Semua Bab Kafan Hitam: Bab 171 - Bab 180
198 Bab
149
“Hentikan, Badru!” teriak Kiai yang berhasil memecah hening Ciboeh. Suaranya menggelegar bak petir di siang bolong. “Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu!”Tubuh Kiai berguncang hebat ketika mengatakan rahasia yang sudah lama ia pendam. Raganya kembali ambruk karena tak kuat menahan ledakan emosi. Pria tua itu berderai air mata dengan bahu yang naik-turun.Ustaz Ahmad dan Lukman dengan cekatan segera menahan tubuh Kiai. Keduanya ikut terkejut meski fokus mereka saat ini tertuju pada kondisi Kiai. Pendarahan di tangan sang pemimpin pesantren itu belum juga surut.Di sisi lain, Badru seketika tercenung ketika mendengar penuturan Kiai. Pandangannya dengan segera berlabuh pada pria tua itu yang tengah dipapah oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Bola mata pemimpin Kalong Hideung itu membeliak penuh amarah. Rahangnya mengetat hingga urat-urat leher tampak menyembul laksana ingin terbebas dari kulit.“Naon nu maneh omongkeun
Baca selengkapnya
150
Badru merangkak ke arah Rojali. Tangannya hendak menggapai sang putra, tetapi ia kembali menariknya saat melihat noda darah di tangan. Di sisi lain, Ki Jalu mengetahui perubahan pada diri Badru. Untuk itu, ia menarik kembali tongkatnya yang tengah menyerang Mbah Atim dan Mbah Jaja, kemudian melempar sebuah serangan hingga musuh mundur untuk sesaat. Ki Jalu berlari ke arah Badru dengan tergopoh-gopoh. “Badru, aya naon?” tanyanya. Tak mendapat jawaban, Ki Jalu segera menoleh ke arah Rojali. Ia terperangah saat melihat wajah pemuda itu. Apa yang menjadi pertanyaannya kini terjawab sudah. Titik gelap yang menaungi pikirannya mendadak lenyap. “Ra-raden Arya,” gumamnya dengan tangan yang mulai gemetar. Badru akhirnya merangkak ke arah Rojali. Ia memeluk pemuda itu dengan erat. Tangisnya turun dengan deras. Tubuhnya tak berhenti gemetar walau sesaat. “Maafkan, Bapak. Maafkan, Bapak. Maafkan ....” “Jaga anak kita, Kang,” kata Lina yang kemudi
Baca selengkapnya
151
Gulungan itu perlahan menutup dan memanggil kembali cahaya yang sudah dia ciptakan. Benda itu setelahnya menggelepar laksana ikan yang jauh dari air. Segala usaha yang Ki Jalu lakukan untuk mengeluarkan kujang pusaka itu nyatanya sia-sia.Gulungan berwarna emas itu melayang tinggi dan tak lama setelahnya menghilang. Bersamaan dengan hal itu, kubah gaib yang menaungi desa lenyap.Ki Jalu memelotot dengan amarah yang menggebu-gebu. Matanya nyaris keluar saking emosi melihat hal itu terjadi. Kujang pusaka yang dirinya cari selama ini, ditambah pengorbanannya untuk ritual ini gagal total karena gulungan tadi, padahal ini kesempatan bagus untuknya untuk menyingkirkan anggota terakhir dari Manuk Bodas tersebut.“Naon nu sabenerna geus terjadi (apa yang sebenarnya sudah terjadi)?” tanya Ki Jalu dengan tatapan dalam.Angin kian mengamuk. Beberapa pohon pisang tampak berjatuhan. Genting rumah tak luput dari amukan. Lenguhan hewan ternak terden
Baca selengkapnya
152
