All Chapters of Bisikan Kematian: Chapter 21 - Chapter 30
32 Chapters
Part 21
Mendengar itu aku hanya melongok, dengan menahan nyeri di sekujur tubuh. Terdengar beberapa langkah kaki memasuki ruangan tempat kami berada dan duduk diantara kami. Abah dan para jamaahnya. Mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran bersamaan. Terlihat abah memercikan air ke dekat kami. Serangan bola api mengarah pada kami dan mengenai kakiku yang terluka. Hingga mengeluarkan darah lagi. "Baca ini!" perintah Sopyan dan aku membacanya perlahan. Makhluk-makhluk ini sepertinya tidak takut dengan suara dari lantunan ayat-ayat suci al-Quran. Terbukti, mereka mendekat dan menarikku mendekat ke Pak Ibra. Yang sudah menggenggam belati di tangannya. Pegangan tanganku terlepas dari Sopyan. Tubuhku diangkat Pak Ibra dan meletakanku di meja, seperti sebuah santapan yang siap dinikmati. Mahluk-mahluk itu mengelilingiku dan mencoba meraih setiap tetes darah yang keluar, tetapi segera di usir Pak Ibra. Saat Pak Ibra siap menancapkan belatinya di dadaku, suara teria
Read more
Part 22 (khusus Pak Ibra)
Usiaku kini sudah mendekati 170 tahun, tapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali keluarga terdekatku saja. Dulu, aku orang yang paling miskin di keluargaku dan paling tidak berdaya. Bullyan selalu aku terima dari keluarga-keluarga yang lebih mampu, terkadang di tendang, di lempari makanan basi oleh mereka dan banyak perlakuan mereka yang membuatku menyimpan dendam mendalam. Setiap acara keluarga, aku anak yang paling dekil dan jorok, menurut mereka. Karena baju yang aku kenakan di bawah standart mereka. Ibuku memilih menikahi Bapakku yang hanya petani biasa tanpa memiliki sawah. Dan Ibu diusir dari keluarganya tanpa membawa apa-apa. Ibu hidup pas-pasan bersama Bapak, tapi tidak menyurutkan cintanya. Aku di didik dengan baik oleh Bapak dan Ibu, bullyan dari saudara-saudara selalu terngiang di telingaku. Pelan tapi menusuk hingga ke jantung. Hingga saat itu datang, Ibuku sakit keras dan membutuhkan biaya untuk penyembuhannya. Jangankan membantu mengobati, datang untuk
Read more
Part 23
"Hentikan, Kak. Sudah cukup! Apa yang kamu dapatkan setelah memuja iblis?" teriak Sopyan di ujung sana. Azizah melihat dengan bengisnya ke arah Sopyan, dibarengi dengan dengkusan yang keras. "Hei, Santri! Tidak usah kamu ajari aku. Kamu pun akan mati, kemudian aku akan abadi," pongahnya "Kak, dunia sementara Kak. Pulanglah ke pemilikmu, cukup sudah dosa yang Kakak tebarkan," ucap Sopyan lirih. "Persetan dengan ucapanmu!" bentak Azizah. Lalu tubuhnya melayang mendekati Sopyan dan, "Bangsat kau anak kemarin sore, aku kakakmu juga istrimu!" geram Azizah "Aku mencintaimu, Kak. Bertahun-tahun aku merindukanmu. Disaat yang lain mencemoohmu, aku yang selalu melawan mereka. Aku tidak rela mereka menghinamu meskipun kenyataannya seperti itu. "Terlihat tubuh Sopyan gemetar saat menancapkan belati itu tepat di dada Azizah. Perlahan Azizah berubah menjadi tulang berbalut kulit yang mengering. Dari tubuhnya keluar asap hitam menggum
Read more
Part 24
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku.  "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita.  "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita
Read more
Part 25
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya.  "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan.  "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan.  "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya.  "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya.  "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
Read more
Part 26
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam.  "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p
Read more
Part 27
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
Read more
Part 28
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Read more
Part 29
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya.  "Barakallahu, semoga m
Read more
Part 30
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku.  Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku.  "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun.  "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status