Все главы A Wife's Diary: Глава 11 - Глава 20
92
Pernikahan Siri
Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya. Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja. Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang. Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif. Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&
Читайте больше
Cemburu
Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan. Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya.  Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya. Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya. [Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai. Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku. Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat
Читайте больше
Bimbang
Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV. "Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran. "Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan. Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu. "Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku. Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati. "Ini buat an
Читайте больше
Talak
Lelah rasanya tubuh dan otak ini. Aku berbaring di atas kasur, memandangi hujan dari balik jendela. Rintik yang turun teratur dari langit. Baru pukul dua siang, tapi langit sudah gelap. Tertutup awan hitam yang menangis. Fariz sedang asik menonton televisi bersama kedua kakaknya. Aku mengusap layar gawai, memeriksa pesan yang masuk. Tapi, pesan yang ditunggu tidak muncul sama sekali. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubungi Mas Fadil terlebih dahulu. Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban. Entah apa yang ia lakukan di sana hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar kepada kami. Lelaki itu terlalu terbuai oleh tipu daya setan. Semua yang ada di sampingnya tidak lagi terlihat olehnya. Hanya Melati yang memenuhi hati dan pikirannya. Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Begitulah sikap Mas Fadil sekarang ini. Ia manut dan patuh dengan semua ucapan yang keluar dari mulut M
Читайте больше
Tersesat Di Taman Bunga
Aku termenung seorang diri, meratapi nasib buruk yang tidak kunjung pergi. Aku mencubit pipi beberapa kali berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata. Mas Fadil, satu-satunya pria di dalam hidupku. Tega menjadikan istrinya janda untuk menikahi janda yang lain. Sungguh ironi, hidup ini. Namun, semuanya adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Rasa takut menjadi seorang janda dan stigma negatif tentang janda membuat hati ini gentar. "Ra, besok Adi jemput kalian. Lupakan kesedihan jangan berlarut-larut, anggap ini sebagai pembelajaran hidup," ucap Ibu dengan tatapan Iba. "Hore! Kita jalan-jalan!" pekik anak-anak yang tiba-tiba berlarian ke arah kami. "Mah, kita jalan-jalan ke mana? Sama Ayah kan?" tanya Kia-gadis cerewetku dengan mata berbinar. "Nggak tahu, kita ikut Om aja, yang penting jalan-jalan," jawabku tanpa menghiraukan kata Ayah yang ia sebut. Detik itu, aku berharap kata Ayah i
Читайте больше
Terbuang
Lelah rasanya seluruh tubuh, tapi puas karena anak-anak terlihat bahagia. Aku tidur di kamar lantai atas rumah Adi. Sengaja berlama-lama di rumah adik lelakiku karena ingin melepas beban untuk sesaat. Menjadikan waras pikiran ini di tengah badai yang menghantam selama ini. Aku berbaring malas di kamar, membuka beberapa pesan masuk di gawai. [Aku ada di rumah, kamu ke mana?]Sebuah pesan dari Mas Fadil yang membuat  suasana hati menjadi keruh kembali. [Bukan urusanmu lagi, aku ada dimanapun]Pesan balasan terkirim. [Aku nanyain anak-anak, jangan ge-er.][Terserah, anak-anak baik. Mereka senang habis diajak jalan-jalan omnya][Ya sudah, jaga anak-anak]Aku mematikan gawai dengan kesal. Untuk apa lelaki itu pulang?  Jangan-jangan, ia mau mengambil barang berharga dari rumah. Aku kembali mengusap layar dan memberitahu Ibu agar beliau mengawasi Mas Fadil. Untunglah semua surat be
Читайте больше
Awal Hidup Baru
Hari ini langit terlihat cerah. Tidak panas pun tidak mendung. Aku masih sibuk menemani Fariz bermain. Netraku beralih ke arah benda pipih yang menyala. Sebuah notif terlihat dari layar. Pesan gambar dari salah satu sahabatku-vera yang lama sudah tidak bertemu. Entah angin apa yang membuat wanita berdarah Jawa itu menghubungiku tiba-tiba. Mataku membelakangi ketika melihat beberapa foto yang di kirim Vera. Foto Fadil, Melayu dan Ibu mertuaku. Hati ini perih seketika. Bahkan, Ibu mertua pun melupakanku. Aku menahan bulir bening yang mulai mendesak hendak keluar sekuat tenaga. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi keluarkan kejam seperti itu. Belum ada satu bulan, Fadil menyalak diriku. Mereka sudah menerima pelakor yang menghancurkan rumah tangga anaknya dengan tangan terbuka. Dadaku terasa panas dan bergemuruh menahan amarah yang telah naik ke ubun-ubun. Teganya mertua dan saudara Fadi
Читайте больше
Berpisah
Mobil travel sudah dipesan, barang bawaan pun sudah dikemas. Aku tengah menghabiskan sisa waktuku bersama anak-anak di rumah. Si sulung dan Kia terlihat murung dan sedih. Aku tahu, jauh di dalam lubuk hati, mereka pun merasakan takut dan sedih seperti yang kurasa. Hanya si kecil Fariz yang terlihat ceria hari itu, ia belum mengerti apa yang terjadi. "Mah, jangan pergi," ucap Luna dengan mata berkaca-kaca. "Kalau Mamah nggak pergi, kita nggak punya uang," jawabku sambil menahan embun yang mulai memenuhi pelupuk mata. "Pulangnya kapan?" tanya Kia dengan wajah murung. "Do'ain aja cepet dapet uang biar cepet bisa pulang.""Aaamiin," jawab anak-anak bersamaan. Hati ini sakit saat membayangkan jauh dari ketiga buah hati. Perih bagai disayat sembilu. Aku berlari ke dalam kamar seketika. Menumpahkan semua embun yang sudah tidak tertahan. Dering gawai akhirnya mengalihkan perhatian. S
Читайте больше
Terjebak Kenangan
Pagi itu, aku sudah bersiap untuk memulai pekerjaan baru. Vera mengantar sampai ke showroom tempatku bekerja. Aku melangkah pasti dengan semangat menggebu untuk merubah hidup. Untuk keluar dari lingkaran kenangan bersama Fadil. Aku berdiri tepat di depan sebuah bangunan besar dengan banyak kaca sebagai dindingnya. Memindai setiap sudut dari depan hingga ke belakang. Seorang pria berseragam Satpam menghampiri dan menyapa dengan sopan. "Selamat pagi, Bu. Mau ketemu sama siapa?""Ketemu Pak Andrian.""Ouh, beliau belum datang. Ibu tunggu saja di sana," ucap lelaki berpostur tegap itu sambil menunjuk ke arah samping bangunan. "Ouh, iya. Terima kasih."Aku pun pergi ke arah yang ditunjukan.  Tampak deretan kursi dari besi dan sebuah meja menghadap  ke arah bangunan. Aku duduk sambil membuka beberapa aplikasi di dalam gawai. Menunggu adalah pekerjaan paling melelahkan. Hampir satu
Читайте больше
Pulang
Tidak sabar rasanya hati ini ingin segera berjumpa dengan ketiga buah hati. Tepat pukul tiga dini hari, mobil beristirahat di sebuah tempat peristirahatan. Sopir dan sebagian penumpang turun utuk makan dan beristirahat. Aku pun turun dan  memilih berjalan-jalan sekitar tempat peristirahatan. Sekedar mencari angin segar setelah berjam-jam di dalam mobil. Suasana masih gelap, hanya penerangan lampu yang menerangi sebagian jalan. Aku mengusap layar gawai untuk memberitahukan kepulanganku subuh ini. Akhirnya, setelah satu jam di tempat istirahat. Mobil kembali melaju, membelah jalanan yang mulai lengang seperti hati ini yang terasa sepi. Jauh di dalam lubuk hati, ada rasa malu untuk pulang. Harapan yang jauh dari kenyatan, bukannya menambah pendapatan, aku malah menambah beban hutang. Setelah lima jam perjalanan. Akhirnya, aku sampai tepat di depan pintu rumah Ibu dengan membawa kegagalan. Aku mengetuk pi
Читайте больше
Предыдущий
123456
...
10
DMCA.com Protection Status