All Chapters of Head Over Heels: Chapter 31 - Chapter 40
63 Chapters
31. Sebuah Kejutan
Andreas tahu, berlama-lama menghindari Antonio juga tak ada gunanya. Cepat atau lambat, ia juga pasti akan berhadapan dengan pria tua itu, mengingat betapa gigihnya semua telepon dan pesan masuk yang terus saja meraung di layar ponsel miliknya maupun Lukman. Seperti sekarang ini, ketika jam makan siang kantor baru berakhir sepuluh menit lalu, Antonio datang menyambangi ruang kerjanya untuk menuntut banyak penjelasan tentang keberadaannya yang tiba-tiba hilang dari ruang komunikasi dan peredaran mata pria itu. "Darimana saja kamu? Galuh bilang semalam kamu nggak pulang ke apartemen." Galuh adalah sekertaris pribadi Antonio yang selalu menjadi mata dan telinga bagi pria itu dalam memantau keberadaan putranya. "Papa juga hubungi asisten kamu tapi malah nggak diangkat, apa kalian kerjasama buat menghindar, Andreas? Dan yang kemarin itu apa-apaan kamu? Bagaimana bisa perempuan sialan itu----" "Satu-satu." Andreas memotong kalimat berapi-api Antonio
Read more
32. Neraka Dunia
Benar-benar sebuah lelucon menggelikan. Apalagi mendengar langsung bagaimana seorang Hendrawan Sanjaya berperan menjadi ayah bijaksana demi nama baik rumah tangga putrinya, yang bahkan tak pernah ia pedulikan. Sekalipun jasadnya sudah terkubur di dalam tanah.  Andreas pikir, keluarga terlampau cuek seperti Sanjaya tidak terlalu senang mengundang orang lain ke dalam drama hidup mereka, selama hal itu tidak mengusik martabat dan nama baik yang mereka agung-agungkan. Namun dari pembicaraan singkatnya bersama Hendrawan di telepon beberapa jam lalu, sepertinya ayah mertuanya itu tak akan melepaskan Andreas dengan mudah kali ini. Apalagi setelah semua pemberitaan media yang terjadi. Lagipula ia yakin, bukan murni rasa empati pada Namira lah yang menggerakan Hendrawan mengungkit masalah berita penuh sensasi ini ke permukaan, tapi tidak lebih pada harga diri setinggi langit pria itu yang merasa tercoreng, karena sang menantu tidak lagi menganggap keberadaan mereka cukup
Read more
33. Dosa Orang Nyinyir
Rena menatap sayang lauk-pauk melimpah tersaji di hadapannya. Meja makan terlihat penuh itu seolah tampak kontras dengan jumlah ketiga penghuni yang belum tentu mampu menghabiskan jatah makanan sebanyak itu. Pukul sepuluh memang terlalu larut untuk disebut makan malam. Berterima kasihlah pada seseorang yang harus membuat mereka menunggu tanpa kepastian hanya untuk sekedar mengisi perut. "Apa sebaiknya Mbok telepon saja?" tanya Rena pada Mbok Irma karena wanita paruh baya itu beserta suaminya tetap bersikukuh menunggu kedatangan Andreas meski waktu sudah menunjuk jam-jam suntuk. Benar-benar bentuk loyalitas yang tak mampu dimengerti oleh Rena sendiri. Terutama jika loyalitas itu ditujukan pada sosok tanpa hati nurani seperti Andreas. Mbok Irma menggeleng pelan. "Neng Rena nggak apa-apa kalau memang mau makan lebih dulu. Mbok sama suami bisa nyusul sebentar lagi. Nggak perlu merasa sungkan, Neng. Mbok nyiapin makanan ini buat Neng Rena juga, Kok." 
