All Chapters of Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Chapter 161 - Chapter 170
217 Chapters
Benang Kusut
“Pantas saja,” ujar Datuk Janti, “aku merasa pernah mendengar nama aslimu.”“M—maafkan ketidaktahuan diri ini tentang sejarah pertalian darah diri sendiri.”‘Dan itu berarti,’ guman sang pemuda di dalam hati, ‘Talago adalah adik sepupuku.’“Tidak, Sati,” sahut pria paruh baya, “ermm, Buyung—yaa, dewa… bahkan aku bingung harus memanggilmu apa sekarang. Tapi, jangan kau pikirkan. Aku ingin bertanya padamu, kabar yang aku ketahui dari mulut Masuga, bahwa Sialang Babega dan seluruh keluarganya terbunuh. B—bagaimana bisa kau selamat?”“Maaf,” Mantiko Sati juga tak mampu mengekspresikan perasaannya sendiri.‘Haruskah aku tersenyum dengan kenyataan bahwa Datuk Janti memiliki pertalian darah denganku? Atau aku harus menangisi nasib tragis keluarga kami ini?’“S—saya pun bingung harus memanggil Datuk sebagai
Read more
Hal yang Lebih Menyakitkan
“Sungguh,” ujar Mantiko Sati, “saya tidak menduga sama sekali.”“Inilah yang dinamakan jalan takdir, Sati,” sahut Datuk Janti. “Kita manusia ini, hanya menjalani apa yang sudah digariskan. Baik dan buruk, tentu terletak pada bagaimana kita akan menyelesaikan satu persoalan yang ditakdirkan pada pundak kita.”“Jadi, Datuk yakin bahwasannya Datuk Masuga sama sekali tak hendak menipu Paduko Rajo sebelumnya itu?”“Tentu saja,” ujar pria paruh baya. “Kau akan mengerti andai kau bertemu langsung dengan laki-laki itu sendiri.”Sang pemuda menghela napas dalam-dalam. “Orang-orang di perahu itu malah memintaku untuk membebaskan Datuk Masuga.”Pria paruh baya tersenyum. “Itu sudah sewajarnya.”“Anda pikir demikian, Datuk?”Sang datuk tersenyum, ia memiringkan sedikit kepalanya. “Walaupun aku adalah Mak Adang bagimu, aku
Read more
Pengobatan yang Menyakitkan
Mantiko Sati menggeser kursinya, duduk lebih mendekat ke dipan bambu di mana Datuk Janti duduk bersandar.“Maaf,” ujar sang pemuda. “Apakah Datuk bisa bergeser lebih dekat?”Pria paruh baya tersenyum. “Tentu saja,” ujarnya. “Aku masih bisa beringsut, dua pahaku masih bisa aku gerakkan.”Sang pemuda mengangguk. Ya, ia bisa melihat itu sebab kenyataannya, dua paha sang datuk tidak mengalami luka atau cidera apa pun. Hanya bagian dari lutut ke bawah saja yang tidak berfungsi.“Maaf,” ujar sang pemuda, lagi.Datuk Janti benar-benar sangat terpesona dengan kesopanan pemuda rupawan itu. Dan kesenangan itu menjadi berlipat ganda sebab pemuda itu ternyata anaknya Zuraya dengan Sialang Babega, kemenakannya sendiri.Mantiko Sati meraih dengan penuh kehati-hatian kedua tangan Datuk Janti, ia menyelipkan setiap jari tangannya ke jari tangan sang datuk yang tidak mampu ia gerakkan.Sang p
Read more
Kenangan Baik
