Semua Bab Aira's : Bab 41 - Bab 50
72 Bab
40. Aira's
"Dari sekian pertanyaan, hanya ada satu jawaban. Bahwa kamu memang dibedakan." —Ridwan.  *** Ridwan mengembuskan napas panjang kala melihat Aira tengah berdiri di depan mading. Gadis itu terlihat fokus membaca informasi yang membuat Ridwan enggan menghampirinya, apalagi setelah kejadian kemarin.  Hendak melangkah, namun suara bu Adila memenuhi pendengarannya. "Ridwan tunggu!" Ridwan membalikkan badan lantas tersenyum.  "Baik Bu!" Ridwan sejenak menoleh ke arah Aira lantas kembali fokus ke arah bu Adila.  "Dua minggu lagi kita akan melaksanakan olimpiade.
Baca selengkapnya
41. Aira's
“Meminta untuk hadir adalah hal paling sulit untuk aku.”***Ridwan memakai helmnya lantas mulai menstater motornya yang sedikit sulit untuk hidup. Di sela itu ia melihat Aira yang telah melenggang keluar gerbang sembari membawa sepeda dengan kecepatan sedang. Ridwan tafakur, mengingat hal tadi di ruang lab bersama bu Adila. Betapa enggannya beliau membahas perihal Aira, bahkan Ridwan yang bertanya tentang sifat Aira pun tak bu Adila jawab. Sungguh miris. "Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa kamu gak memberikan kesempatan untuk aku masuk ke kehidupan kamu!" Ridwan terkekeh miris lantas mulai menggas motornya dengan kecepatan sedang. Menikmati udara sore di antara hiruk dan pikuk asap kendaraan kota Cianjur. Gemuruh suara mobil dan motor lantas teriakan para tukang parkir alfa menyatu padu di kala ia membawa motor dengan pelan. "Ini'kah yang selalu kak May rasakan setiap hari? Indah katanya," batin Ridwan seraya t
Baca selengkapnya
42. Aira's
“Waktu makin bergulir, namun kau masih tak peduli padaku yang makin terluka.” —Aira***Aira memandang nanar rumahnya yang nampak sepi. Mengingat setiap kenang bersama keluarganya beberapa tahun silam. Kenangan indah penuh canda dan tawa tak ada yang namanya lara bahkan luka. Aira memejamkan matanya untuk berusaha tegar menerima semua cobaan ini. Dirinya harus tetap kokoh dan berusaha bangkit. Tetap tersenyum walau kedua orang tuanya tak peduli. Kaki jenjangnya perlahan melangkah pelan masuk ke rumah. Berharap tak ada caci dan maki yang ia dapatkan sebab kembali pulang terlambat. Aira membuka pintu dan mendapati suasana sepi tanpa siapa pun. Pandangannya menengadah ke segala arah, alih-alih terus berjalan Aira justru menatap sendu ke arah taman belakang. Di sana ada canda dan tawa yang dilepaskan oleh ayah dan ibu serta kak Ayu. Suasana yang sangat Aira rindukan bahkan ingin sekali ia da
Baca selengkapnya
43. Aira's
"Ingin rasanya aku memelukmu setelah sekian lama dibatasi jarak."—Aira***Seraya terus membasuh piring yang tengah ia cuci, mata Aira rak beralih memandang kak Ayu dan ibu yang senantiasa bercanda gurau di meja makan seraya memakan biskuit dan meminum teh hangat. Aira menarik napas panjang lantas memandang aliran air keran yang terus membersihkan sabun yang ada di tangannya. Setelah itu Aira bereskan piring pada rak dan masih setia menyimak perbincangan kakaknya dan ibunya. Sangat menyenangkan bila Aira termasuk di dalamnya. Aira sadar dan semakin sadar. Jika ia tak bisa seperti kak Ayu maka selamanya akan seperti ini. Tak'kan pernah ada kebahagian untuknya dan takkan ada pelukkan hangat untuknya lagi. Aira menarik napas gusar kala tawa renyah pecah dari kak Ayu dan ibu. Ia bahkan menoleh ke arah mereka dan memandang sendu suasana itu. "Kapan Aira akan seperti itu?" lirihnya bertanya pada diri sendiri. 
