Lelah rasanya seluruh tubuh, tapi puas karena anak-anak terlihat bahagia. Aku tidur di kamar lantai atas rumah Adi. Sengaja berlama-lama di rumah adik lelakiku karena ingin melepas beban untuk sesaat.
Menjadikan waras pikiran ini di tengah badai yang menghantam selama ini. Aku berbaring malas di kamar, membuka beberapa pesan masuk di gawai.
[Aku ada di rumah, kamu ke mana?]
Sebuah pesan dari Mas Fadil yang membuat suasana hati menjadi keruh kembali.
[Bukan urusanmu lagi, aku ada dimanapun]
Pesan balasan terkirim.
[Aku nanyain anak-anak, jangan ge-er.]
[Terserah, anak-anak baik. Mereka senang habis diajak jalan-jalan omnya]
[Ya sudah, jaga anak-anak]
Aku mematikan gawai dengan kesal. Untuk apa lelaki itu pulang? Jangan-jangan, ia mau mengambil barang berharga dari rumah.
Aku kembali mengusap layar dan memberitahu Ibu agar beliau mengawasi Mas Fadil. Untunglah semua surat be
Hari ini langit terlihat cerah. Tidak panas pun tidak mendung. Aku masih sibuk menemani Fariz bermain.Netraku beralih ke arah benda pipih yang menyala. Sebuah notif terlihat dari layar. Pesan gambar dari salah satu sahabatku-vera yang lama sudah tidak bertemu.Entah angin apa yang membuat wanita berdarah Jawa itu menghubungiku tiba-tiba. Mataku membelakangi ketika melihat beberapa foto yang di kirim Vera.Foto Fadil, Melayu dan Ibu mertuaku. Hati ini perih seketika. Bahkan, Ibu mertua pun melupakanku.Aku menahan bulir bening yang mulai mendesak hendak keluar sekuat tenaga. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi keluarkan kejam seperti itu.Belum ada satu bulan, Fadil menyalak diriku. Mereka sudah menerima pelakor yang menghancurkan rumah tangga anaknya dengan tangan terbuka.Dadaku terasa panas dan bergemuruh menahan amarah yang telah naik ke ubun-ubun.Teganya mertua dan saudara Fadi
Mobil travel sudah dipesan, barang bawaan pun sudah dikemas. Aku tengah menghabiskan sisa waktuku bersama anak-anak di rumah.Si sulung dan Kia terlihat murung dan sedih. Aku tahu, jauh di dalam lubuk hati, mereka pun merasakan takut dan sedih seperti yang kurasa.Hanya si kecil Fariz yang terlihat ceria hari itu, ia belum mengerti apa yang terjadi."Mah, jangan pergi," ucap Luna dengan mata berkaca-kaca."Kalau Mamah nggak pergi, kita nggak punya uang," jawabku sambil menahan embun yang mulai memenuhi pelupuk mata."Pulangnya kapan?" tanya Kia dengan wajah murung."Do'ain aja cepet dapet uang biar cepet bisa pulang.""Aaamiin," jawab anak-anak bersamaan.Hati ini sakit saat membayangkan jauh dari ketiga buah hati. Perih bagai disayat sembilu. Aku berlari ke dalam kamar seketika. Menumpahkan semua embun yang sudah tidak tertahan.Dering gawai akhirnya mengalihkan perhatian. S
Pagi itu, aku sudah bersiap untuk memulai pekerjaan baru. Vera mengantar sampai ke showroom tempatku bekerja.Aku melangkah pasti dengan semangat menggebu untuk merubah hidup. Untuk keluar dari lingkaran kenangan bersama Fadil.Aku berdiri tepat di depan sebuah bangunan besar dengan banyak kaca sebagai dindingnya. Memindai setiap sudut dari depan hingga ke belakang.Seorang pria berseragam Satpam menghampiri dan menyapa dengan sopan."Selamat pagi, Bu. Mau ketemu sama siapa?""Ketemu Pak Andrian.""Ouh, beliau belum datang. Ibu tunggu saja di sana," ucap lelaki berpostur tegap itu sambil menunjuk ke arah samping bangunan."Ouh, iya. Terima kasih."Aku pun pergi ke arah yang ditunjukan. Tampak deretan kursi dari besi dan sebuah meja menghadap ke arah bangunan.Aku duduk sambil membuka beberapa aplikasi di dalam gawai. Menunggu adalah pekerjaan paling melelahkan. Hampir satu