Matahari menggeliat dari ufuk timur. Malam yang terasa sangat panjang akhirnya terusir pagi. Di perkampungan Cimenyan, ratusan warga masih tak sadarkan diri, beberapa di antara mereka tak akan bangun kembali untuk selamanya.Kepulan asap masih menyelimuti ke sekeliling, laksana desa sudah ditelan kabut asap tak berkesudahan. Asap tampak mengelilingi Cimenyan atau mungkin keseluruhan Ciboeh, menyandera semua orang di dalam.Ustaz Ahmad adalah orang yang pertama kali sadar. “Astagfirullah,” ujarnya yang dengan segera melirik sekeliling. Ia menyadari bila Lukman dan Ilham masih belum sadarkan diri. “Man, Ilham.”Lukman dan Ilham menggeliat, lalu terbangun tak lama kemudian.Ketiganya menatap dengan pandangan putus asa, tak bergerak dari tempat untuk sementara waktu. Matahari kian bergerak ke sisi barat, tetapi ketiganya masih diam di tempat.“A-apa yang harus kita la-lakukan sekarang, Ustaz?” tanya Lukman.“Ki-
Baca selengkapnya
153
Rojali menggeleng, dan secara tiba-tiba kilasan kejadian tadi malam mendadak bermunculan. Dimulai dari kujang pusaka yang ia terima, pertarungannya dengan Badru, aksi Badru yang mencelakai Kiai, hingga ia tertusuk kujang pusaka. Rojali buru-buru membuka bajunya. Anehnya, tidak ada bekas luka di sana. Ketika menoleh ke arah Badru, secara tiba-tiba runtutan peristiwa kembali hadir. ‘Hentikan, Badru! Rojali ... Rojali ... Rojali itu anak kamu.’ Rojali memegangi kepalanya dengan kuat. Kalimat itu terdengar nyaring di kepalanya saat ini, terlebih ketika yang berbicara adalah Kiai. Rojali mengingat hal itu sebelum dirinya tak sadarkan diri. “Arya,” kata Badru dengan tatapan khawatir, “kamu tidak apa-apa, Nak?” “Jangan mendekat!” pinta Rojali. Tangannya tiba-tiba gemetar ketika mengingat jika ada seseorang yang mengelus rambutnya. Ia sama sekali kesulitan untuk mengenali sosok itu karena wajah orang itu dihalangi cahaya terang. “Arya,” panggi
Baca selengkapnya
154
Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke Ciboeh tiga jam kemudian. Mereka datang dengan rombongan santri laki-laki. Dari kejauhan, mobil dan motor melewati jalan Ciboeh secara beriringan.Ustaz Ahmad sengaja hanya mengajak santri laki-laki saja. Hal ini sebagai antisipasi jika musuh kembali melancarkan serangan. Selama Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke pesantren, hanya Asep dan Ilham yang berjaga di sekitar desa. Keduanya berada di area persawahan.Ketika seluruh santri sudah tiba di desa, Ustaz Ahmad kemudian memimpin doa bersama. Mereka membentuk barisan yang menyesaki jalan hingga ke arah persawahan. Tubuh mereka memang menempel di tanah, tetapi doa dan harapan mereka terbang ke langit.Susana khuysuk mendekap jemaah yang hadir. Bibir mereka menggumamkan ayat suci dan doa pada Sang Mahakuasa. Awan-awan didorong angin untuk menjadi payung guna menghadang panas matahari yang saat ini berusaha merangkak ke puncak.Dengan kekuasan Tuhan, bersamaan dengan doa yang
Baca selengkapnya
155
Kondisi Kiai cukup buruk hingga harus dibawa ke rumah sakit di kabupaten. Setelah melewati masa kritis, sang pemimpin pesantren itu perlahan sadar. Ustaz Ahmad dan Lukman sontak bersujud ketika Kiai mulai membuka mata. Tak lupa ucapan syukur langsung memenuhi ruangan.Ustaz Ahmad segera memeluk sang bapak dengan begitu erat. Air matanya tumpah ruah membasahi pipi, baju dan seprai kasur. Dokter dan Lukman menjauhkan tubuh Ustaz Ahmad untuk memberi ruang bagi Kiai.Bulan tampak menggelayut di langit yang terbungkus gelap. Serangga kecil terlihat mengerubungi lampu di teras ruangan. Tak lama kemudian, terdengar azan subuh saling menyahut di moncong speaker.Ustaz Ahmad dan Lukman membantu Kiai untuk duduk di kasur. Pria tua itu bertayamum, kemudian melaksanakan salat seorang diri di kamar, sedang ustaz Ahmad dan Lukman pergi ke musala untuk menunaikan salat berjemaah.Selesai menunaikan ibadah, Ustaz Ahmad dan Lukman kembali ke ruangan Kiai. Keduany
