Siapa sangka, liburan yang awalnya terasa begitu menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah bencana? Tiba-tiba Tante Ariane dan Om Frank melamarku untuk dinikahkan dengan Aldert, anak angkat mereka. Kami sedang berlibur di Brussel waktu itu terjadi, mengacaukan daya kerja otak, jantung dan pernapasanku secara total. Menjajah kebahagiaan yang selama hampir satu bulan kudapatkan di Netherlands, tentu saja. Merubah istilah holiday menjadi broken day. Apakah aku tidak berusaha untuk menolak? Sudah. Mati-matian bahkan, dengan mengerahkan seluruh kekuatan jiwa dan raga. Tapi mereka ditambah dengan Mama justru semakin gigih untuk mengalahkan pendirianku. Oh, sebenarnya aku mengalah---pada akhirnya---karena Batik tak merespon sama sekali ketika aku berterus terang dan meminta pendapatnya. "Jadi, gimana ini, B?" tanyaku setengah menjerit di saluran telepon yang tak bisa dikatakan jernih, "Aku harus gimana, apa yang harus aku lakukan?" Klik, tut tut tut, tuuuttt! Dia malah memutuskan saluran telepon yang sangat berarti dalam hidupku saat itu. Ujungnya, dalam kebingungan yang semakin memuncak ke langit, aku meminta pendapat Uta. "Jangan bodoh kamu, Hill!" Uta mengingatkan dengan ketegasan level tinggi saat aku mengakui kalau tak enak dengan Batik, "Ingat, kesempatan emas tak datang untuk yang ke dua kalinya. Menikahlah dengan Aldert dan berbahagialah, Hill!"
View MoreTak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mama menawarkan padaku sesuatu yang sangat menarik. Fantastis, malah. Bulan depan, Tante Ariane akan mengajakku jalan-jalan ke Eropa. Bayangkanlah, betapa gembiranya hatiku. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kungkungan duka dan kehilangan. Oh, meninggalnya Papa menjadi hal yang begitu menyakitkan bagiku. Seperti apa? Mustahil menggambarkannya dengan kata-kata. Terlalu sakit. Patah hati terberat, sungguh.
"Haaa, Eropa?" refleks, aku bertanya sambil memindahkan tubuh ke samping Mama, "Serius, Ma? Mama nggak lagi ngusilin aku, kan?"
Dalam detik-detik yang begitu heroik, aku menelisik ke dalam bola mata Mama. Rasa-rasanya tak ada sesuatu yang ganjil. Bahkan, aku menemukan sesimpul senyum tulus di wajah senja Mama. Kalaupun Mama bersikap usil, apa ini tidak berlebihan? Eropa, lho. Lagi pula, apa Mama dan Tante Ariane tidak punya pekerjaan lain sehingga malah sibuk menyusun rencana usil untukku? Bodoh sekali bukan, kalau aku tetap pada pemikiran spontan beberapa menit yang lalu itu?
"Iya, serius." tegas tapi lembut Mama menyahut, "Ya, itu kalau kamu mau, Hill. Kami nggak maksa, kok. Lagian kamu kan sudah selesai kuliah. Apa salahnya kalau ikut? Ya, siapa tahu, di sana nanti kamu bisa dapet banyak pengalaman? Tiga bulan kan, nggak lama, Hill?"
Apa, tiga bulan?
Wah kalau selama itu sih, sepertinya aku harus memikirkan dan mempertimbangkan lagi. Ya ampun, proyek perpustakaan keliling bersama Uta kan, baru saja berjalan? Masa, aku meninggalkannya begitu saja. Kalau seminggu atau dua minggu sih tidak masalah tapi kalau tiga bulan?
OK!
Uta mungkin bisa menerima tapi kan, aku jadi tidak enak hati kalau seperti itu? Mati-matian kami merintis MMB (Mari Membaca Buku) sampai akhirnya memiliki banyak pelanggan. Apa bukan pengecut namanya kalau harus libur selama tiga bulan full? Belum nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Misalnya, waktu pulang nanti aku mengalami jet lag parah. Apa tidak menambah level tak enak hatiku pada Uta?
"Oh, tiga bulan ya, Ma?"
"Iya, tiga bulan. Kenapa, Hill? Kamu sudah ada jadwal?"
Ditanya seperti itu oleh Mama, aku hanya bisa bergeming. Kalau yang dimaksud Mama itu jadwal kerja ya aku belum punya. Tapi bukankah mengembangkan MMB itu sebuah kewajiban yang paling hakiki dalam hidupku? Iya, kan? Duh, bisa jadi ribet nih, urusannya!
"Nggak sih, Ma. Hanya perpustakaan keliling saja tapi kan ...?"
Aku baru mau melanjutkan kalau sebenarnya tak enak hati dengan Uta tapi Mama sudah merangsek dengan full ekspresi kegembiraan. Seolah-olah, diajak Tante Ariane jalan-jalan ke Eropa itu sebuah prestasi yang luar biasa. Eh, hebatnya di bagian mana, sih? Oh, pasti Mama berharap akan mendapatkan banyak oleh-oleh dari sana. Apa lagi? Dua puluh dua tahun menjadi anaknya, pasti tak meleset dugaanku tentang Mama.
"Oh, itu?" Mama mengibaskan tangan sambil tersenyum lebar, "Kalau soal itu kamu tenang saja, Hill. Mama bisa kok, gantiin kamu selama liburan. Swer!"
Haaa, serius?