Read more
34. Alasan untuk Kembali
Andreas tak mengerti kenapa ia justru berakhir di hadapan bangunan dua lantai semi Belanda di depannya ini. Daripada memilih terlelap usai hari yang panjang di apartemennya sendiri, ia malah memutuskan menyetir menempuh lebih dari 60 kilometer perjalanan jauh-jauh ke Bogor. Masih lengkap dengan pakaian kerja yang sudah tak serapi tadi pagi karena berbagai kesibukan padat terlewati seharian. Melonggarkan simpul dasi, Andreas menghempaskan sisa rasa lelahnya bersandar sejenak pada kursi jok pengemudi, membiarkan kesunyian ruang menjadi temannya untuk berbagi penat. Karena pertemuannya dua jam lalu dengan keluarga Sanjaya, benar-benar menjadi penutup hari yang buruk untuknya. Andreas masih memandang lurus pemandangan beranda villa lengang di depan sana. Rasanya lucu sekali saat menyadari ia sudah dua kali menempuh jarak Jakarta-Bogor hanya dalam selang waktu dua hari, demi kembali berada di tempat yang sedari dulu selalu enggan untuk ia pijaki. Yang bahkan dalam li
Read more
35. Alarm Peringatan
Jika berpura-pura pingsan bisa membantunya meloloskan diri dari situasi ini, mungkin Rena akan mengambil opsi tersebut tanpa berpikir panjang. Namun yang jadi masalah, bagaimana caranya ia dapat bersandiwara jatuh terkulai tanpa membenturkan kepala ke lantai, dengan akting terlihat senatural mungkin dan meyakinkan. Karena Rena tak ingin usaha melarikan dirinya ini justru berujung geger otak atau bahkan berakhir dengan kepala bocor. Ia tidak menyangka kalau pepatah 'Mulutmu Harimaumu' akan benar-benar terealisasikan di hidupnya, menjadi karma dari semua kutuk serapah spontan yang ia lemparkan pada sang atasan barusan. "Pa-pak Andreas sejak kapan ada di situ?" Rena tak tahu mukanya sudah seberantakan apa. Ia mendadak berubah gagap saat mendapati keberadaan Andreas yang baru saja sejauh sambungan telepon, mendadak sudah ada di hadapannya bagai jelangkung tak diundang. Apalagi setelah lelaki itu sudah berdiri menjulang di hadapannya dengan wajah sengak seperti b
Read more
36. Kata Hati
Meskipun sedari berjam-jam lalu perutnya dilanda rasa lapar, selera makan Rena justru lenyap entah ke mana begitu ia kembali mendudukkan diri di meja makan setelah semua hal memalukan yang baru terlewati. Bahkan Pak Umar yang menanyakan perihal wajah piasnya sekembali dirinya dari teras belakang, hanya dibalas Rena dengan sunggingan sungkan dan kalimat ia baik-baik saja untuk menutupi rasa malu yang tengah dirasakan. Belum lagi berselang beberapa menit kemudian, kedatangan Mbok Irma yang sudah menyusul masuk dan ikut bergabung ke meja makan semakin membuat perut Rena melilit tak karuan. Walaupun wanita paruh baya itu berusaha bersikap seramah biasa dan tersenyum sopan ketika tanpa sengaja mereka bertukar tatap, tetap saja Rena tak dapat menyembunyikan kecanggungan dan sikap salah tingkahnya. Ia benar-benar takut berasumsi tentang apapun yang ada di kepala Mbok Irma sekarang, setelah apa yang tidak sengaja wanita itu saksikan di teras belakang tadi. Sehingga m
Read more
37. Tukang Cari Perhatian
Rena mengambil alih tugas dapur untuk membersihkan peralatan makan bekas santapan mereka bersama. Sebenarnya hal itu ia lakukan semata-mata agar punya kesempatan menghindar dari resiko terjebak obrolan canggung bersama Mbok Irma maupun Pak Lukman. Karena keduanya masih setia berbincang-bincang di meja makan dengan menyeduh secangkir teh dan mencamil kue Lupis sebagai penutup dari makan malam ini. Rena yang sempat ditawari ikut bergabung, menolak secara halus dengan beralasan ingin mencuci piring atau membereskan sisa-sisa bekas makanan yang ada. Walau sempat terlibat sedikit perdebatan dengan Mbok Irma karena beliau berkeras agar ia tak perlu repot-repot mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, pada akhirnya kekeras kepalaan Rena lah yang berhasil memenangkan argumen singkat di antara keduanya. Ruang menyatu antara dapur dan meja makan yang hanya disekat oleh partisi kerai dan bufet tinggi tempat piring dan gelas kaca diletakkan, membuat dua bagian ruangan itu terhub
