All Chapters of Dilema Suami Bayaran : Chapter 21 - Chapter 30
38 Chapters
20. Pertunjukan Hidup
Barra bangkit, ingin sekali ia mencari Hiro dan menghabisinya saat itu juga. Akan tetapi itu tidak mungkin, Alby dan Ervi lebih butuh bantuannya. Barra meremas abu bekas rumah makannya. Ia menyumpahi Hiro akan menyesali segala kesalahannya di akhir hidupnya.Barra sangat marah. Hiro memang salah satu manusia berhati iblis. Tidak berperikemanusiaan, Bahkan ia dengan bangga mengungkapkan bahwa dirinyalah penyebab rumah makan habis di lahap si jago merah.Barra usap air matanya dengan punggung tangan. Meninggalkan warna kehitaman bekas arang yang melekat di tangan tadi.Barra kacau, ia terpukul. Berlari kembali menuju klinik Flamboyan."Er ... apa yang terjadi?! Bagaimana kondisi Alby?! Kenapa tidak menelepon Uda sejak pagi?" Barra Farzan memberondong Ervi dengan pertanyaan saat sampai di klinik.Ervi tengah duduk dan menangis tanpa suara. Gadis itu masih saja sesenggukan, tidak menjawab pertanyaan sang kakak."Katakan pada Uda, apa yang sebena
Read more
21. Berperang (21+)
Warning ❗ "Terima kasih, Annisa. Nanti aku akan ganti uangmu," kata Barra Farzan setelah Annisa berbaik hati membayar kerugian yang harus Barra Farzan tanggung. "Nggak perlu, aku kira kamu pergi ke mana, sudah beberapa hari sulit dihubungi. Hampir seminggu kamu nggak dateng ke rumah.Ternyata bekerja di sini? Kenapa harus jadi kuli?" Barra mengangguk. "Aku nggak punya pilihan lain. Ngomong-ngomong, kamu kemari dengan siapa?" "Dengan Ken dan Bi Sumi. Mereka lagi belanja di dalam. Aku ingin makan rawon yang ada di pasar ini, tapi aku mau makannya di rumah. Jadi Ken nunggu pesanan selesai dibungkus, dan Bi Sumi sedang belanja daging di dalam." "Ooh ... begitu." Barra Farzan bahagia, Annisa tampak seperti orang normal. Artinya ia bisa segera melepaskan diri dari perempuan tersebut. Untuk segala risiko yang akan dihadapi, Barra Farzan pikirkan nanti saja. Yang memberatkan ia bertahan dengan Annisa adalah, karena perempuan tersebut sangat membutuhkan orang-orang yang peduli dengannya.
Read more
22. Tawaran
Annisa tersenyum sambil menyisir rambutnya yang basah. Perempuan tersebut memerhatikan Barra Farzan yang baru bangun dengan ekspresi bingung. Segala sesuatu yang datang dari Barra Farzan, selalu saja membuat Annisa bahagia.Barra masuk ke dalam kamar mandi, tidak sampai sepuluh menit sudah keluar dengan rambut basah dan dua handuk ia tutupkan ke seluruh tubuh. Takut jika sampai Annisa akan kembali mengajaknya bergulat."Apa masih ada pakaianku di sini?" Tanya Barra Farzan.Annisa berdiri, membuang handuk yang menutup dada bidang Barra Farzan. Alarm bahaya langsung berdering di otak Barra Farzan."Annisa, adikku membutuhkan aku, apa kau bisa mencarikan pakaian untukku? Aku harus segera ke rumah sakit." Ucap Barra,"Sebentar sayang, aku hanya ingin memelukmu sebentar saja."Annisa mulai mengecupi dada sampai leher, juga sekilas mengecup bibir Barra. Tidak puas begitu saja, Annisa berhenti di bagian leher, mengecup lama bagian itu. Lalu, Annisa
Read more
23. Mengusik Aksi Barra
Hari telah berganti dengan Minggu, Alby sudah kembali dari rumah sakit, begitu juga dengan Astrata Bustomi yang ikut berkumpul setelah sekian hari ia habiskan untuk menunggui Abbas Bustomi sang ayah di rumah sakit. Seluruh keluarga Farzan berkumpul di ruang tamu, kecuali Neini sang Ibu. Beliau tidak boleh dibiarkan mendengar kabar apapun tentang hancurnya usaha sang anak.Barra Farzan memijat pangkal hidungnya sebelum mengeluhkan uneg-uneg yang sangat mengganggu pikiran. "Sepertinya Alfa Zen sudah memblack list namaku dan menyebarkan ke seluruh perusahaan yang ada kota ini, sampai toko kecil pun menolak tenagaku."Ervi dan Alby menatap miris sang kakak, tidak tahu bagaimana nasib keluarganya nanti kalau sampai sang pemimpin kehabisan bahan bakar untuk berlayar.Astrata merangkul bahu Barra Farzan, mengusapnya penuh kasih sayang. Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi, ia memiliki ketegaran dan kasih sayang yang luar biasa. Bahkan ia menerima Barra Farzan dengan semua masa
Read more
24. Jebakan
Saat semua pekerjaan rumah sudah diselesaikan, sekitar pukul delapan, Barra Farzan beserta Alby dan Astrata pergi keluar rumah guna mencari tempat untuk mereka membuka usaha baru. Astrata berseru sebelum kakinya melangkah naik ke vespa tua milik sang suami."Alby, kau pesan ojek online dengan tujuan dealer Honda yang ada di jalan Kenangan. Kami tunggu di sana."Barra menoleh dengan ekspresi tidak datar, "Tidak perlu, kita langsung saja ke pertokoan yang ada di jalan Kaki Lima."Astrata menghentakkan kaki yang sudah akan melangkah naik, ia tampak kecewa dengan penolakan Barra. Hingga beberapa menit, Alby memandangi sepasang suami istri yang berseteru hanya karena masalah pembelian kendaraan. Walau, tetap Barra Farzan yang mengalah.Ketika sampai di dealer Honda, Alby diminta oleh Astrata memilih sebuah motor dengan keinginannya. Tanpa banyak memilih, Alby langsung menunjuk satu motor Honda yang memiliki desain mirip dengan vespa namun lebih girly dan tentunya jauh dari kata antik jikal