Baca selengkapnya
156
Rojali dengan cepat menggeleng. Pemuda itu harus segera kembali ke Ciboeh untuk mengetahui keadaan penduduk, terutama Kiai. Ia ingin mengetahui semua kebenarannya dari pemimpin pesantren tersebut.Rojali mulai berjalan di pinggiran sungai. Jika tidak salah, sungai ini akan membawanya ke markas Kalong Hideung. Akan tetapi, dengan kondisinya yang kelaparan dan keletihan, tak mudah untuk mencapai lokasi itu.Matahari mulai mengusir gelap. Pemandangan sekeliling dengan cepat terpampang jelas dalam pandangan. Ketika sibuk menyisir pandangan ke sekeliling, Rojali melihat sebuah gubuk tua yang berada di seberang sungai.“Apa … itu gubuk yang pernah dikatakan Ilham?” tanyanya pada diri sendiri.Rojali memutuskan untuk menyebrangi sungai. Ia melompati satu per satu batu untuk sampai ke seberang. Karena suasana pagi, bangunan tua di depannya saat ini tampak tidak terlalu menyeramkan.Rojali memutuskan untuk masuk. Ia langsung disambut deng
Baca selengkapnya
157
Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang diseret di kedalaman hutan Lancah Darah. Dari arah timur, seorang pria tua tengah berjalan dengan berpegangan pada sebuah tongkat. Peluh membajiri hampir sekujur tubuhnya yang penuh luka. Di tengah cicitan burung yang bertengger di dahan pohon, nyatanya napas Ki Jalu terdengar terputus-putus.Ki Jalu mengerang bak kerbau yang hendak disembelih. Tubuhnya bergetar beberapa kali hingga pada akhirnya ambruk ke tanah. Napasnya terengah bak ikan yang jauh dari air. Matanya perlahan tertutup seiring dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.“Badru,” lirih Ki Jalu yang tak lama kemudian tak sadarkan diri.Dari arah markas, Badru tampak menuruni tangga batu ketika melihat sesuatu yang mencurigakan dari dalam hutan. Saat mendekat, ia dibuat terkejut ketika melihat Ki Jalu terbaring dengan kondisi tak sadarkan diri.“Bapak.” Badru langsung memeriksa keadaan Ki Jalu. Pria paruh baya itu tercengang ket
Baca selengkapnya
158
Langit sudah bersolek mega ketika Ustaz Ahmad, Lukman, Ilham dan Asep mulai memasuki jantung Lancah Darah. Perjalanan mereka sempat terganggu karena kendaraan yang tiba-tiba mati di tengah jalan. Butuh waktu beberapa jam hingga mobil kembali bisa melaju.Ilham memimpin jalan di depan. Ketiga orang di belakangnya sempat disergap ketakutan ketika memasuki Lancah Darah. Tempat ini memang terkenal sebagai hutan angker, baik karena masalah gaibnya maupun perkara cerita mayat-mayat tanpa identitas yang dibuang di lokasi ini. Kengerian itu masih hinggap sampai saat ini, terlebih malam hampir saja tiba.Keempat pria itu tengah menyusuri sungai, berjalan dengan penuh kewaspadaan.“Tempat itu adalah markas Kalong Hideung.” Ilham menujuk bagunan yang tampak kecil dari jarak mereka saat ini. “Saya dan Rojali sempat memasukinya di saat Kalong Hideung berkumpul untuk merencakan ritual.”“Apa ada kemungkinan kalau Rojali ada di sana?”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status