Read more
38. Tempat Bersandar
Rena bisa saja memilih beranjak pergi dari sana, mengabaikan Andreas yang masih saja membuatnya terbawa perasaan kesal karena tingkah pria itu padanya beberapa saat lalu di teras belakang. Tapi membiarkan Mbok Irma harus kerepotan di dapur sendirian menyediakan nasi dan lauk untuk makan malam lelaki itu, mengurungkan niat Rena yang ingin sekali melangkah menjauh, dan justru berakhir ikut membantu memanaskan makanan dingin yang terlanjur disimpan Mbok Irma di kulkas. Ikan kuah kuning, ayam suir rica-rica, sayur lodeh, sayur asem, lele goreng, kupat tahu, dan masih banyak lagi menu yang disediakan Mbok Irma di atas meja makan, benar-benar mengundang decak pelan Rena karena sepertinya pekerjaan mencuci piring yang baru saja ia selesaikan akan terulang lagi di ronde kedua. Kenapa pula laki-laki ini harus berubah pikiran dan justru membuat mereka semua jadi kerepotan! Padahal harusnya sekarang Rena sudah bisa telentang nyaman di kamar atas dan mulai menapaki alam mimpi in
Read more
39. Sisi Berbeda
Rena memang selalu gampang dibuat terbangun oleh riuh hujan yang berlomba-lomba mencumbu atap. Ditambah gemuruh angin dan sesekali gelegak petir di luar sana yang mengusik lelapnya, seketika akan membuat ia kembali terjaga. Bahkan tak sering juga berakhir tertahan dari rasa kantuk sepanjang malam. Seperti sekarang ini.Padahal baru terhitung kurang dari tiga jam lalu ia tertidur setelah melakukan pekerjaan melelahkan seharian. Tapi udara menipis khas perbukitan yang lebih dingin dari kemarin malam, membuat matanya sulit diajak bekerjasama untuk kembali beristirahat.  Setiap kali terjebak pada kondisi menyebalkan ini, Rena akan memilih mengisi waktu begadangnya dengan menyelesaikan pekerjaan kantor tersisa. Namun berhubung saat ini ia sedang dalam misi pelarian, tidak banyak tambahan deadline yang perlu ia selesaikan dalam rentang waktu dekat. Selain strategi promosi pengembangan Kopi Robusta yang sudah dibereskannya sore tadi. Rena melirik jam ponsel
Read more
40. Memori Sembilu
Jangan lagi.  Ia berharap takdir keji ini akan berhenti menariknya pada pusaran menyakitkan ini lagi. Namun bunyi bantingan benda pecah belah di luar sana, diikuti hentak teriakan menggema saling merampas bersahutan, membuat ia sepenuhnya sadar, tak ada jalan kembali sebelum melalui kesakitan ini setuntas mungkin.  Mendekap erat-erat tubuhnya meringkuk di sudut kamar, telinganya makin awas menangkap semua suara serapah menyakitkan yang masih terus memecah keheningan malam. Tak jarang juga rintih kesakitan diikuti gema pukulan atau tamparan, menjadi alunan memekakan menyembilu dada. Sampai akhirnya gedebum pintu dibanting kasar diiringi makian suara berat seseorang, menjadi akhir penutup dari segala kakacauan yang ada. Kemudian tak lama berselang, deru mesin mobil mulai menjauhi pekarangan adalah satu-satunya hal terakhir yang ia dengar sebelum kungkungan sepi kembali datang meraja. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya merasa lega. Karen
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status