All Chapters of Head Over Heels: Chapter 21 - Chapter 30
63 Chapters
21. Sekali Lagi Terjebak
"Apa-apaan itu tadi?" Mala yang belum lama sadar dari serangan kejut, dengan refleks segera mendekati Rena sesaat setelah gadis itu berpindah duduk di meja kubikelnya sendiri. Mas Tian yang juga berada di lajur digital marketing berseberangan dengan kubikel keduanya pun ikut melemparkan tatapan penasaran serupa. Tapi Rena terlalu lelah atau mumet untuk menjelaskan secara detail apa yang sudah ia lewati sampai harus berakhir menjadi bahan panggul Direktur mereka sendiri.Sekalipun kepergian Andreas telah berlangsung sedari 10 menit lalu, suara dan tatapan menyelidik beberapa karyawan di ruangan ini yang sempat menyaksikan sedikit keributan penuh drama itu, rasanya belum mau sirna membayang-bayangi Rena untuk beberapa waktu ke depan di jam kantor tersisa. Rena pun seratus persen yakin, dugaan orang ketiga akan semakin melekat kuat di belakang namanya usai pertunjukkan gila Andreas yang menyeretnya dua kali dalam pusat perhatian orang banyak. Tapi Rena sudah terlalu
Read more
22. Asumsi Negatif
Rena tak pernah menduga bahwa kedatangan pria bernama Lukman Atmaja ke ruang kerjanya, dengan dalih membantu usaha meloloskan diri gadis itu dari sasaran kerumunan media, justru akan kembali menyeret Rena pada situasi yang membuat ia sekali lagi terjebak bersama sosok Andreas Pramoedya di ruang sempit ini. Saat mengetahui bahwa pria dibalik kemudi yang akan membawanya pergi adalah orang yang sama sekali ingin coba ia hindari, hal pertama terlintas di pikiran Rena adalah keinginannya untuk nekat saja menerobos barisan para wartawan atau kembali naik ke atas, meminta Mas Tian dan Mala menjalankan rencana pelarian mereka seperti semula. Namun belum sempat Rena berpikir untuk merealisasikan kehendak itu, Lukman yang melihat keterdiaman Rena karena enggan beranjak dari tempatnya, dengan sendirinya berinisiatif mendorong pelan gadis itu hingga terduduk paksa ke jok penumpang. Bahkan sempat melotot tajam ketika Rena baru saja ingin mengeluarkan protes tak terima, dan dengan
Read more
23. Awal dari Pelarian
Dari jok depan, mata Rena menelusuri bangunan dua tingkat berwarna krem, dengan dominasi batu alam pada dinding-dinding pilar penyangga beranda yang tersaji di hadapannya. Gaya bangunan semi Belanda berunsur tropis karena banyak tanaman dedaunan hias atau tanaman berbunga terawat menjajari bagian depan dan teras villa, sedikit membuat Rena bisa bernapas lega karena artinya tempat tinggal ini masih terlihat manusiawi untuk ditinggali. Serta asumsi buruknya tentang adegan pembunuhan berencana langsung terpatahkan begitu saja.  Lagipula mana ada pembunuh berdarah dingin yang doyan memelihara anggrek ataupun bonsai? Apalagi itu, beberapa koleksi tumbuhan monstera dan aglonemanya yang seharga kavling tanah sedang berbaris rapi di teras masuk, sontak membuat jiwa kriminal Rena ikut meronta-ronta ingin segera dibebaskan. Jika mencuri sudah dihalalkan, ia mungkin dapat memanfaatkan beberapa pot tanaman monstera itu untuk dijual menggantikan biaya cuci darah ibunya selama bebera
Read more
24. Hati Nurani
Rena tidak tahu persis kapan terakhir kali ia menyantap makanan rumahan khas tangan seorang ibu seperti ini. Keseringan hidup di rumah kontrakan, membuat Rena lebih banyak memanfaatkan lauk-pauk atau makanan lainnya yang ia beli dari luar. Mungkin masakan yang biasanya akan ia buat juga hanya seputaran menu biasa seperti nasi goreng ataupun olahan telur sejenisnya. Rena jarang menyisipkan waktu luangnya untuk membuat capcay, ikan goreng saus, dan sayur tumis kangkung semacam ini.Belum lagi sudah dua tahun tiap ia pulang ke Semarang, Rena hanya gantian berbagi tugas memasak dengan adiknya, Kayla. Mengingat kondisi ibu mereka yang mengharuskan wanita paruh baya itu tidak terlibat pekerjaan berat apapun yang beresiko memperparah keadaannya.Makanya saat melihat ragam menu masakan rumahan sudah tertata rapi di atas meja, Rena tanpa pikir panjang langsung mengambil piring dan menyendok nasi serta lauk-pauk yang ia butuhkan sebanyak mungkin. Menyantap dengan la
Read more
25. Lawan yang Seimbang
Baiklah, Rena ingin sekali merutuk sikap lemah hatinya yang mudah merasa tidak tega pada kesulitan siapapun yang berada di sekitar jangkauan matanya. Betapapun ia membenci sosok tersebut sedemikian rupa, namun mendustai empati yang sudah mendarah daging, bukan hal mudah untuk dilakukan. Sama seperti kebiasaannya yang harus merasa iba pada sang ayah tiap kali lelaki itu pulang dengan luka-luka serta memar, entah karena dikejar lintah darat akibat hutang judi menunggak, atau dikeroyok masyarakat karena selalu saja berulah tiap kali alkohol mengambil alih kesadarannya. Sebenci apapun Rena pada sosok itu oleh semua kekacauan hidup yang ia perbuat dan tinggalkan, sehingga kadang harus membuat dirinya dan sang Ibu kewalahan ikut membereskan dan mewakili permintaan maaf pada mereka yang dirugikan kelakukan ayahnya, tetap saja Rena tak bisa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang anak tiap kali melihat pria tua itu terkapar babak belur di teras rumah. 