Read more
25. Cemburu
Begitu sampai di kampus, Ervi langsung menuju loker akademik, menanyakan hal-hal yang disebutkan di telepon tadi. Matanya terbelalak ketika pihak kampus sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Ervi, lalu ia menghubungi Barra Farzan. "Ada apa, Er?" "Maafkan aku, Uda. Aku pergi ke kampus meninggalkan Ibu sendiri di rumah. Tadi ada seseorang yang menghubungi nomor ponselku, dia mengatakan ada hal yang perlu aku urus di akademik. Ternyata, saat aku menanyakan pada pihak kampus, pihak kampus justru terlihat bingung dan tidak paham dengan ... ." Barra Farzan memutus sambungan telepon begitu saja, ia sudah bisa menebak siapa gerangan yang meneror Ervi. Barra berbalik arah, mengurung niatnya untuk mencari tempat usaha baru. "Kita mau kemana? Bukannya kita akan pergi ke jalan Kaki Lima?" Pikiran Barra sudah dirundung seringai licik Hiro dan kemalangan Neini. Barra melaju penuh kecemasan. Sampai-sampai tidak kuasa menjawab pertanyaan Astrata. Gadis itu segera memukulkan telapak tangannya k
Read more
26. Perceraian
Sehari kemudian, Neini baru sadarkan diri. Sorot mata sayu dan tua mengabsen satu per satu. Semua tampak di pandangan. Anak dan menantunya masih setia menunggu dengan raut wajah lelah juga lesu. Neini menarik napas panjang untuk memberi sedikit ruang di dada yang terasa agak sesak. "Alby, Ibu mau minum." Mintanya, menyentuh tangan Alby yang paling dekat dengan ranjang. Suara itu bagai toa yang mengejutkan. Mereka kompak berdiri dan mendekat. Menanyakan kondisi sang Ibu yang masih tampak jelas lemahnya. "Ibu sudah sadar, syukurlah. Biar Barra panggilkan dokter dulu." Barra berbalik, Alby mengambil minum. Lalu Ervi dan Astrata memijat Neini. Neini menggeleng, lalu berkata, "Tidak perlu. Ibu hanya ingin minum." Barra berhenti dan kembali duduk. Menunggu Alby membantu Neini untuk minum. "Ibu ingin bicara dengan Barra. Hanya dengan Barra." Neini menatap Barra Farzan. Setelah semua keluar, Neini mulai melempar tanya pada anak sulungnya itu. "Siapa Hiro?" Dua kata yang membuat Barra
Read more
27. Romantis (Harap bijak dalam membaca)
(Mohon skip untuk anak di bawah umur) Barra mengangkat telepon masuk. "Ada apa, Sayang?" "Kakak di mana? Kalo nggak sibuk, jemput aku di rumah.” “Loh, kamu sudah pulang?” “Bukan pulang sebenarnya, Kak. Tadi pas dokter bilang kondisi Ibu sudah stabil, aku pamit mengurus administrasi. Terus aku pergi ngambil uang. Pas keluar dari ATM, eh, malah hujan. Bajuku basah kuyup, Kak. Ini barusan selesai mandi.” “Aku pulang sekarang.” Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi. Kebaikannya seolah semakin bercahaya. Selalu saja menjadi jalan keluar untuk keluarga Barra yang berada di titik bawah. Selain merasa sakit sendiri, Barra juga malu karena ia belum bisa memberi apa pun untuk Astrata. “Aku mulai semua dari sini, Sayang. Aku janji nggak akan salah langkah lagi.” Barra melajukan Vespa menuju rumah. Di tengah jalan, hujan kembali turun. Mengguyur tubuh Barra yang berlumur dosa. Barra menangis, menyesali semua perbuatan konyol yang ia lakukan. Menyakiti empat perempuan sekaligu
Read more
28. Musibah
Ketika sampai di rumah, Barra segera menyambar kunci Vespa. Namun, saat tangannya sudah menempel pada knop pintu, ponselnya berdering keras. Cepat Barra merogoh tas dan menarik benda tersebut dari dalam. Awalnya ia mengira si penelepon adalah seseorang yang hendak mengabarkan keberadaan Astrata istrinya.“Alby ... ?” gumam Barra sedikit kecewa.“Uda di mana? Kak Berli ponselnya nggak bisa ditelepon. Padahal tadi dia bilang pulang sebentar mau ambil uang. Buruan ke sini, cepat ya, Da. Jangan lupa bawa uangnya, kasihan Ibu.”Belum sempat dijawab oleh Barra, Alby sudah memutus sambungan telepon. Barra mengingat semua kalimat Astra sore tadi, ia pun kembali ke kamar mencari uang dari Astra. Hatinya mendadak nyeri mengingat betapa baiknya sang istri terhadap keluarganya. Namun, itu bukan saat untuk menyesali semua kejadian. Barra harus secepatnya membawa uang itu ke rumah sakit agar Neini segera dirawat intensif.Barra melajukan kendaraan membelah gerimis bersama sesal yang tiada berujung.
Read more
29. Bonus
Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status