Dan kini, Mantiko Sati bersiap pula melakukan pengobatan pada kedua kaki si Kumbang Janti, dimulai dari kaki kiri pria paruh baya tersebut.Hal pertama yang dilakukan sang pemuda adalah dengan mengembalikan posisi tempurung lutut itu sendiri, dan hal ini sama sakitnya dengan proses mematahkan tulang tangan itu tadi.Datuk Janti mengertakkan rahangnya demi menahan rasa sakit itu. Dan ketika pemuda itu melukai bagian lipatan lututnya dengan ketajaman tenaga dalamnya, sang datuk kembali berteriak kencang sebab merasakan bagian dalam kulitnya seperti terbakar oleh api yang sangat-sangat panas. Begitu juga yang terjadi pada kaki kanannya.Sementara si Talago hanya bisa membelalak ngeri menyaksikan bagaimana sang ayah begitu kesakitan sampai-sampai wajahnya memerah dan berkeringat.Namun semua dilakukan oleh Mantiko Sati dengan cepat. Dan kini, Datuk Janti terbaring di dipan bambu itu dengan napas yang turun naik. Sang bocah menyeka setiap keringat yang mengucu
Read more
Terlalu Lembut
“Ambillah pakaian itu, Sati,” ujar Datuk Janti. “Hanya itu yang bisa aku berikan padamu. Cobalah di dalam kamar, aku ingin melihat kegagahan putra Sialang Babega.”Mantiko Sati menghela napas dalam-dalam. Tentang bagaimana kehidupan di Kota Raja, tentulah si Kumbang Janti lebih tahu daripada dirinya, dan ya, pada akhirnya ia menerima pakaian tersebut.“Sebentar,” ujar sang pemuda dan kemudian berlalu ke dalam kamar.Tidak berapa lama kemudian, sang pemuda kembali. Tidak saja Datuk Janti yang terpukau, namun juga si bocah sepuluh tahun itu juga demikian.Baju itu memiliki bahan seperti kain beledu, laksana pakaian para panghulu yang tentunya cukup mahal. Memiliki warna hitam gelap dengan sulaman benang emas di bagian leher hingga ke dada, pada kedua ujung tangan—dan ujung baju itu sendiri, namun tidak terlihat sebab dibalut dengan sarung balikat—dan di ujung celana di dekat mata kaki. Juga ada rajutan benang
Read more
Harapan Rakyat Banyak
“Saya akan mencoba berbagai cara untuk membebaskan Datuk Masuga.”“Kuharap kau memang bisa melakukan itu,” kata sang datuk. “Sebab, ini harapan rakayat banyak, Sati. Harapan kita semua sebagai penduduk Minanga. Dan Masuga, mungkin bisa membantumu dalam menanggulangi kondisi yang tidak baik sekarang ini. Hanya saja, ini pastilah tidak mudah. A—aku, aku hanya bisa mendoakanmu dari sini, semoga para dewa dan dewi di Suwarga sana melindungi dalam setiap langkahmu.”“Baiklah, Datuk,” ujar Mantiko Sati, “sebentar lagi senja, dan malam segera turun. Terima kasih atas semua kebaikan yang telah Datuk berikan kepada saya.”Si Kumbang Janti tersenyum. “Aku tahu ini bukanlah perkara kecil untuk kau tanggung, Sati. Akan tetapi, aku yakin, jodoh pertemuan ini bukanlah sekadar pertemuan saja, ada takdir besar yang menunggumu. Aku yakin ini. Dan bila kau bertemu dengan si Kuciang Ameh, sampaikan salamku pad
Read more
Menuju Kota Raja
Kapal yang terbuat sepenuhnya dari papan-papan tebal itu kira-kira sepanjang dua puluh depa, dan selebar tiga depa. Bertingkat, dan digerakkan dengan tenaga dua kincir kecil di bagian buritan kapal.Mantiko Sati berpikir, mungkin kincir itu digerakkan oleh tenaga manusia, atau pula hewan sejenis kuda atau yang lainnya.Beberapa penumpang turun di dermaga itu, dan melihat pria yang tadi itu menaiki kapal tersebut, Mantiko Sati pun ikut naik.“Kota Raja?” tanya seorang awak kapal, pria itu mengangguk lantas menyerahkan sejumlah kepingan uang padanya.Tiba pula giliran bagi Mantiko Sati ditanya hal serupa. Setelah mengangguk, sang pemuda menyerahkan lima keping koin perak sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh Datuk Janti sebelumnya.“Dengar,” ujar si awak kapal. “Ada tamu tamu khusus kali ini, jadi, kalian tetaplah di lantai ini saja. Jangan naik ke atas.”Mantiko Sati dan pria yang tadi itu hanya mengang
