Lahat ng Kabanata ng Istri Kakakku Selalu Menangis: Kabanata 11 - Kabanata 20
22 Kabanata
Part 11
PART 11 Tak terasa sudah satu bulan aku tinggal di tempat ini. Sudah mulai terbiasa dengan rumah tangga aneh Kak Heru dan Mbak Rena. Aku pun makin hafal jalan daerah sini, sudah sering bepergian sendiri naik motor. Kadang diminta mengantar beras barang sekarung dua karung. Aku selalu tersenyum kala melewati universitas kota ini. Tahun depan aku akan kuliah di sana.  Sekarang sedang menikmati waktu kebebasan tanpa harus belajar dan bikin tugas yang bikin pusing. Tahun depan, aku sudah benar-benar siap memeras otak untuk belajar lagi. Bayangan wajah Ayah dan Ibu makin membuat semangat. “Neng, beras satu karung.”  Aku terkejut melihat wanita paruh baya yang ingin membeli beras satu karung. Heran bukan sembarang heran, tapi karena baru beberapa hari yang lalu ia ke sini dan membeli sekarung beras. Tak mungkin secepat itu habisnya. Apa mungkin di rumahnya banyak orang? Entahlah. 
Magbasa pa
Part 12
Baru beberapa langkah kakiku berjalan, keributan itu kembali berlanjut. Suaminya marah dan si ibu tak mau kalah. Berbagai alasan selalu dilontarkan, bakal perang dunia ini kayaknya. Aku menggaruk pucuk kepala. Tapi, kalau dipikir benar juga. Beras sudah sebanyak itu malah beli terus. Apa ibu itu punya sakit pelupa akut?    “Kalau bukan kamu yang salah, terus siapa? Apa si penjual beras sudah pakai penglaris? Tuyul? Pocong?” Suara lelaki itu meninggi.    “Mana mungkin! Ibu lihat dia sering sedekah ke pengemis jalanan.”    Aku masih mendengar perdebatan mereka dari depan. Sejenak, aku terdiam. Mengapa lelaki itu sampai melontarkan tuduhan yang tidak-tidak? Mana mungkin Kakak memakai hal begituan. Waktu mengobrol dengan Mas Parno saja ia menolak keras tentang jimat penglaris usaha. Tid
Magbasa pa
Part 13
PART 13  “Siti, Kakak mau antar beras dulu. Kamu jaga toko. Kalau Mas Parno datang, gak usah kamu ladenin. Dia agak sakit jiwa dengan semua jimat-jimatnya itu,” kata Kakak sebelum ia pergi mengantarkan beras. “Iya, Kak. Lagian aneh, zaman sekarang masih main begituan. Kakak juga ngapain akrab sama dia, enggak guna,” umpatku kesal. “Husst! Gak boleh gitu. Dia pelanggan kita walaupun ses4t juga.”  Aku hanya duduk sambil menatap mobil pick up Kakak pergi ke arah selatan. Mobil itu penuh dengan karung beras. Entah ke mana saja rute yang akan ditempuhnya. Benar saja, tak berselang lama Mas Parno datang. Kali ini ia hanya membawa motor, mungkin memang tak mau belanja. Cuma mau menemui Kakak untuk mengobrol biasa. “Mana Kakak kamu?” tanyanya sesaat turun dari motor. &ldquo
Magbasa pa
Part 14
Brak! Brak!    Suara berisik terdengar dari gudang beras. Duh, jangan-jangan beras pada berjatuhan lagi. Mana Kakak belum pulang lagi, apa mobilnya macet atau ada masalah apa di jalanan. Setiap ada keributan, Mbak Rena tak pernah perduli. Ia tetap berdiam diri di dalam kamarnya.    “Suara apaan? Apa suara maling?”     Cepat-cepat kutinggalkan toko dan menuju gudang beras. Pintunya memang tak dikunci kalau siang karena Kakak sering masuk untuk ambil beras. Setelah pintu terbuka, tak ada kekacauan apa-pun. Semua tampak biasa-biasa saja.     “Mana suara beras jatuh tadi, ya? Kok, enggak ada.” Aku terus berjalan memeriksa ruangan.     Karena lelah, aku d
Magbasa pa
Part 15