Baca selengkapnya
44. Aira's
“Lara adalah hal biasa bagi Aira.”—Aira's ***Aira terus mengembuskan napas panjang kala soal yang ia liat begitu rumit untuk di kerjakan. Miris, tatapannya amat membingungkan akibat soal yang terus berhubungan dengan rumus yang tak ia mengerti sama sekali. "Andai ibu mau ngajarin aku sama halnya ngajarin kak Ridwan, mungkin gak akan serumit ini!" Aira bergumam seraya menggaruk kepala pusing. Aira mendengus kala mengingat sosok Ridwan yang terus ia hindari. Sosok yang mengaku cinta dan ingin menjaga nyatanya hanya sebuah mala petaka. Mengapa? Karena ibu tidaklah suka dengan sosok dirinya yang bodoh dan amat membanggakan sosok Ridwan yang pintar. Ibu pernah bilang, "Manusia bodoh hanyalah mala petaka!" Aira mengakui itu semua. Ia bodoh bahkan sangatlah bodoh. Maka dari itu tak heran dirinya dituntut bahkan dikucilkan keluarganya. Kembali Aira mendengus dan memijat pelipis. "Kenapa bisa k
Baca selengkapnya
45. Aira's
“Mulai ikhlas.”—Aira's ***Aira berjalan di koridor sekolah sendirian. Membawa satu buku kecil yang ia peluk amat erat. Pagi buta ia sudah datang ke sekolah. Menaiki sepeda kesayangan yang selalu menghadirkan semangat yang membara. Kepalanya tak berhenti meliuk-liuk bak ular. Melihat sekeliling sekolah yang masih nampak sepi. Tidak ada satu orang pun di saja kecuali para petugas pembersih sekolah. Aira berhenti sejenak lantas melihat ke tengah lapangan yang dipenuhi genangan air bekas hujan semalam. "Jernih!" gumamnya seraya tersenyum simpul. Dengan perlahan ia berjalan ke arah sana tanpa luput tersenyum. Fokus pada satu titik yang amat indah menurutnya. "Sunrise pagi memantul pada sebuah genangan jernih amatlah indah." Aira suka matahari, entah pagi atau pun sore hari. Cahayanya amatlah pekat nan indah. Sesampainya di dekat genangan air itu, Aira makin melebarkan senyuman. Lantas berka
Baca selengkapnya
46. Aira's
"Inilah kenapa aku menolak kehadiranmu."—Aira's ***Aira menoleh kaget begitu juga Ridwan. Tatapan mereka sangatlah gusar kala melihat sosok yang baru saja Aira ucapkan. Sosok yang membuat Aira takut dekat dengan Ridwan. Aira memilih untuk menunduk, menghindari tatapan mematikan ibu dari arah ruang guru. Sedangkan, Ridwan malah melirik ke arah Aira dengan tatapan kelewat khawatir. Bahkan, mulut Ridwan sedikit terbuka saking kagetnya serta tak mampu berkutik selama beberapa detik. "Bu A—dila," lirih Ridwan sembari mengalihkan pandangannya ke arah bu Adila. Terlihat ibu mendengus kesal kala Aira dan Ridwan tak kunjung menghampirinya. "Kalian tuli?" teriak Ibu yang membuat keduanya langsung berjalan walau pelan. Seakan sesak makin menghimpit dadanya, Aira membiarkan Ridwan berjalan lebih dulu lantas dirinya segera mengatur detak jantung serta napas. Melewati segerombolan siswa yang menatap merek
Baca selengkapnya
47. Aira's
“Ada pula yang masih peduli.”—Aira's ***"Minum dulu!" Seseorang menyodorkan satu botol aqua ke arah Aira lantas Aira menoleh kaget pada seseorang tersebut. "Kak Mimi!" ujar Aira terkesima pula. Mimi tersenyum simpul seraya kembali menyodorkan botol aqua tersebut. "Ambil!" perintahnya yang Aira balas gelengan cepat. Mimi mendengus kesal lantas meluruskan tangannya karena pegal. "Kenapa gak diambil, sih?" tanya Mimi sedikit kesal membuat Aira sedikit tak enak hati. Aira gelagapan. "Aku, kan, lagi dihukum Kak sama ibu. Nanti kalo ketauan bisa ditambah lagi hukumannya!" kata Aira pelan yang membuat kedua alis Mimi terangkat jauh. "Astaga Aira!" ujar Mimi seraya mengusap wajahnya beberapa kali. "Bu Adila baru aja masuk ke kelas kamu buat ngajar. Jadi, gak bakal ketauan tenang aja!" ujar Mimi sedikit kesal lantas mengambil tangan kiri Aira dan ia letakkan satu aqua botol itu ke
Baca selengkapnya
48. Aira's
"Jati diri?" —Aira's ***"Aira. Ini hidup. Jangan takut disalahkan kalo kamu gak salah. Jangan takut menyalahkan kalo orang lain salah terhadap kamu. Melangkah Aira! Ini hidup kamu, semua yang ada dalam diri kamu. Kamu sendiri yang merasakan bukan orang lain. Mana jati diri kamu Aira?" teriak Mimi di depan wajah Aira yang naas membuat sang empu mati kutu. "Kak?" Aira cengo mendengar penuturan Mimi yang menurutnya sangat bertolak belakang dengan penampilan. "Kenapa?" tanya Mimi tegas seakan tau maksud Aira. "Kok?" Aira masih tak mampu berkata-kata. "Iya. Ini aku yang sebenarnya. Penampilan bahkan fisik aku boleh gak semodis mereka. Tapi bukan berarti takut untuk melangkah dan membela kebenaran Aira. Semua orang berhak beropini. Mengajukan mendapat masing-masing bahkan sama orang tua sendiri," kata Mimi tegas. Mimi menggeleng lirih sembari membuang napas gusar dan kembali menarik Ai
Baca selengkapnya
49. Aira's
“Dia lagi!” —Aira's ***"Ka—k Rachel." Aira terkesima kala melihat sosok itu yang kini malah menatapnya sembari memanyunkan wajah lantas duduk melayang di atas meja. "Siapa, Ra?" Mimi nyaris heran kala Aira terus menatap dengan mata terbuka ke arah belakang. Seakan ada hal aneh yang tengah Aira lihat secara jelas, pikir Mimi. Aira menghiraukan pertanyaan Mimi dan terus fokus ke arah Rachel yang malah berkata namun samar terdengar oleh Aira. "Kamu, kok, gitu?" Ada nada kecewa yang Aira dengar dari ucapan Rachel. Bahkan Aira beberapa kali mengucek mata, berniat bahwa semua hanyalah sebuah halusinasi yang Aira alami. Tali nyata terjadi. Nyaris Aira terus menggeleng membuat Mimi makin heran dibuatnya. "Kamu kenapa?" Mimi beralih menjadi duduk di samping Aira yang masih terus menghiraukannya. Mimi mengikuti kemana tatapan Aira tertuju yang nyaris tak didapati siapapun di sana. Han
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status