All Chapters of Iship Memoar: Chapter 21 - Chapter 30
40 Chapters
Takikardia
Hari perlombaan yang mendebarkan itu pun datang. Sudah berminggu-minggu Hifa habiskan dengan mempelajari berbagai jenis kasus yang diujikan Gatta. Bahkan kapasitas otaknya telah terisi penuh dengan soal dan kasus. Hifa tidak bisa lagi mengingat apapun saat ini. Jika dia melihat pasien lewat di depannya, matanya seolah menembus ke dalam tulang-tulang pasien. Apakah ini efek kalau kebanyakan belajar ya? Hifa bertanya pada dirinya sendiri.Setelah pesta peniupan lilin oleh direktur RS dan kepala dinas setempat, pembukaan lomba  pun dimulai. Total ada delapan kelompok yang diikutsertakan dalam lomba tersebut.Tepat jam 10 pagi, semua peserta sudah berkumpul di arena lomba. Sebuah aula besar yang biasanya diperuntukkan untuk seminar-seminar. Satu per satu kelompok diberikan kasus yang harus mereka lakukan di depan para juri. Di dalam sana sudah tersedia bermacam alat peraga dan perangkat kesehatan yang nantinya dibutuhkan oleh peserta. Hifa belum bisa menebak
Read more
Simbiosis Mutualisme
Tidak terasa waktu mereka di rumah sakit tinggal tersisa satu bulan lagi. Siklus jaga melelahkan yang Hifa jalani bersama Ifan membuatnya perlahan terbiasa dengan gurauan Ifan yang kadang kala membuatnya marah atau membuatnya terhibur.Hari itu Hifa kembali berjaga di bangsal anak. Entah mengapa siang itu kondisi bangsal tidak sesibuk biasanya. Pasien anak pun lagi sepi. Mungkin ini efek liburan, pikir Hifa.“Dok, ada dr. Meri visit,” ujar perawat dengan wajah ketakutan.Hifa tahu dr. Meri adalah dokter spesialis anak terkiller yang pernah dia temukan di tempat ini. Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan dokter paruh baya itu, Hifa dimarah habis-habisan karena salah menghentikan antibiotik pasiennya. Sejak saat itu dr. Meri tidak pernah mau berbicara dengannya.Namun perlakuan dr. Meri kepada Ifan 180 derajat berbeda dari terhadap dirinya. Ifan bisa dikatakan anak kesayangan dr. Meri. Hal ini juga sebenarnya sering dimanfaatkan Hi
Read more
Perjanjian
Pesta perpisahan mereka canangkan di taman perkemahan Bukit Keles. Jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil. Mereka berlima beserta dokter pendamping akan menjelajahi perbukitan sekitar dan dilanjutkan dengan mengitari pantai sepanjang Banggai.“Hifa, udah siap?” tanya dr. Gatta pagi hari sebelum mereka berangkat ke lokasi tujuan.Hifa memikul tas ranselnya dan segera naik ke mobil Gatta.“Mana yang lain, kak?”“Ini baru mau dijemput. Katanya Ifan bawa mobil sendiri.”“Oh ya? Dia ada mobil?”“Sepertinya.”Hifa tidak tahu apa yang dimiliki Ifan di tempat ini. Dia juga tidak pernah tahu kediamannya. Mungkin seluas istana. Nindi bilang rumahnya di belakang rumah sakit. Tidak ada rumah mewah di belakang rumah sakit. Hanya ada gubuk kecil dengan lorong becek di sana.Nindi dan Silla berlari ke mobil Gatta dengan riang.“Kita jemput Kai?”&ldq
Read more
Werewolf
