All Chapters of Kafan Hitam: Chapter 181 - Chapter 190
198 Chapters
159
Di pelataran puskesmas, Euis tiba-tiba menjerit karena melihat beberapa warga mulai terbangun, kemudian disusul oleh penduduk yang lain. Gadis itu duduk dengan wajah yang ditutup oleh kedua tangan. Pipinya sudah dibanjiri air mata karena tak kuasa menahan sedih dan bahagia. Sesaat setelah doa bersama yang diselenggarakan para santri selesai, kondisi warga Ciboeh mulai menunjukkan perubahan. Kabar mengenai masalah yang menimpa warga Ciboeh dengan cepat tersebar ke desa tetangga, bahkan kabupaten berbeda. Berita yang tersiar hanya merujuk pada bencana alam sesuai keterangan awal polisi, bukan pada ritual yang dilakukan Kalong Hideung. Bantuan mulai berdatangan. Pihak kepolisian, pemerintah kecamatan dan kabupaten serta beberapa media datang ke Ciboeh untuk melihat keadaan desa. Beberapa di antara mereka juga sempat menjenguk keadaan warga saat siang. Hanya saja untuk malam ini, kedatangan pihak kepolisian nyatanya terhalang cuaca ganas yang mengamuk semenjak sore.
Read more
160
Ketika pertanyaan itu terlontar, pintu ruangan kembali terbuka. Kiai Mukhsin muncul dari celah yang ada. Ustaz Ahmad segera menyalami sahabat sang bapak, kemudian membiarkan kursinya untuk diduduki.“Alhamdulillah, saya senang kamu sudah kembali, Ahmad. Bagaimana dengan Rojali?” tanya Kiai Mukhsin.“Atas pertolongan Allah dan doa dari semuanya, kami berhasil membawanya pulang, Kiai. Hanya saja kondisinya masih belum sadar.”Kiai Mukhsin mengangguk.“Bagaimana perjalanan kalian? Apa Kalong Hideung menyerang kalian?” ulang Kiai.“Kalong Hideung sama sekali tidak menyerang kami saat di Lancah Darah,” jawab Ustaz Ahmad, “menurut keterangan Asep, salah satu temannya yang bernama Ujang yang merupakan anggota Kalong Hideung tiba-tiba menghilang dan berubah jadi abu. Kemungkinan anggota Kalong Hideung yang lain ikut mengalami hal serupa.”“Astagfirullahaladzim,” ucap Kiai Rohmat
Read more
161
“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Rojali?” tanya Kiai sembari duduk di kursi, dibantu oleh Ustaz Ahmad dan Lukman. Deru napas pria tua itu terputus-putus layaknya baru saja berlari maraton.“Saya baik-baik saja, Kiai,” jawab Rojali seraya menunduk takzim. Pandangannya tertuju pada kepalan tangan yang berada di bawah selimut. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.“Ahmad, Lukman,” ucap Kiai tanpa menoleh pada orang-orang yang disebut.Ustaz Ahmad dan Lukman serempak mengangguk, lalu memilih meninggalkan ruangan. Keduanya bisa tahu maksud Kiai hanya dengan ucapan tersebut.Kini, ruangan hanya diisi oleh Rojali dan Kiai. Keheningan lebih dahulu mendekap sebelum obrolan selanjutnya akan kembali terjadi. Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali angin menerjang, menerbangkan dedaunan dan ranting. Sebagian di antaranya mengenai jendela kamar inap, menimbulkan suara yang tidak enak didengar.“Ada hal yang
Read more
162
Lukman dan Ustaz Ahmad tengah berada di pelataran masjid. Keduanya duduk bersebelahan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan sudah mulai reda dan hanya meninggalkan titik-titik gerimis. “Saya ... benar-benar tidak menyangka kalau Rojali akan mengalami hal yang sesulit ini, Ustaz,” ujar Lukman dengan pandangan yang tertuju pancuran kecil di depannya. Ustaz Ahmad mengembus napas panjang. “Itu ... semua merupakan takdir yang sudah Allah gariskan untuk Rojali, Man.” “Kenapa Rojali harus terlahir dari benih orang sejahat Badru?” Lukman mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Hatinya benar-benar panas dan sesak oleh kemarahan dan ketidakpercayaan. “Istigfar, Man. Allah sudah menggariskan hal demikian untuk Rojali dan mau tak mau dia harus menerimanya,” susul Ustaz Ahmad. “Bagaimana ... kalau misalnya Rojali memilih bergabung dengan bapaknya yang jahat, Ustaz? Saya benar-benar takut kalau sampai itu terjadi.” Ustaz Ahmad menghela napas pan
Read more
163