Hahahaha, bukannya Mama takut dengan sinar ultraviolet, ya? Wah, jangan-jangan budget Mama untuk membeli krim wajah yang mengandung anti UV jadi membengkak. Terus, dia mengeluh siang dan malam di chat room yang akan membuat notifikasiku sederas arus lalu lintas kota-kota besar di Indonesia tercinta.
Oh, big no!
Bisa-bisa liburanku malah jadi kacau balau. Hemmm, bagaimana, ya? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Yes or not? Ikut Tante Ariane berlibur ke Eropa dan menikmati setiap butir udara di sana atau tetap di sini, berjuang untuk MMB? Oh, mungkin aku juga harus mulai mencari pekerjaan? Maksudku memadatkan kegiatan sehari-hari agar bayang-bayang gelap tentang Papa ... Ah! Kenapa sih, semua itu harus terjadi pada Papa? Apa salah Papa? Oh, para perampok itu pasti tidak tahu kalau Papa adalah orang yang baik. Sangat baik, malah. Bukan hanya terhadap Mama dan aku, keluarganya tapi juga tetangga sekitar dan siapa saja yang membutuhkan. Siapapun pasti tahu kalau Papa adalah sosok yang sangat dermawan. Kenapa mereka tega menganiaya Papa, sih? Padahal, Papa sudah angkat tangan dan membiarkan mereka menguras harta benda yang ada di rumah kami. Kata Mama sih, begitu. Hiks.
Jahat. Jahat. Jahat.
"Hill!" panggil Mama membuatku terkejut, "Kok, malah melamun?"
Aku hanya nyengir, tak tahu harus berkata apa. Sekarang, yang ada dalam benakku hanya satu, menerima tawaran Tante Ariane atau menolaknya. Itu saja. Tak mungkin memilih semuanya, kan? Kecuali sambil liburan, aku masih bisa membantu Uta.
Nah, itu dia ide yang cemerlang!
"Mama, enggg, boleh nggak kalau aku pikir-pikir dulu?"
"Pikir apa? Kayak mama-mama aja kamu ini, Hill. Diajak liburan saja mikirinnya udah kayak mama-mama yang anaknya selusin. Udah, berangkat aja!"
"Nanti aku kasih tahu Mama lagi, ya?"
"Kasih tahu ...?"
"Pokoknya, begitu aku ambil keputusan, aku cepet-cepet kasih tahu Mama. Ya? Biar Tante Ariane pun nggak nunggu-nunggu. Nggak enak juga kita nanti kan, Mama?"
Satu-satunya hal yang aku syukuri adalah, Mama tersenyum tipis. Senyum misterius sih tapi aku tak memperdulikan itu. Sekarang aku harus menemui Uta dan mendiskusikan masalah ini dengannya. Siapa tahu, sahabatku yang baik hatinya itu malah langsung punya solusi. Ya ampun, dia kan motivator tunggal dalam hidupku? Terutama setelah Papa meninggal. Sungguh, tak tahu apa jadinya kalau tak ada Uta. Mungkin aku sudah terkena skizofrenia atau sejenisnya karena gagal move on.
"Aku ke rumah Uta dulu ya, Ma?"
"Ya, hati-hati, Hill!"
"Oke, Mama. Aku jalan kaki kok, Ma. Sekalian jalan-jalan sore. Siapa tahu kan, ketiban langit eh lowongan pekerjaan ramah pengangguran."
"Hehehehe ... Hill, Hill. Iya deh, asal jangan meleng aja tuh, jalannya?"
"Siap, Boss!"
Eropa. MMB. Eropa. Cari kerja plus MMB. Eropa dulu sambil cari kerja plus MMB. Eropa. Eropa. Eropa.
Wah, jelas otakku konslet!
Belum pernah lho, aku separah ini dalam memikirkan sesuatu. Selama menyusun skripsi saja bisa senyum-senyum santai. Seolah-olah ujian akhir itu sama dengan penilaian akhir semester untuk anak TK B. Bukan karena super cerdas atau semacamnya sih tapi karena berprinsip easy going. Lah tapi begitu mendapatkan tawaran liburan ke Eropa itu tadi, seluruh hidupku jadi sekacau laut saat terguncang Tsunami.
Bayangkanlah!
"Eh, kamu Hill?" sapa Uta saat mengetahui kedatanganku di rumahnya, "Duduk Hill, kelihatannya capek bener?"
Seperti yang ditawarkan Uta, aku duduk di kursi bambu di depannya, "Makasih, Ta. Iya nih, lagi pening kepalaku, Ta."
Aku selalu jujur dan terbuka pada Uta. Demikian juga Uta, tak ada yang ditutupinya dariku. Setidaknya, begitulah pengakuannya padaku beberapa waktu lalu. Kalau dia tak mengakui itu ya aku takkan pernah tahu. Asli, bukan cenayang yang bisa tembus pandang. Bisa melihat ke masa lalu atau pun masa depan. Sungguh.
"Walah, pening kenapa sih, Hill?" tanya Uta santai, sesantai orang-orang yang bermain pasir di tepi pantai, "Dipikir karo turu wae!" (Dipikir sambil tidur saja!)
Aku mengikutinya tertawa lalu menceritakan semuanya dengan jujur apa adanya. Termasuk soal keinginan mencari pekerjaan yang belum pernah terpikir selama ini. Pokoknya, keinginan itu muncul setelah Mama menawarkan liburan tiga bulan di Eropa. Aneh, kan? Kuakui, kadang-kadang aku separah itu dalam hal mempertimbangkan sesuatu.
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments