All Chapters of Holiday to Wedding Day: Chapter 71 - Chapter 80
93 Chapters
Tertangkap Basah
"Mbak Nilam?" sebisa mungkin aku mengutuhkan kekuatan diri untuk memanggilnya mendekat. "Gimana ini, Mbak?"  Mbak Nilam memasang sikap diam. Menyebarkan pandangan ke sekitar setelah sejenak memandangku dengan sorot mata yang sulit untuk kuterjemahkan. "Biar Mbak masukkan tas sama koper kamu ke bagasi dulu ya, Hill?"  Melihat sikap gigih Mbak Nilam, kekuatan dalam diriku kembali utuh dan besar sehingga inilah yang kulakukan dengan sepenuh kesadaran. Melepaskan cincin yang masih melingkari cincin manis sebelah kiri, menyerahkan pada Tante Ariane.  "Hill, oh Hill?" "Maaf Tante, Hill nggak bisa melanjutkan semua ini. Hill nggak bisa menikah dengan Aldert." di sini aku sangat bersyukur, walaupun sempat ter
Read more
Broken Heart
Oh Guys, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Lebur, tergiling halus. Lebih halus dari pada daging sapi bakal adonan bakso beranak. Oh, sungguh aku tak tahu harus bagaimana? Bagaimana caranya untuk bangkit? Berdiri dengan tegak, membuka mata senormal mungkin---seperti waktu masih ada Batik di sini---menatap setiap penjuru dunia. Memandang jauh ke depan, merenda kembali harapan yang telah koyak di sana sini selayaknya pakaian para prajurit yang gugur di medan perang. Koyak-koyak, berlumur darah.  Hahahaha … Dulu, dulu aku memilih untuk menolak Batik. Memutuskan untuk membenci setiap rasa sakit yang dihujamkannya, pergi dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang kian subur bertumbuh. Melupakan segala yang pernah ada ataupun terjadi di antara kami selama ini. Menghilang.  
Read more
Sejenak Menepi dari Mama
Mama berniat menjengukku di kos siang ini jadi dia menelepon. Terus terang belum siap bertemu. Melihat pun belum siap, sungguh. Tahukah Mama, untuk bisa menerima teleponnya saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa bagiku?  Oh, untung aku tidak memasukkan kontaknya ke dalam daftar hitam. Tidak juga screening pesan pendeknya. Mama juga masih bisa mengirimkan pesan di chat room. Ya, walaupun nyaris tak pernah membalasnya, sih. Tapi seharusnya dia bersyukur, kan?  Hello, Guys! Seharusnya Mama tahu kan, sadar semua penderitaan yang kualami dalam hidup ini karena siapa? Karena Mama. Oh, kalian wajib tahu sekarang Guys, kalau ternyata meninggalnya Papa di tangan perampok dulu itu juga karena Mama.  Bodoh
Read more
Ketakutan Terbesar
Sepulang dari rumah Uta aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Rasanya sakit di sekujur tubuh. Lemas. Mungkin karena tiga kali muntah-muntah hebat waktu di rumah Uta dan satu kali waktu baru sampai di rumah.    Sebenarnya malam ini ada janji dengan Budhe, mau makan bersama di rumah makan Pelem Golek tapi kubatalkan. Selain lumayan jauh dari kos, tubuh juga sepertinya tidak memungkinkan. Budhe sempat kecewa sih tapi bagaimana lagi? Tidak mungkin kan, memaksakan diri?    Alhasil, Budhe chat aku sekitar sepuluh menit yang lalu. Katanya dia mau ke kos, sekalian membawa makan malam untuk kami. Menu paling spesial di rumah makan Pelem Golek. Katanya lagi, kalau aku belum sembuh juga, mau menginap di kos. Sungguh, ini sangat sederhana tapi menjadi sangat berharga.  
Read more
Dihantui Arnold
"Oh Hill, this is a book for you!" (Oh Hill, ini buku buat kamu!) Arnold meletakkan kantong plastik berwarna biru langit polos dengan gambar selembar daun maple hijau di tengah-tengahnya. "I bought it yesterday morning. Enjoy the story, Hill!" (Aku membelinya kemarin pagi. Selamat menikmati ceritanya, Hill!) YOUR RING  Penuh rasa terima kasih aku membaca judulnya. "So Arnold, when you bought me a tiket?" (Jadi Arnold, kapan kamu memberikan aku tiket?" tanyaku sambil memandang lekat-lekat manik matanya. "Almost three days I am here and really I don't want to make you ha
Read more
Harus Memilih!