Rojali kontan mendongak ketika mendengar kabar tersebut. Ia hanya bisa mengucap kalimat istirja dalam gumaman. Asep mulai bercerita, “Sebagaimana yang Ustaz tahu, Ujang hilang secara misterius sekitar lima tahun yang lalu. Warga desa sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan. Tapi, Ujang sama sekali tidak ditemukan. Pada kenyataannya, Ujang ditemukan oleh Kalong Hideung di Lancah Darah sekitar lima tahun lalu. Ujang terpaksa bergabung dengan Kalong Hideung untuk menyelamatkan nyawanya yang terancam. Dia sama sekali tidak bisa kabur dari mereka karena sudah tersandera oleh ritual kafan hitam. Singkat Cerita, tiga tahun kemudian, Ujang bertemu dengan Mbah Atim. Mbah Atim membantu Ujang untuk melepaskan diri dari ritual kafan hitam. Hanya saja, hal itu harus dilakukan secara berulang-ulang hingga dua tahun lamanya sampai akhirnya Ujang bisa bergerak bebas selama satu minggu dari pengaruh ritual tersebut.” Rojali hanya diam dengan pandan
Read more
08 - Kafan Hitam (Part 1)
Ciboeh, 1988“Ini ... tulisan Kang Ujang,” ujar Romlah dengan tatapan tak percaya.Romlah buru-buru mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wanita itu menoleh ke arah pintu yang hanya ditutup tirai lusuh, lalu kembali mengamati isi tulisan.*****Romlah, ini AkangMaafkan Akang kalau kepergian Akang membuat kamu khawatirAkang baik-baik saja sekarangAkang sekarang berada di tempat yang jauhAkang tidak bisa pulang sekarang Tolong jaga anak kita, RojakJangan beri tahu siapa pun soal Akang yang mengirimu kamu surat *****Romlah menangis setelah membaca surat tersebut. Bahunya berguncang kuat beberapa saat. Wanita itu dengan cepat menyimpan kertas tersebut ke dalam lemari, lalu segera berbaring di kasur. Ada senyum dan tangis di wajahnya saat ini.Romlah tertidur pulas dan terbangun saat pagi menjelan
Read more
08 - Kafan Hitam (Part 2)
“Mbah Atim?” Mak Iyah tiba-tiba saja menjatuhkan buku dan surat Ujang.“Ka-kamu ... kamu yakin, Romlah?” tanya Mak Iyah setelah hening beberapa saat.Romlah mengangguk. “Malam tadi, Mbah Atim yang memberikan suarat itu pada saya. Mak.”“Ta-tapi apa hubungannya Ujang dengan Mbah Atim?” Mak Iyah beranjak menuju jendela, mengamati tetes hujan yang bejatuhan di halaman. Tampak di jalan Aep dan Asep tengah berlari.“Saya tidak bohong, Mak.” Romlah ikut berdiri, menyakinkan.Mak Iyah memijat kepala yang mendadak terasa pening. Embusan napasnya terdengar panjang dan lemah. Wanita paruh baya itu benar-benar bingung harus bertindak apa saat ini. Akan tetapi, ia tentu tidak boleh berdiam diri, harus ada sesuatu yang dirinya lakukan.“Kamu yakin?” tanya Mak Iyah lagi.“Yakin, Mak.”Mak Iyah tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Romlah, terlebih d
Read more
08 - Kafan Hitam (Part 3)
Mbah Atim duduk bersila, menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian. “Apa yang ingin kalian tahu soal Ujang?”Mak Iyah melirik Romlah sekilas, lalu menjawab, “Romlah ... Romlah bilang kalau dia mendapat surat dari Mbah. Apa itu benar?”Mbah Atim menoleh pada Romlah beberapa saat. “Benar. Saya yang mengirimkan surat itu.”“Apa ... be-benar kalau surat itu dari ... Ujang?” selidik Mak Iyah sembari menyeka keringat.“Benar,” sahut Mbah Atim sembari menatap Romlah dan Mak Iyah bergantian.“Di mana Ujang sekarang, Mbah? Kenapa Ujang bisa me-menitipkan surat itu sama Mbah? Apa Ujang—”“Ujang berada di tempat yang sangat jauh,” potong Mbah Atim sambil memelotot. “Dia belum bisa pulang karena masih harus menyelesaikan sebuah tugas.”Mak Iyah dan Romlah saling melempar tatapan. Keduanya takut bukan main saat melihat pelototan itu. Akan tetapi, ras
Read more
08 - Kafan Hitam (Part 4)
Bulan sabit tampak menggantung di langit malam. Pekatnya Lancah Darah, sedikit berbanding terbalik dengan sebuah bangunan yang berada di atas bukit yang kini diterangi oleh cahaya obor.Anggota Kalong Hideung tengah berkumpul di markas utama saat ini.“Bagaimana hasil pencariannya, Kos?” tanya Ki Jalu.Engkos yang berdiri paling di antara anggota Kalong Hideung yang lain segera menjawab, “Kami tidak menemukan kotak itu di Desa Batu Belah, Ki.”“Kamu yakin, Kos?” selidik Ki Jalu.“Kami sudah mencari selama tiga tahun di sana, Ki. Dari mulai hutan, sawah, sampai perumahan warga,” terang Engkos, “kami bahkan mengulang pencarian hingga lima kali. Namun, hasilnya tetap sama.”Ki Jalu mengembus napas panjang, lalu mencoret satu titik dengan tanda silang di kertas yang tengah dipegangnya. Pandangan kakek tua itu seketika tertuju salah satu titik yang tersisa. “Kalau begitu, kita akan
Read more
08 - Kafan Hitam (Part 5)
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,
Read more
PREV
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status