Tidak sabar rasanya hati ini ingin segera berjumpa dengan ketiga buah hati. Tepat pukul tiga dini hari, mobil beristirahat di sebuah tempat peristirahatan.Sopir dan sebagian penumpang turun utuk makan dan beristirahat. Aku pun turun dan memilih berjalan-jalan sekitar tempat peristirahatan.Sekedar mencari angin segar setelah berjam-jam di dalam mobil. Suasana masih gelap, hanya penerangan lampu yang menerangi sebagian jalan. Aku mengusap layar gawai untuk memberitahukan kepulanganku subuh ini.Akhirnya, setelah satu jam di tempat istirahat. Mobil kembali melaju, membelah jalanan yang mulai lengang seperti hati ini yang terasa sepi.Jauh di dalam lubuk hati, ada rasa malu untuk pulang. Harapan yang jauh dari kenyatan, bukannya menambah pendapatan, aku malah menambah beban hutang.Setelah lima jam perjalanan. Akhirnya, aku sampai tepat di depan pintu rumah Ibu dengan membawa kegagalan.Aku mengetuk pi
Suasana hening, semua orang sibuk dengan isi pikirannya masing-masing."Lalu, Fadil mau apa ke sini?" imbuh Ibu terlihat penasaran."Mas Fadil meminta rujuk lagi," jawabku ragu.Seisi rumah terlihat kaget dan bingung. Mereka saling berpandangan satu sama lain, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku."Kamu sendiri bagaimana? mau balik lagi sama Fadil?" tanya Ibu seraya menatapku lekat.Aku terdiam, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Keluarga memang selalu mendukung di saat suka dan duka. Mereka akan selalu ada.Namun, dengan beban tiga orang anak yang masih kecil. Apa mereka sanggup dan rela menanggung semua biaya hidup anak-anak? Mungkin, jika hanya untuk makan saja, orang tuaku masih sanggup, tapi kebutuhan mereka di masa yang akan datang, akan jauh lebih banyak.Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Apa mereka setuju dan tidak keberatan j
Apa ini Ya Rabb? Sikapnya mulai berubah lagi. Apa ini pertarungan sebenarnya untuk memenangkan hatinya kembali?Aku masih termenung memandanginya hingga tidak terlihat lagi. Lelaki itu seolah tidak rela meninggalkan kota terkutuk itu. Ia belum rela berpisah dengan Melati.Jika ini caranya, aku hanya akan bertahan sampai dia mengatakan talak untuk ketiga kalinya. Di situlah akhir dari perjuanganku untuk memperbaiki semuanya dan mempertahankan dirinya.Namun, jika ia terlanjur menjatuhkan talak kembali. Aku ikhlas.***Sehari setelah kepergian Fadil. Ibu mengajakku kembai menemui ustaz untuk mengobati Fadil. Antara ragu dan takut. Namun, perubahan sikap Fadil yang seratus delapan puluh derajat membuatku yakin, bahwa ada kekuatan lain yang mempengaruhinya.Sebuah kekuatan hitam yang membutakan Fadil. Menjauhkannya dari Rabb-Nya. Entah apapun itu, alam ghaib memang benar-benar ada.Satu hal yang pasti,
Sabtu pagi aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan dan and1 sisir pisang kesukaan Mas Fadil.Hari itu anak-anak tampak riang menunggu kepulangan ayahnya. Hampir dua minggu Mas Fadil tidak pulang ke rumah dengan alasan sibuk mengejar target."Mah, hari ini Ayah pulang kan?"tanya Kia dengan mata berbinar." Insya Allah, doain aja biar cepet pulang," jawab ku ragu."Mah, ini ada surat dari sekolah. Mamah kan belum bayar uang sekolah Kakak tiga bulan," ucap si sulung seraya menyodorkan selembar kertas berwarna putih.Aku memegang secarik kertas itu dengan tatapan nanar. Dunia seolah berbalik, dahulu jangankan menunggak uang sekolah, kami bahkan mampu membayar satu tahun di awal.Lupakah Mas Fadhil dengan kewajibannya terhadap anak-anak? Inikah perlakuan adil yang ia janjikan? Aku segera mengusap layar gawai untuk menghubungi Mas Fadil.[ Ayah lagi di mana? Kapan pulang anak-a
Aku terbangun saat terdengar kumandang azan subuh. Kemudian segera mengambil air wudhu dan shalat di rumah.Fadil masih terlelap di atas tempat tidur. Entah sampai kapan lelaki itu akan lari dari kewajibannya kepada Allah.Di dalam sujudku, tidak hentinya diri ini mendoakan Mas Fadil agar kembali ke jalan dan agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja.Aku berusaha bersikap senormal mungkin dan melupakan kejadian semalam. Menyiapkan sarapan dan memasakkannya air panas untuk mandi.Ayam jantan telah berkokok sedari subuh. Akan tetapi, lelaki itu masih lelap dalam buaian mimpi. Selang beberapa menit, akhirnya Fadil terbangun dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.Lelaki itu menggapai gawai yang ada di atas nakas, kemudian melakukan sebuah panggilan vidio dengan seseorang.Aku nengintip