Lahat ng Kabanata ng Kami Bukan Benalu, Bu: Kabanata 31 - Kabanata 40
43 Kabanata
Bab 31
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 31POV Hanum      Tatapan tajam Bu Nancy membuatku semakin salah tingkah.     “Siapa yang bersin?”    Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Emm, mungkin itu Bik Atun, Bu.”    Bu Nancy terlihat mengerutkan dahinya. Ia menatap tepat mataku. “Saya masih bisa membedakan mana suara laki-laki, dan qmana suara perempuan. Itu tadi, suara laki-laki, dan berasal dari kamar kamu!”    Aku menunduk. Dalam hati mengutuk Mas Satya, kenapa dia harus bersin segala, sih?    “Siapa yang ada di kamar kamu, Hanum?”    Aku tetap menunduk, dan tidak berani menjawab.     “Jangan bilang, kalo kamu selama ini suka masukin cowok, selama anak dan menantu saya nggak ada di rumah.”    Tanpa menunggu jawaban, Bu Nanc
Magbasa pa
Bab 32
Kami Bukan BenaluBab 32POV Hanum  Waktu berjalan terasa sangat lambat. Saat aku terakhir melihat jam dinding, sudah lewat tengah malam. Akan tetapi, baik Jelita maupun Mas Satya, tak ada yang muncul. Jangankan pulang, mengirim kabar saja tidak. Karena lelah menunggu, aku pun tertidur.     Suara berisik yang semula terdengar samar semakin jelas menyapa gendang telinga. Aku pun terpaksa membuka mata yang masih terasa berat. Susah payah aku berusaha mengumpulkan kesadaran, saat terdengar pintu diketuk. Lebih tepatnya digedor dari luar.     “Hanum! Bangun kamu!” terdengar suara Mbak Jelita memanggilku.     Dengan malas, aku pun beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintu yang masih digedor.     “Ada apa, sih? Masih pagi, udah berisik banget. Ganggu orang tidur aja,” omelku saat membuka pintu.   &nb
Magbasa pa
Bab 33
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 33POV Hanum      Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan gerbang tidak terlalu tinggi. Sekilas, kulihat di kiri kanan rumah ada bangunan memanjang ke belakang. Mungkin, itulah kamar kontrakan milik teman Mas Satya. Sewaktu kuliah dulu, aku juga pernah main ke tempat kost temanku. Kurang lebih, bentuk bangunannya mirip dengan kontrakan ini.     “Ayo,” ajak Mas Satya.     Aku pun mengekor di belakang Mas Satya.Seorang pria berambut keriting menyambut kami. Tubuhnya yang ceking dan tinggi, menjulang di depan kami. “Akhirnya sampai juga. Mari masuk.”“Iya, Tom. Tadi sempet nanya-nanya dulu. Kirain kamu masih di rumah yang lama. Oh, iya, kenalin, ini Hanum, istriku. Hanum, ini Tomi, temanku.” Aku memngangguk dan berusahah tersenyum pada pria bernama Tomi ini.
Magbasa pa
Bab 34
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 34POV Arum  Tak terasa, delapan bulan telah berlalu sejak pernikahan Hanum yang penuh drama itu berlangsung. Entah bagaimana Hanum menjalani hari-harinya sebagai istri kedua di sana. Kami tak bisa membantah keinginan Jelita yang meminta Hanum untuk tinggal di rumah yang sama dengannya. Toh, Hanum juga setuju dengan permintaan kakak madunya itu. Sebagai kakak ipar yang tidak dianggap, aku memilih diam dan mendoakan semoga itu adalah jalan yang terbaik.Semenjak dibawa oleh Jelita dan Satya, Hanum jarang memberi kabar pada kami. Saat ibu menelpon, dia hanya mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Menurut cerita ibu, Jelita dan Satya memperlakukan Hanum dengan baik. Kami pun merasa lega. Karena, bagaimana pun juga, kami khawatir jika Hanum tidak bisa menyesuaikan diri di sana. Ibu juga semakin tertutup pada kami, terutama padaku. Ibu lebih sering berdiam diri di rumah. Sesekali ke luar jika a
Magbasa pa
Bab 35
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV Arum Untuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa.     “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh.    “Mbak ....” Hanum tampak kikuk.     Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.”     Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?”     “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.”     “Oh.”     Lagi-lagi, kami saling diam.     “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k
Magbasa pa
Bab 36
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36   Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku. “Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya. Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya. Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya. 
Magbasa pa
Bab 37
Kami Bukan Benalu, Bu.  Bab 37     Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan.     “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi.     “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.”     Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan
Magbasa pa
Bab 38
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38  Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang.     “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis
Magbasa pa
Bab 39
                                                                                                                                                                                                                                                                                            &nb
Magbasa pa
Bab 40
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak.     “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum. 
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status