All Chapters of Liara : Chapter 31 - Chapter 40
60 Chapters
Bab 31
"Tidak. Jangan." Liara melihat pria itu lagi dalam tidur. Di matanya terpancar kemarahan yang menakutkan. "Tidak. Aku tidak ingin." Max yang baru saja menghuni ruangan saling melempar tatap dengan Hagan yang tampak terpaku di atas ranjang. Pria itu menghampiri Liara. Berusaha membangunkannya dari mimpi yang sepetinya sangat buruk. "Kau mimpi buruk, ya?" Pria itu menyodorkan satu gelas air putih. "Karenanya aku melarangmu tidur sepanjang hari. Ini sudah pukul dua, kau tidur sejak pukul sebelas." Duduk dengan kepala ranjang yang dinaikkan, Liara menyuarakan tanya. "Aku sudah diizinkan pulang? Perbannya sudah dibuka. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku ingin pulang." Max menoleh pada sepupunya. Hagan tak membalas tatapan. "Dua hari lagi." "Kalau begitu, pindahkan aku ke ruangan lain. Ke mana saja." Suaranya memelan. Ingin sekali segera berada jauh dari Hagan, tetapi sadar diri siapa dir
Read more
Bab 32
Kediaman Hagan terasa sepi akhir-akhir ini. Tak ada ada lagi tawa atau sekadar suara dua orang saling memanggil. Entah itu Hagan atau Liara, keduanya sama-sama bungkam. Pulang bersamaan dari rumah sakit, pasangan suami-istri itu mengatur jarak. Sebisa mungkin tidak bertatap muka, apalagi terlibat konversasi. Kalau pun terpaksa, pastilah melalui salah satu pelayan atau pengawal mereka. Liara dengan kemarahannya, Hagan dengan kegamangan dan rasa bersalahnya. Memilih menyatu bersama sepi, yang perlahan membuat jarak. Untuk mengurangi intensitas bertemu Hagan, seharian Liara akan berada di kamar. Makan, mandi, menonton, semua ia lakukan di sana, sendirian. Tidur juga, karena sejak kembali dari rumah sakit, Hagan masih tak mau datang ke ruang tidur mereka itu. Sebenarnya itu bagus. Liara juga belum siap menghadapi momen harus berduaan saja dengan Hagan. Namun, entah kenapa perasaan terusik oleh secuil hampa. "Nyonya, makan
Read more
Bab 33
"Kau mau ke mana?" Di ruang tamu, Max yang melihat Hagan akan pergi menahan sepupunya itu. Ini sudah larut, Max merasa perlu tahu ke mana tujuan Hagan. Max datang dan menginap di sini karena diminta Orlando. Pamannya mendengar dari Biru, bahwa hubungan pasangan suami-istri itu belum juga berdamai. "Bukan urusanmu." Hagan menepis tangan Max. Berlalu dengan langkah cepat, lalu kembali diadang. "Ini urusanku. Kau akan menabrakkan diri seperti tempo hari? Kekanakan dan bodoh. Jika memang merasa bersalah pada Liara, minta maaf, tebus dosamu. Bukan mati." Max tak lagi sabar dan berusaha membujuk. Ia kesal dengan sikap sang sepupu yang belakangan jadi ragu-ragu, terkesan seperti pengecut. Menabrakkan diri. Liara yang tadinya menguping--tidak sengaja--di salah satu pilar rumah memutuskan menghampiri dua pria di dekat pintu. Ia butuh penjelasan. "Maksudmu apa, Max? Menabrakkan diri? Bukan kecelakaan?" Pelan, tangan perempuan it
Read more
Bab 34