Uta membelalak tapi lalu melebarkan senyuman. Mengangkat kedua alis. "Ya, sekarang kembali ke kamunya saja sih Hill, kalau menurut aku. Bisa nggak kamu menjalankan semua pekerjaan itu pada waktu bersamaan? Terus, kita juga masih ada MMB, lho. Kalau kamu memang bisa bagi waktu, nggak merasa tertekan ya, kenapa nggak? Mumpung masih single ini, kan? Masih longgar lah, buat lompat sana sini!" Sejenak aku tercenung. Masalah ini memang terlihat sepele tapi aku tak mau menyepelekannya, tentu saja. Menjadi pebisnis tangguh memang cita-citaku sejak masih SMP dulu. Bukan hanya menekuni satu bisnis kalau perlu tetapi beberapa, banyak kalau perlu. Asyik saja ya kan, dua puluh empat jam terisi dengan hal-hal positif yang memberikan keuntungan. Seru sekali pasti, kan? Tapi entah mengapa, semakin Mbak Nilam mendekat dan percaya, justru aku semakin
Read more
Semua Sudah Terlambat
"Gimana Hill, kata dokternya?" Uta dan Megan berdiri menyambut begitu aku keluar dari ruang periksa. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Uta lagi dengan mimik wajah khawatir.  Apakah aku baik-baik saja?  Tergantung dari sisi mana melihatnya. Secara fisik, aku baik-baik saja, kata Dokter. Hanya butuh lebih banyak waktu untuk istirahat, makan yang cukup dan ya, membahagiakan  diri. Jalan-jalan, refreshing lah. Lambungku juga baik-baik saja, tak ada yang cedera barang satu inci pun.  Lalu, bagaimana bisa aku mengalami mual dan muntah yang cukup hebat akhir-akhir ini?  Berdasarkan hasil pemeriksaan Dokter, semua itu karena aku masih belum bisa move on,
Read more
Haruskah?
Aku bingung, Guys! Benar-benar bingung, mengapa Uta dan Megan malah memberi tahu Mama di mana alamat kosku? Apa itu bukan sebuah pengkhianatan namanya? Ya ampun! Uta kan, sahabat dekatku sejak bayi, mengapa malah berbohong seperti ini?  "Oh, pantas saja mereka ke sini, Ta?" ketus, aku melontarkan sebuah kesimpulan. "Ternyata kamu ya yang ngasih tahu? Ckckckck, kok kamu tega kayak gitu sih Ta, sama aku? Aku kan, sudah bilang sama kamu … Sampai kapan pun, jangan kasih tahu Mama? Iya, kan? Karena aku tahu Ta, Mama pasti mengajak Tante Ariane!" dengan pengendalian diri yang gagal total, aku terus mencecar Uta. Ingin sekali rasanya mencakar-cajar wajahnya yang sedikit pucat karena morning sickness itu, sungguh.  
Read more
Membuka Lembaran Baru
Lemah, aku menggeleng-gelengkan kepala. Semua yang ditanyakan Uta itu tidak ada yang ingin aku lakukan. Hanya satu inginku saat ini, segera pulang ke kos. Di sanalah aku bisa menemukan segala bentuk kebebasan sekaligus kemerdekaan hidup. Tanpa drama, pengkhianatan dan kejahatan. Satu lagi, serangkaian tekanan dan paksaan.  "Oke, Hill." Uta menepuk-nepuk pundakku, melekatkan pandangan yang aku tak mengerti mengapa. Apakah dia tak percaya kalau aku memang tak ingin ke toilet, minum ataupun mengemil? Aneh!  "Ta, kamu tahu nggak?" sederet kata tanya itu meluncur bebas dari mulutku.  Uta mengerutkan dahi. "Nggak. Kenapa Hill, ada apa?" Entah mengapa aku malah tertawa cekikikan. Sadar tapi tak kuasa untuk m
Read more
Oh, Tidak!
Setengah sadar, aku menerima gelas putih transparan dari petugas laboratorium. Seramah dan sehangat apa pun dia melayani, tetap saja hatiku hancur. Remuk. Aku benar-benar takut sekarang. Bagaimana kalau perbuatan jahanam biadab Arnold dulu itu benar-benar membuahkan hasil?  Maksudku, bagaimana kalau aku benar-benar hamil? Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang?  "Nanti kalau sudah ditampung, tolong diserahkan ke loket yang tadi ya, Mbak?"  "Eh, oh, iya Bu. Sa---ya ke toilet dulu. Permisi?"  Petugas laboratorium itu tersenyum ramah. "Iya, silakan Mbak. Hati-hati, ya?" Aku tak menjawab. Tak mampu berkata-kata lagi untuk lebih tepatn
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status