Lahat ng Kabanata ng Holiday to Wedding Day: Kabanata 81 - Kabanata 90
93 Kabanata
Khayalan vs Kenyataan
"Tapi aku nggak mau anak iblis ini, Ta!" jeritku tertahan sambil memukul-mukul perut. Benci, muak sekali rasanya. "Nggak mau, Ta. Arnold jahat, jahat banget! Oh, Batik pasti kecewa banget sama aku kan, Ta? Batik pasti marah banget!"  Uta melepaskan pelukan, memegang erat-erat kedua tanganku. "Jangan, jangan kamu pukuli dia Hill! Bayi ini nggak salah apa-apa, Hill. Bayi ini suci dan kamu … Ya ampun Hill, Tuhan pasti tahu kalau ini kecelakaan. Karena Tuhan Maha Melihat, Maha Mendengar." Sampai di sini air mataku justru semakin membanjir bandang. Sakit, sesak seluruh rongga dadaku. Masih tidak terima rasanya dengan apa yang sudah terjadi. "Lepaskan tanganku Ta, lepaskan. Aku, aku … Malu, malu banget. Rasanya nggak sanggup lagi buat ngelanjutin hidup ini, Ta. Nggak sanggup!" 
Magbasa pa
Jangan Disesali Lagi!
Ha, apa dunia ini sudah mengkerut? Bagaimana bisa Budhe tahu kalau aku depresi berat? Bagaimana juga bisa tahu kalau ternyata aku hamil karena kecelakaan? Maksudku, akibat perbuatan biadab jahanam si Bangsat Arnold. Aduh, pusing tujuh keliling dunia memikirkan beberapa kemungkinan yang ada. Uta memberitahu Budhe? Tidak mungkin Miss Kirana. Ya ampun! Dia kan, sudah berjanji untuk merahasiakan semua yang kuceritakan? Mama? Hahahaha, aku yakin dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa anak perempuan semata wayangnya ini, sungguh.  Nah Guys, kemungkinan yang paling besar dalam hal ini Uta, kan? Aduh, Uta! Kenapa malah memberitahu mereka, sih? Eh! Tapi mungkin maks
Magbasa pa
Harus Bisa Move On
"Budhe sama Eyang Putri ngajak aku pindah ke Bantul, Ta." jujurku sambil menyelam ke dalam bola matanya. Berusaha untuk tersenyum tegar. "Budhe yang bakalan nganterin aku konsultasi psikiater dan kontrol kandungan. Mereka ngedukung aku, Ta. Mereka juga nggak nyalahin aku atau gimana." Uta juga memandangku lekat-lekat, menyelam hingga ke dasar bola mata. Bukan untuk memindai dusta tetapi sebagai bentuk empati, perhatian dan kasih sayang. "Wah, syukurlah Hill. Aku ikut senang. Megan juga pasti senang. Si Baby juga. Hehe, hehe." Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menyeka air mata yang memaksa keluar. Merembes hangat. "Ajaib banget ya, Ta? Keren!" "He'emh, Hill." Uta mengangguk-anggukkan kepala. "Luar biasalah pokoknya, kuasa Tuhan." 
Magbasa pa
Jangan Menyemai Dendam
"Hill, Hill … Lihat aku, Hill!" Uta memekik ketakutan. "Ya Tuhan! Sadar Hill, sadar!"  Megan menimpali, "Hill, kamu nggak perlu ke mana-mana, oke? Di sini saja bersama kami. Kami semua sayang banget sama kamu lho, Hill. Kami nggak mau kehilangan kamu dalam bentuk apa pun."  Uta merangkulku dari samping. Napasnya terdengar memburu, panas. "Iya Hill, apa yang dibilang Megan tadi tuh bener banget. Kamu nggak perlu ke mana-mana, di sini saja. Lagian, buat apa juga nyariin laki-laki brengsek itu? Biarin dia pergi sesuka hati. Biar dia diurus Tuhan. Kamu percaya kan sama Tuhan?" Dug! Aku merasa ada benda tak kasat mata yang terjatuh dengan sangat ke keras di rongga dada. Tapi sayangnya, meskipun
Magbasa pa
Ada Sakit Ada Obat
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi. Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?  "Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.  Budhe tersenyum prihatin, sedih. 
Magbasa pa
Netherlands Episode Genting
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat." Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"  Uta meng
Magbasa pa
Mencari si Bastard Arnold
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga." Eh?  "Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa." Aduh, apa yang harus aku katakan?  "Saya, emh, sebenarnya  …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Magbasa pa
Datang dan Terusir
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?" Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit. "Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?" Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan.  "Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?" Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
Magbasa pa
Don't Try to Lie Me!
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"  Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.  Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
Magbasa pa
Keep Fighting, Hill!
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.  Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan.  "Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."  Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Magbasa pa
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status