Read more
26. Membuat Keputusan
Tentu saja Rena menolak, atau lebih tepatnya ia berusaha menolak. Karena berada lebih lama dengan Andreas hanya akan memunculkan kegilaan-kegilaan lain dari sosok itu tanpa Rena duga. Tapi betapapun ia berusaha melepaskan diri dan menunjukkan muka mendelik tak terimanya, Andreas justru semakin mencengkram lengan kirinya lebih erat.  "Kamu bisa melakukannya sendiri." Rena mulai tampak kehilangan kesabaran. "Tolong lepaskan saya."  "Sayangnya saya menolak." Andreas masih mengeratkan pegangan tangannya, menampilkan raut tak berdosa andalannya. "Lagipula itu memang tugas kamu, kan? Karena kamu sendiri yang sukarela melemparkan diri tanpa saya minta." Jawaban itu semakin membuat mata Rena membola lebar karena kesal. Andreas sangat lihai memanfaatkan situasi dengan mulut liciknya. Keduanya masih terus berkeras pada pendirian masing-masing. Hingga aksi saling tarik itu bertahan cukup lama, sampai suara dehaman seseorang dari arah pintu menyela ketegangan d
Read more
27. Sebuah Janji
Rena kembali menyalakan ponsel yang sengaja ia matikan sejak rencana menghindari wartawan bersama Mala dan Mas Tian tertunda oleh kedatangan asisten Andreas yang menjemputnya. Dua puluh panggilan tak terjawab dan belasan pesan masuk adalah hal pertama menyapa Rena di layar datar begitu benda pipih tersebut ia hidupkan. Lima pesan dan lima panggilan dari Mas Tian terlihat di sana. Selain dari itu, sisanya bisa ditebak sendiri milik siapa. Benar saja, sesaat setelah Rena menempelkan panggilan terhubung ponselnya ke telinga, tak butuh lebih dari tiga nada sambung sampai teleponnya langsung diangkat oleh penerima di seberang sana. Diikuti rempetan kalimat protes bertubi-tubi dari Mala, tentang betapa menyebalkan dirinya karena menghilang tanpa kabar selama berjam-jam. Sampai-sampai sulit dihubungi dengan nomor di luar jangkauan.  Rena hanya bisa meringis bersalah dari seberang sini begitu tahu kecerobohannya telah membuat Mala dan Mas Tian jadi parno dan panik sendi
Read more
28. Mulai Terbiasa
Send to Kayla : Kay, ada hal penting yang ingin Mbak bicarakan. Kamu bisa balas pesan ini kalau punya waktu luang, biar Mbak bisa telepon kamu nanti.  Setelah melalui pertimbangan panjang semalaman, Rena memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Kayla sekaligus memberi penjelasan yang sekiranya adik dan ibunya butuhkan. Ia lelah bermain asumsi tentang pandangan keluarganya terkait skandal yang menyebar luas ini. Lebih baik menanggung kekecewaan mereka di waktu sekarang, ketimbang tersiksa menyembunyikan diri dan justru akan memupuk kekecewaan lebih besar di waktu mendatang. Rena memang tak langsung menghubungi Kayla seperti yang direncanakannya semalam. Ia memilih mengirim pesan pada adiknya itu terlebih dulu di pagi ini sembari menunggu kapan saat yang tepat bagi keduanya untuk berbicara. Rena juga yakin, Kayla pasti punya kesibukan sendiri seperti kuliah pagi ataupun mengurus ibu mereka yang sedang sakit. Maka ia perlu menyesuaikan dengan waktu luang ad
Read more
29. Keindahan
Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu. Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya. "Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut.  Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar. "Lukman." Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.
Read more
30. Sepotong Kisah
Rena mengakui, tempat kediaman yang ia tinggali dalam misi pelariannya memang terlihat luar biasa mengagumkan saat siang hari. Meskipun hanya tersisa berdua bersama Mbok Irma di bangunan yang luar biasa lapang serta sunyi ini, ditambah pekarangan pribadi yang luasnya setara town house, perasaan takutnya sudah jauh berkurang tidak seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki ke sini seperti malam kemarin. Perlakuan baik yang ia terima dari Mbok Irma, benar-benar memberikan Rena rasa nyaman. Sekalipun pertemuan pertama mereka baru terjalin kemarin, Rena tidak merasakan kecanggungan apapun sebagaimana yang selalu ia hadapi ketika bertemu dengan orang-orang baru.  Usia Mbok Irma yang mungkin hampir sepantaran umur ibunya, ditambah sikap welas asih sangat meneduhkan dari wanita itu, membuat Rena seolah merasa memiliki orang tua kedua yang sarat akan rasa mengayomi. Maka dengan tanpa sungkan, Rena pun mulai memanfaatkan kesempatan luang yang ada demi menjalin
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status