All Chapters of Aira's : Chapter 51 - Chapter 60
72 Chapters
50. Aira's
“Ternyata itu sebabnya.”—Aira's ***Suara gemuruh musik DJ amatlah nyaring terdengar di telinga. Berdengung-dengan memekak seakan melodi merdu yang mereka rasa. Banyak lampu kerlap nan kerlip di setiap juru ruangan luas yang nyaris terasa himpit akibat terlalu banyak menampung manusia. Banyak wanita cantik dengan pakaian mini serta laki-laki tua nan muda yang tengah memegang sekuntung asap sembari meminum arak. Mirisnya tangan mereka layaknya seekor ular yang menelusuri setiap ruang himpit di dunia. Tepatnya tangan para lelaki itu senantiasa masuk ke dalam baju para perempuan bayarannya. Jas mahal serta dompet tebal nan jabatan tinggi perusahaan bukanlah suatu jaminan bahwa laki-laki tersebut berwawasan dan tak suka dunia malam. Justru karena itu semua mereka seperti diberikan kebebasan melakukan segalanya karena banyak uang. Mirisnya lagi, kebanyakan perempuan ialah yang masih berpropesi sebagai an
Read more
51. Aira's
“Ternyata hidup aslinya seperti ini!” —Mimi***"Lo pada yang udah nertawain gue juga harus ngerasain satu-satu," kata Mimi mengancam yang nyaris kala kakinya melangkah mereka sudah berlari terbirit-birit. Lantas Mimi kembali fokus ke arah Tania yang kini tengah mengejar seseorang ke luar club. Sebelum mengikuti Mimi memakai masker dan kacamata hitam berjaga-jaga agar tidak ketahuan. Mimi bersembunyi di balik tembok kala Tania berhasil mencekal tangan seseorang yang Tania kejar. "Putra!" Mimi menganga kala orang yang dipanggil Putra itu menoleh. "Putra? Siapa dia?" gumam Mimi tanpa mengalihkan fokus. Dari penglihatan Mimi, Putra tersenyum bak iblis ke arah Tania yang menatapnya sedu. "Lo kok ada di sini?" tanya Tania dengan nada terkejut. Putra terkekeh hambar. "Iya. Emangnya kenapa? Gue emang gak suka tempat haram kayak gini walau pun gue badboy kelas atas do sekolah," kata
Read more
52. Aira's
“Tak selamanya luka itu ada.”—Aira's***Ibu tengah membuka lembar demi lembar buku paket pelajaran kimia di kelas Aira tanpa sosok Aira. Tatapannya amat fokus memilah dan memilih beberapa rumus yang akan ia ajarkan hari ini. Melupakan sosok Aira yang ia jemur di bawah teruk matahari.Kepalanya sempat menoleh ke arah luar untuk melihat kondisi cuaca pagi ini yang amat cerah. Ibu menarik napas panjang lantas kembali fokus pada bukunya lantas mengambil pulpen yang ada di saku bajunya."Ibu absen dulu, ya!" katanya yang dibalas seisi kelas, "Iya Bu!" Membuat ibu tersenyum simpul ke arah mereka.Saat membuka lembar absensi tatapannya lantas datar kala melihat nama yang tertera jelas paling atas. "Andina Alam," katanya yang melewati nama Aira membuat seisi kelas saling melirik dan melempar tatapan tanya.Salah satu dari mereka bahkan mengangk
Read more
53. Aira's
“Bukan begitu maksudnya?” —Aira's ***"Bukannya Ibu pernah bilang saat rapat guru tempo lalu bahwa setiap makna yang akurat pasti ada pembahasan yang ditetapkan. Maka dari itu saya memulai semuanya dari nol. Mengapa ada makna yang harus saya sampaikan berserta alasan mengapa saya memerlukan kehadiran ibu di ruangan ini!" jawab kapsek tak kalah kesal yang nyaris membuat bu Adila menarik napas penuh karena jantungnya tiba-tiba berpacu amat kencang. Ditambah tatapan pak kapsek yang benar-benar datar pada bu Adila membuat nyali bu Adila seketika ciut dan akhirnya memilih mengangguk sebelum akhirnya bungkam. "Jadi beberapa laporan yang saya dengar akhir-akhir ini adalah … di mana Ibu sangatlah sering menghukum Aira di mana dan kapan pun bahkan di saat jam pelajaran pun Ibu tidak segan menghukum Aira," ungkap pak kapsek dalam satu teriakan napas. Nyaris, ibu sempat tertegun mendengar ungkapan
Read more
54. Aira's
“Terlalu ambisius bisa saja menyakiti diri sendiri bahkan orang lain.”—Aira's ***Baginya tidak ada perjuangan yang sia-sia jika kita serius menjalaninya. Semakin besar ia semakin pintar, namun selalu dicap manusia ambisius sang pengejar mimpi. "Adila Fardilla sebagai juara olimpiade tahun ini." Hingga gelar juara olimpiade sains mampu ia pegang dengan erat saat kelas dua SMA. Tak pernah puas dengan pencapaiannya ia terus berjuang hingga, "Kamu mendapatkan beasiswa kuliah di universitas Negeri." Dan semuanya berawal dari sana. Bu Adila bukan lagi anak yang bodoh. Sebab perjuangan serta rasa optimisnya ia pasti mampu membuat orang-orang yang pernah membully dan menghinanya membuka mata lebar dan mulut tak percaya. Selama ini ia boleh saja diam kala ada omongan yang membuat dirinya sakit nan sesak, sebab rasa dendam yang ia tanam ada pada semua pembuktian yang selama ini ia jalankan penuh kobaran sema
Read more
55. Aira's