Ada yang berbeda saat Liara menginjakkan kaki di ruang baca setelah beberapa waktu tidak ke sana. Karpet biru itu tidak lagi ada. Mungkin masih belum selesai dicuci atau mungkin sudah dibuang, sebenarnya penasaran, tetapi terlalu malas untuk bertanya. Naik ke ayunan di dekat jendela, Liara menghela napas. Pikirannya lelah. Terlalu banyak dipakai untuk memikirkan hal-hal yang rumit. Selanjutnya bagaimana? Masih akan meneruskan perang dingin dengan Hagan? Atau mengikuti saran Max? Atau .... Satu sisi diri masih sangat marah pada sang suami, tetapi satu sisi lagi mengiyakan dan mengamini ucapan Max. Dibandingkan dengan kesalahan, jelas kebaikan Hagan lebih banyak. Toh, pria itu melakukannya karena salah paham, mengira Liara telah berkhianat. Namun, bukankah harusnya Hagan lebih percaya padanya? Atau paling tidak, menyelidiki lebih dulu. "Menyebalkan," gerutunya seraya kembali menghela napas. Tak
Read more
Bab 35
"Nyonya masih marah pada Tuan Hagan?" Tiga kali dalam sehari Biru menanyakan itu pada Liara, sejak ia dan sang suami plang dari rumah sakit. "Kau perempuan yang yang tegas juga ternyata. Masih mendiamkan Hagan sampai saat ini. Hebat, Liara." Itu komentar Max, ketika beberapa kaii berkunjung. "Kasihan Tuan Hagan. Dia terlihat murung setiap hari sejak Nyonya marah." Liara mendengar Nia berucap begitu pada pelayan yang lain, kemarin sore. "Aku lebih suka mendengar ibunya Hagan marah, daripada harus melihatnya mendiamkanku. Apa semua pria seperti itu, ya?" Yang itu sindiran Orlando saat datang menjenguk beberapa hari lalu. Dari semua itu, satu kesimpulan yang Liara ambil. Semua orang mengasihani Hagan dan menganggapnya terlalu kejam karena masih saja mendiamkan dan mengabaikan pria itu hingga detik ini. Tak menampik, tetapi Liara merasa semua orang itu berlebihan.&n
Read more
Bab 36
"Aku pergi denganmu saja. Daripada harus bersama semua pria-pria itu." Hagan tak bisa menahan diri. Bernapas ringan, pria itu mengulas senyum. Awalnya duduk di sofa, ia berdiri dan menghampiri Liara dengan dua lengan terbuka lebar. Pria itu meraih lengan istrinya, menaruhnya di bahu, sementara tangan menelusup ke bawah ketiak Liara. Hendak mengangkat tubuh itu, ia disela. "Kau mau apa?" Liara memegangi bahu Hagan kuat. Sudah setengah menekuk lutut, Hagan yang wajahnya sejajar dengan Liara berkedip cepat-cepat. Manahan malu. "Kau tidak ingin digendong?" Ia tersenyum kuda pada perempuan itu. "Kau akan menggendongku dari sini sampai ke toko jam tangan itu?" Liara bertanya sinis. Ia kesal dengan cengiran tanpa dosa lelaki di depannya. Lelaki itu menggeleng. "Ke kamar. Kau tidak ingin ganti pakaian dulu?" Tangan Liara mendorong suaminya, hingga mereka lebih berjarak. "Aku punya kaki," ketusnya.&nbs
Read more
Bab 37
Di atas ranjang, dengan selimut menutupi hingga dagu, pukul satu dini hari, Liara sedang mencoba mencerna penjabaran yang baru saja selesai Hagan sampaikan. Bukan Redrick. Dalang dari mobil yang meledak itu adalah salah satu rival bisnis Orlando. Musuh lama sebenarnya dan nyaris tidak Hagan kenali jika si tersangka itu tak menyebut nama sebuah perusahaan yang sudah lama gulung tikar. Dua hari waktu yang diperlukan untuk mengusut kasus itu. Saat ini pelaku utamanya, menurut hasil penyelidikan polisi, sudah mendekam di penjara. Kata Hagan, ia kecolongan lagi. Salah satu pengawal adalah pembelot. Pengawal itu yang menikam Pak Rayi dan menyupiri Hagan sesuai arahan si otak kejahatan. Targetnya memang Hagan. Beruntung pria itu memiliki pengawal yang lebih pintar. Mobil yang Hagan naiki berhasil diberhentikan di sebuah pertigaan jalan kecil yang dilewati. Hagan dibawa pergi, supir tadi dibunuh di tempat. Mobil diantar sesuai navigasi yan