Saat mereka tiba di puncak bukit, Ifan, Kai, dan dr. Meri sudah menancapkan tiang tendanya. Mereka akan mendirikan tiga tenda. Kai, Gatta, dan Ifan akan berada dalam satu tenda. Sementara Hifa, Nindi, dan Silla jadi satu. Sisanya, dr. Stella dan Meri, jadi satu tenda. Hifa bersyukur mereka memiliki tiga tenda. Kalau tidak dia tidak bisa membayangkan harus bersama dengan dr. Meri dalam satu tenda. Terlalu mengerikan. Walau sebetulnya keberadaan dr. Meri bersama mereka sendiri sudah terasa cukup menyeramkan.Petang menjelang begitu cepat. Setelah mereka selesai membuat api unggun dan mendirikan tenda, secara bergantian mereka mandi di sungai.“Jangan lama-lama ya,” ujar Kai sambil mengunyah kentang panggang instan untuk ke sekian kalinya. Masih ada berbagai macam makanan instan lainnya lagi di dalam tas besar yang dibawa Kai.Air sungai itu mengalir langsung dari sumber mata air di atas sana. Saat mengenai langsung kulitnya, Hifa bisa merasakan kesegar
Read more
Api Unggun
Rembulan bersinar di antara kegelapan malam, mengantar penghuni bukit mengitari konstelasi langit yang bertabur bintang-bintang. Keheningan menyelubungi suasana di perkemahan. Gemercik ranting yang terbakar di tengah lidah api unggun itu turut melengkapi ketenangan malam mereka. Hifa menyelinap keluar dari tendanya. Dia ingat dengan janjinya dengan dr. Gatta saat di perjalanan tadi. Gatta sendiri sudah menunggunya di sana.  “Hifa? Sini duduk.” Gatta mempersilakan satu tempat kosong yang sudah dibebaskan dari kotoran dan debu.“Belum tidur, kak?”“Kan kakak yang minta Hifa kemari. Hifa udah ngantuk ya?”Hifa mengambil tempat di samping Gatta dan ikut menyusun batang pohon di api unggun. “Belum.”Mereka diam untuk beberapa menit. Gatta seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi saat matanya berpapasan dengan Hifa, dia kehilangan kata-katanya.“Kakak bilang mau ngomong sesuatu
Read more
Minggu pertama di Puskesmas
Minggu pertama di bulan April adalah hari di mana Hifa akan bertugas di Puskesmas Batui. Karena letak puskesmas yang agak jauh dari rumah sakit, mereka berlima rencananya akan menetap di rumah dinas. Ada dua kamar yang akan mereka tempati di rumah dinas tersebut. Karena Ifan tidak berminat tinggal bersama mereka, Kai jadi menempati kamar seorang diri. Tentu saja, pikir Hifa, Ifan bisa dengan mudah membeli rumah di dekat puskesmas ini jika dia mau.“Kamu ngambil rumah, Fan?” tanya Hifa.Ifan mengayuh sepedanya lebih cepat dari Hifa. Dia tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan segera berlalu dari Hifa. Dengan kesal Hifa mengejarnya.“Hei, sombong amat sih!” Hifa menggerutu.Mereka tiba lebih awal pagi itu. Belum ada penghuni puskesmas yang hadir. Kepala puskesmas, dr. Hendra, baru datang ketika jam menunjukkan pukul 08.00. Mereka berlima berkumpul di satu ruangan untuk diberikan pengarahan singkat mengenai puskesmas yang akan mereka
Read more
Sepucuk Surat dari Ibu
Siklus kerja di puskesmas tentunya tidak semelelahkan seperti di rumah sakit. Tanpa terasa sudah sebulan mereka di sana. Hifa sendiri tidak sadar dia sudah menghabiskan begitu banyak waktunya untuk bermain-main di tepi pantai bersama Nindi, Silla, dan Kai.Hifa keluar dari rumah agak pagi hari itu. Dia masih ada kegiatan posyandu ke rumah kepala desa tak jauh dari puskesmas. Hifa meraih sebungkus cokelat dan memasukkannya dalam kantung tasnya. Tanpa dia sadari cokelat itu hampir habis dimakannya satu demi satu selama seminggu ini. Niat awalnya yang ingin mengembalikan benda tadi pada Ifan, akhirnya justru dimakannya sendiri.Pagi itu, Ifan tidak masuk. Hifa bermaksud bertanya pada Nindi, tapi dia lebih malas menghadapi olokan temannya tadi. Dia pun mengurungkan niat tersebut.Pasien ibu paruh baya yang beberapa minggu lalu berobat kembali muncul. Wajahnya kian pucat. Rambutnya menipis. Dia tampak mengenaskan dari terakhir Hifa lihat. Meski begitu, Ibu Elena teta