“Berharap bukan berarti menyakiti.”—Aira's ***Sebuah bayangan putih nan pucat namun cantik tersenyum simpul ke arah bu Adila. Lantas melayangkan telunjuknya ke arah bu Adila seakan memerintahkan tidak boleh menampar Aira. Sosok itu sama sekali tidak dilihat oleh Aira dan Mimi membuat keduanya merasa heran sebab ibu seperti orang kesetanan. Ibu bahkan bergetar hebat. "Kamu," kata ibu lagi bergetar membuat Aira membalikkan badan dan melihat ke belakang yang tidak didapati siapapun di sana. Aira heran, ini kali kedua di mana ibunya akan menampar maka reaksi yang didapat malah justru ibu yang ketakutan. "Sakit." Ibu mendengar samar sosok itu berkata lantas meniup ke arah kepala Aira membuat Aira merinding dan menoleh ke arah sumber hembusan angin. Saat itu pula matanya terbuka lebar. "Kamu!" Aira mematung bersama air mata yang tiba-tiba luruh. Detak jantung Aira berpacu kencang lantas napasnya tiba-tib
Read more
56. Aira's
“Dimaafkannya sudah lebih dari cukup bagiku.”—Aira's ***"Kamu aneh!" kata Mimi tak habis pikir yang membuat Aira membuka mata. "Aku cuma jatuh, kok, gak lebih," alibi Aira yang membuat Mimi mengangkat alisnya tinggi. "Terus kamu gak ngejar bu Adila lagi?" tanya Mimi yang membuat Aira mengangkat alisnya tinggi. "Astaga!" ujar Aira cepat dan baru sadar bahwa ia tengah mengejar maaf dari ibu akibat telah melanggar hukuman ibunya. Bisa habis jika Aira tak segera minta maaf, atau bahkan kata maaf akan diterima jika ada syarat yang harus Aira jalankan. "Ibu." Aira nyaris berlari cepat namun tergopoh-gopoh untuk melanjutkan niat awalnya yang sempat terurungkan sebab kehadiran sosok Rachel yang masih membuatnya bingung tak karuan. Mimi nyaris spontan berdiri dan menggeleng lirih melihat Aira yang begitu besar niatnya untuk meminta maaf pada bu Adila. Mengapa hati sebaik malaikat s
Read more
57. Aira's
“Sekeras itukah hatimu Ibu?” —Aira's ***"Sebelumnya saya minta maaf sudah lancang pada Ibu. Tapi di sini saya cuma mau mengingatkan tanpa ada rasa niat mengajarkan." Itulah yang masih terngiang-ngiang di telinga ibu Adila sampai jam pulang sekolah. Sembari berjalan ia menatap kosong jalan dan mengingat setiap ucap yang Ridwan katakan tadi. Mengapa hatinya malah kelu seakan ada sembilu yang menyayat hatinya perlahan. Bahkan, setelah sampai di depan mobil merahnya ibu masih melakukan hal yang sama. Lantas saat akan membuka pintu mobil tiba-tiba ada suara yang menggema hingga memekak telinganya. "IBU!" Dari jarak yang cukup jauh Aira berteriak lantang membuat bi Adila seketika membalikkan badan dan memasang wajah nyalangnya. Aira nyaris menelan ludah susah kala melihat ibu yang menatapnya tajam. Perlahan kaki jenjangnya melangkah ke arah ibu yang kini tengah mengepalkan tangan kuat seakan amarah
Read more
58. Aira's
“Aku tidak tau harus apa sekarang?” —Aira's ***Aira memilih berjalan sembari mendorong sepedanya. Persetan dengan perintah Ibu yang menyuruhnya pulang cepat, Aira hanya ingin tenang sejenak sembari memikirkan cara bagaimana ia bisa menjadi sosok kedua kakaknya yang mampu membuat kedua orang tuanya bangga. "Aira tetap gak bisa!" lirihnya sendu bahkan bersama air mata yang senantiasa luruh membuat beberapa orang yang melihat merasa heran ada gadis SMA menangis sambil berjalan. "Aira harus apa?" Pertanyaan yang selalu terlontarkan tanpa rasa bosan itu nyaris sudah langganan. Sama halnya dengan perkataan ibu dan ayah yang sama setiap hari. Tak henti bahkan sudah dapat Aira pahami bahwa mereka membedakannya karena bodoh. Camkan bodoh! Aira sepertinya sudah lelah dengan semua ini. Terlihat dari respon dan isi hati yang selalu mengeluh bahkan berkata seolah menyerah dengan keadaan. Siapa yang tidak l
Read more
59. Aira's
“Hanya sebentar saja aku sudah bahagia.”—Aira's ***"Bolehkan Aira yang peluk Ayah?" Nadanya amat lembut penuh harapan membuat ayah seketika menoleh ke arah ibu yang nyaris tak mau melihat suasana itu. Ayah seakan meminta persetujuan dari ibu, tapi nihil ibu sama sekali tidak memberikan hal itu. Ayah seakan bimbang antara ego kan prinsipnya yang sama seperti ibu, atau justru sebaliknya. Ayah terlihat gelagapan walau akhirnya ia mengangguk pertanda setuju. Bersamaan dengan itu senyum Aira makin mengembang lantas tanpa aba-aba memiliki ayahnya erat dan akhirnya terisak. "Aira rindu Ayah!" ujarnya pilu di sela isak tangis serta pelukkan. Miris, ayah sama sekali tidak membalas pelukkan Aira, ia malah mendengus pasrah dan membiarkan Aira memeluknya semau dia. "Aira!" Kala tengah bercumbu atas kerinduan yang makin bak benalu. Mengelus-ngelus pipi pada dada bidang milik ayah rasanya rindu itu
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status