Read more
Bab 38
Liara tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya tadi. Hanya karena mendengar ancaman tak sungguh dari Tatiana, ia malah membongkar rahasia yang selama ini mati-matian dijaga. Oleh mulutnya sendiri, Liara mengumumkan bahwa Hagan adalah suaminya. Jangankan Tatiana, dirinya sendiri saja masih terkejut sampai detik ini. "Kau sudah menikah? Kau sudah menikah tanpa memberitahuku?" Si adik marah. Liara bisa paham itu. Ia akan terima jika Tatiana akan mendiamkannya sampai beberapa hari nanti. Yang membuatnya sedikit cemburu adalah adiknya itu bersikap berbeda pada Hagan. "Aku Tatiana, Kak. Maaf baru bisa menemuimu sekarang." Gadis remaja itu melirik sinis pada kakaknya. Setelahnya, Liara ditinggal berempat saja di sana. Usai hujan reda, Tatiana mengajak Hagan bicara berdua di tempat lain. Adiknya itu sama sekali tak tampak marah pada Hagan. Tatiana hanya memeluknya sekilas saat akan pamit tadi. Membuat Liara sediki
Read more
Bab 39
Liara melarang Hagan memanggil dokter atau membawanya ke rumah sakit. Mendadak alergi dengan dua hal itu, hingga Max yang sengaja diminta datang juga ia jauhi. Perempuan dengan wajah kuyu itu bersikeras tak ingn mendapat perawatan atau pemeriksaan apa pun. Hanya ingin istirahat. Hal itu membuat kepala Hagan nyaris pecah. Ia tak tega melihat Liara tampak pucat, lemas dan seperti kelelahan layaknya sekarang. Namun, ingin memaksa, ia juga tak bisa. Liara entah kenapa mudah sekali menangis sekarang. "Aku hanya akan memeriksa beberapa hal." Max yang ikut-ikutan duduk di ruang TV berusaha merayu lagi. Ia juga cemas karena Liara terlihat tak bertenaga. Masih dalam posisi berbaring di sofa, yang ditanyai menggeleng. "Menjauh dariku!" teriaknya. Max belum hilang arah. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku. Menaruhnya di meja. "Kau tahu cara menggunakan alat itu?" Melirik ke sana, Liara mengangguk. "Kau kira aku h
Read more
Bab 40
Hagan terbangun karena merasakan ada yang menggerakkan tangannya. Membuka mata, pria itu mendapati Liara sedang berusaha turun dari ranjang mereka. "Ke mana, Liara?" Pria itu duduk, berusaha membuka mata sepenuhnya. Berjengit karena terkejut, Liara menoleh. "Aku lapar. Ayam gorengku tadi masih ada, 'kan?" Seminggu sejak pemeriksaan kemarin, artinya Liara sudah hamil enam minggu. Tidak banyak yang berubah pada perempuan itu, selain lebih sering mual di pagi dan malam hari dan jam makannya berubah. Tadi, sewaktu jam makan, Liara menolak. Hanya memasukkan nasi dan sayur sebanyak tiga suap. Sekarang, di pukul dua dini hari, perempuan itu malah terbangun karena lapar. Beruntung Hagan sudah mewanti-wanti Nia untuk tetap menyimpan ayam goreng tadi. Hagan hanya tinggal memanaskan sebentar, lalu menyajikannya pada sang istri. Pelan-pelan, meski masih sering ragu, Liara mulai terbiasa dengan kehamilan ini. Perempuan
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status