Read more
Tidak Bersungguh-sungguh
Mantiko Sati mengertakkan rahangnya, sang wanita sangat tidak main-main dengan serangan telapaknya itu.Empat telapak saling beradu dan saling menekan dalam kekuatan tenaga dalam masing-masing.Sang pemuda cukup terkesima memandangi wajah jelita di hadapannya yang tubuhnya dalam kondisi mengambang.Wajah itu sungguh memukau, andai tidak ada riasan tipis di wajah itu, atau pula bibirnya yang tidak dilapisi pemerah buatan, mungkin Mantiko Sati bisa mengenali wajah itu sendiri.Dengan sangat terpaksa sang pemuda menambah kekuatan tenaga dalamnya, namun sang wanita yang masih mengambang pun melakukan hal yang sama, dua tangan sang wanita semakin terlihat menyala-nyala.“U—Uni,” ujar sang pemuda, ia sendiri cukup menjadi jengah, antara malu beratatap muka langsung dengan wajah cantik itu dan memikirkan betapa kekuatan mereka berdua akan membahayakan penumpang lainnya. “H—hentikan, kapal ini bisa hancur.”Sang w
Read more
Bukan Seorang Musuh
Mantiko Sati menelan ludah, ia menjadi serbasalah. Cakar sang wanita muda yang tertuju ke arah lehernya itu bukanlah sesuatu yang dapat dianggap main-main, dan bila ia memilih untuk memundurkan punggungnya, jelas itu akan bersentuhan dengan buah dada wanita itu sendiri.“U—Uni, kalau saya ada salah kata dan perbuatan kepada Uni, sungguh saya meminta maaf,” ujar sang pemuda, “tapi, bisakah Uni menjelaskan kepada saya duduk persoalannya?”Dan kemudian, wanita muda itu melepaskan cekalan cakarnya di leher Mantiko Sati, juga telapak tangannya yang panas itu dari punggung si pemuda.Barulah sang pemuda dapat bernapas dengan lega, ia berbalik, menelisik wajah cantik itu. Hanya saja, seperti sebelumnya, ia belum mengenali sama sekali sosok wanita muda tersebut.“Sungguh, Sati,” ujar sang wanita muda. “Aku sungguh kecewa padamu, padahal sebelumnya aku terlanjur memandang tinggi dirimu. Aku terlanjur berharap kau ada
Read more
Dinamika Kehidupan
“Begitu, ya?” Gadih Cimpago tersenyum dan mengangguk-angguk kecil.“Maafkan aku, Uni,” ujar Mantiko Sati. “Aku bersungguh-sungguh menyesal telah berlaku keras terhadap Andas Rupati dan Datuak Marapi. Aku sangat menyesal.”“Kau hanya terpaksa,” ujar sang wanita. “Jika kau tidak membalas, sudah dapat kupastikan bahwa kau lah yang akan mati. Dan percaya atau tidak, aku sudah memberikan amaran tentang ini kepada Andas Rupati, dia saja yang angkuh dan keras kepala.”“Ba—bagaimana dengan Datuak Marapi?”Ya, dari ucapan Gadih Cimpago, Matiko Sati merasa ada hal yang tidak biasa di sini. Seolah-olah, wanita muda itu tidak bersedih dengan kematian ayahnya sendiri.“Jangan salah mengira,” ujar Gadih Cimpago.Ia memang tersenyum, namun jelas di mata sang pemuda bahwa senyuman itu dipenuhi kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan yang besar.“Aku menyesali
Read more
PREV
1
...
1516171819
...
22
DMCA.com Protection Status