All Chapters of Aku Diabaikan Saat Setia: Chapter 21 - Chapter 30
32 Chapters
Soundtrack of My Life
Mas Rudi mengantarku pulang sampai ke mess. Akan tetapi, tak ada perpisahan manis seperti biasanya. Sepanjang mengenal Mas Rudi, ini malam terhambar yang pernah aku rasakan. Dewi dan Resti menoleh saat aku memasuki kamar dengan wajah cemberut. “Kusut amat mukamu, Tis. Lupa disetrika, ya?” Canda Resti. Aku tersenyum paksa. Rasa kesal di hatiku karena percakapan dengan Mas Rudi belum hilang. Perbincangan yang membuat acara kencan menjadi dingin dan tak menggairahkan, tak seperti biasanya. Semenjak dari food court, suasana hatiku buruk terus. Bujukan dan rayuan Mas Rudi tak mampu membuatku tersenyum ceria lagi. “Aku bertengkar dengan Mas Rudi,” kataku jujur, masih dengan raut wajah yang muram. Dewi dan Resti melebarkan sepasang mata mereka. Wajar mereka heran, karena aku hampir tak pernah ribut dengan Mas Rudi. Hubungan kami selama ini tenteram dan d
Read more
Ultimatum
Sebuah lagu romantis mengalun dari ponselku. Itu nada dering yang aku setel khusus buat Mas Rudi, agar aku tahu bahwa dia yang menelepon setiap kali ada panggilan masuk.  Aku yang sudah siap berdandan cantik dan berpakaian menarik sejak tadi, sigap menekan layar ponsel untuk menerima panggilan itu. Sudah satu jam aku menunggu kedatangan Mas Rudi ke mess, karena hari Sabtu ini aku akan kembali kencan.  “Oh, sudah di depan, Mas? Aku keluar sekarang, ya. Muah!” Kataku tanpa malu di depan Dewi dan Resti. Toh kami hanya bertiga di dalam kamar ini. Sementara aku, Dewi, dan Resti sudah sangat dekat seperti saudara. Terhitung sudah setahun aku resmi bercerai dari Kang Oded, hubunganku dengan Mas Rudi kian dekat dan tanpa batas.  “Tis, maaf sebelumnya. Aku mau jujur...” Tiba-tiba Dewi menahan tanganku yang hendak beranjak pergi. 
Read more
Wajah Pada Kertas
Rindu. Siapa bilang rindu itu indah? Rindu itu berkah? Nyatanya, sakit dan nyeri yang aku rasakan kini. Rindu membuatku tak bisa tidur, karena teringat terus kepada Mas Rudi. Kehadiran malam selalu menjadi pembuka pintu siksaan baru bagiku. Berkali-kali aku ingin menghubunginya, menelepon sebentar saja. Cukuplah mendengar suaranya, demi menawar sakit rindu ini. Tapi berkali-kali juga aku batalkan niat, tepat ketika jemari siap memencet tombol maya di layar ponsel. Aku harus kuat. Aku harus teguh. Setiap kali teringat ultimatum yang aku berikan pada Mas Rudi, rasa sengsara kembali mendera. Aku sudah membuat pilihan, maka aku harus konsisten. Aku tak mau menghubunginya lebih dahulu, sehingga menjilat ludah sendiri. “Tis, Tis? Jangan melamun terus, dong...” Sebelah telapak tangan melambai tepat di depan wajahku, ketika aku terpekur di depan mesin jahit. Awalnya aku tidak peduli, lama-lama ko
Read more
Jelaskan Padaku
“Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis. Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut. Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk. Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat. “Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali. Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan. “Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb
Read more
Bagai Tebu dan Botol
Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi? Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan. “Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun. Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini. “Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah. “Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi. Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini. Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan
Read more
Masih Ada Cinta
“Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut. Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah. “Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu. Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku. “Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu. Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan
Read more
Nenek Minum Jamu
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded. Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded. Aku bingung. “Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya. Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya. “Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku. “Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga. “Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk. “Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih
Read more
Syarat
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama. “Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi. Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket. “Ya?” Sapaku pada Abang paket. “Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya. “Saya sendiri,” jawabku antusias. “Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku. Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya. “Terima kasih,” ujarku otomatis. Aku berjalan masuk kembali sambi
Read more
Ekstra Part 1: Isi Hati Mas Rudi
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua. Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai. Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni. Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Read more
Ekstra Part 2: Kang Oded Mencari Pengganti
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan. “Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga. Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik. “Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku. Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status