magbasa pa
020. Mencoba Terbuka.
Hening. Meja makan dalam kediaman yang membuat situasi menjadi canggung. Mika menarik piring omlet miliknya dan diikuti oleh semua orang. Ia mengambil yang paling kecil. Tatapan Rania lekat tertuju pada piring omlet yang dipilih Mika.“Kenapa kamu mengambil yang paling kecil?” Rania memprotes sesuatu yang tidak penting.“Karena aku memang membuatnya sesuai porsiku.”“Kalau begitu kenapa porsi yang lainnya lebih besar?” balas Rania lagi.Orang-orang yang berada di meja yang sama menoleh ke arahnya, menghela nafas, dan menggeleng. Rania memang sangat pandai memulai omong kosong. Mungkin tujuannya untuk mencairkan suasana, tapi tema pembicaraan yang dia pilih benar-benar tidak berguna.Bisa jadi bahkan niatnya tidak semulia mencairkan suasana. Seperti pemikiran Isamu, Rania memang orang yang penuh omong kosong.Mika sengaja tidak menanggapi untuk menghentikan pembahasan tidak berguna Rania, tapi wanita itu te
Magbasa pa
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status