Read more
Kebetulan yang Tak Terelakan
Siang itu Hifa kembali dikunjungi banyak pasien. Dia tidak sempat mencari Ifan di ruang KIA. Semenjak mereka tidak berjaga bersama, Hifa jadi sulit menemuinya. Surat pemberian Ibu Elena masih terselip di buku catatannya. Cepat atau lambat Ifan harus menghadapi kenyataan pahit itu. Rahasia tentang latar belakang keluarganyalah yang mungkin membuat Ifan begitu dingin dengan semua orang. Hifa sendiri tak percaya bahwa putra tunggal keluarga ternama itu ternyata hanyalah berasal dari tanah pedalaman seperti ini.Sampai setelah Hifa pulang dari puskesmas, Hifa tidak menemukan Ifan. Dia menunggunya sampai agak sore, tapi tetap saja batang hidungnya tidak ada. Alhasil Hifa menyerah. Dia akan mencarinya lagi besok.Hifa mengayuh sepedanya perlahan ke rumah. Belum separuh perjalanan, seorang bapak memanggilnya.“Dokter Hifa?” panggil bapak tersebut. “Tolong bantu saya dok.”“Ada apa pak?” Hifa bertanya. Dia kenal dengan bapak ya
Read more
Tanah Longsor
Hujan baru agak mereda satu jam setelah kelahiran bayi. Setelah meminta izin dari suami istri tadi, Hifa pun bergegas mengayuh sepedanya pulang. Tadinya bapak itu mau mengantar, tapi karena melihat dia masih begitu ingin bersama bayi mereka, Hifa menolaknya. Lagian tinggal gerimis. Matahari juga belum terbenam.“Pak, saya pulang dulu ya,” ucap Hifa.“Terima kasih banyak dok,” jawab keduanya. Sekali lagi jawaban tulus dari pasangan suami istri itu membuat Hifa begitu bahagia. Inilah yang mungkin disebut sebagai ‘bahagia itu sederhana’.Hifa bersenandung riang menembus hutan menuju ke jalanan besar di atas bukit. Lereng terjal ini hanya mengarah ke satu jalan. Semestinya itu tidak akan susah. Dia tinggal mengerahkan sedikit tenaganya untuk menanjak ke atas.Dua puluh menit berlalu, tapi Hifa belum juga menemukan jalan utama yang dimaksud. Dia memandang sekeliling yang merupakan hutan. Matahari tampak mulai terbenam di ufu
Read more
Pencarian
Pagi menyingsing setelah semalaman membasuh desa kecil yang berada di lereng bukit tersebut. Matahari terbit dari ufuk timur kembali menyongsong kehidupan baru yang lebih cerah dari hari kemarin. Ifan berjalan memasuki ruang KIA yang masih sepi. Di sana sudah ada Nindi yang tengah bersiap pulang dari jaga malamnya. Ifan bisa melihat Nindi sudah menguap untuk ketujuh kalinya sejak dia tiba di puskesmas itu.“Akhirnya kamu dateng juga,” seru Nindi. Dia langsung membereskan barangnya dan beringsut dari tempat duduk. Digantikan Ifan yang datang dengan malas.Nindi tidak banyak bertanya karena dia sendiri kelelahan setelah pergi merujuk pasien ke rumah sakit. Dia hanya menitip satu pasien untuk diamati proses persalinannya.“Pasien satu primigravida, masih fase laten, belum ada bukaan.”Tak lama setelah Ifan duduk di meja jaga, seorang bapak masuk ke ruang tersebut.“Dok, ada dr. Hifa gak?” tanya bapak tadi s
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status