PART 15 “Masuk, Nduk Siti.”  Aku pun mengikuti Bude Ratmi dan Yani masuk ruang tamu. Pikiranku kacau tak menentu. Jangan-jangan Kak Heru memakai jasa tuyul atau penglaris. Entah mengapa pikiran itu seolah menghantui, apalagi desas-desus sudah banyak terdengar.  “Ada masalah apa?” tanya Bude Ratmi serius. “Enggak tahu, Bude. Nanti malam Siti boleh pinjam motor gak? Mau pulang sebentar.” “Oh, boleh. Jangan sendirian, berdua sama Yani biar ada kawannya.” “Alhamdulillah, makasih, Bude.”  “Sekarang solat magrib dulu, ayok! Nanti habis makan malam, kalian pergi.” “Iya, Mak. Nanti Yani akan temenin Siti pulang,” sahut Yani.  Hari memang sudah gelap, terdengar suara azan dari masjid. Sejenak, kutenangka
Magbasa pa
Part 16
“Kecelakaan yang sering terjadi apakah ada hubungannya kalau orang memakai ilmu hitam?” tanyaku pada Bude.    Bude diam, ia tampak bingung menatap langit-langit rumahnya.     “Bude tak tahu soal itu. Kamu cari tahu, pelan-pelan selidiki.”     “Siti mau berangkat sekarang,” pintaku.    Bude mengangguk, ia memerintahkan Yani untuk mengantarkanku dengan sepeda motornya. Sepanjang jalan, kami tak banyak berbicara. Sepertinya Yani takut setelah mendengar obrolan di rumahnya tadi. Apa ia juga jadi takut denganku? Tak berselang lama, kami telah sampai. Mengapa toko gelap sekali. Tak dihidupkan lampunya, padahal tetangga lain rumahnya terang.    &ldqu
Magbasa pa
Part 17
PART 17 HAPPY READING.   Seusai salat subuh, aku merasa pusing. Bayangan kejadian tadi malam membuat kesal sekaligus tegang. Setelah berpikir panjang, aku mengajak Yani pulang ke rumahnya tadi malam. Dengan keyakinan kalau semua akan baik-baik saja, sebuah keributan itu tidak akan mencelakakan salah satu dari kakak atau Mbak Rena.  “Kamu gak pa-pa?” tanya Yani khawatir. “Enggak, kok.” “Sebenarnya kejadian tadi malam itu aib keluarga, semoga kamu tak memberi tahu siapapun. Hanya kamu dan Bude Ratmi yang tahu. Tolong rahasiakan dan jangan takut denganku,” ucapku sambil menatap wajah Yani lekat-lekat.  “Iya, aku gak akan. Kamu dalam masalah besar, selidikilah. Kalau ada apa-apa hubungi nomorku atau langsung datang ke sini. selama Allah di hati, kamu akan selamat.” &l
Magbasa pa
Part 18
Jangan-jangan semua isi plastik di sana itu adalah janin yang diaborsi. Ya Allah! Siapa pelakunya? Jangan-jangan Mak Pia itu dukun aborsi! Entah mengapa pikiran negatif itu langsung menghampiriku. Saat ini aku sangat mengkhawatirkan nasib Mbak Rena.              Apa mungkin ia datang untuk menggugurkan janinnya? Gila, sungguh gila! Kresek itu kubawa berlari ke rumah Mak Pia. Ngos-ngosan karena lelah pun tak kuperdulikan, dalam kepala hanya ada keselamatan Mbak Rena.             “Aduh! Pintu terkunci lagi.”        &nb
Magbasa pa
Part 19
PART 19  Kami pulang ke rumah setelah melewati kejadian menjengkelkan itu. Mbak Rena kumaki habis-habisan dan tak segan-segan kuancam layaknya seorang narapidana. Ia tak melawan, hanya diam sambil menangis. Mungkin menyesali diri atau mungkin menyesal telah membawaku ikut ke tempat terkutuk itu. Sangat tak mampu diterima akal sehat, perbuatan yang bejat moral. Makin berat saja tugasku harus pula menjaga kandungan Mbak Rena. aku sangat tidak ikhlas kalau bayi itu digugurkan. Sungguh, tak akan segan melaporkan ke pihak berwajib.  “Ingat, Mbak. Kalau berani macam-macam lagi, Siti tak segan melaporkan kalian berdua ke polisi!” ancamku. “Mbak sadar kalau salah. Maafkan, ini tidak akan terulang kembali.” Mbak Rena menyahut saat motor sudah di depan toko. Kami turun dan melihat Kakak sedang duduk manis. Tatapan mata mereka bertemu, seketika aku
Magbasa pa
Part 20
Tiba-tiba firasatku tak enak, segera kubaca ayat kursi sebanyak-banyaknya dalam hati dan memohon perlindungan dengan Allah. Mataku berkedut-kedut tak karuan. Filosofi orang dahulu, artinya akan menangis. Aku jadi takut dan gelisah.    “Siti, kamu antarkan kacang tanah ini ke rumah Bi Inah.” Kakak menyerahkan kantong berisi kacang tanah.    Tak berat, mungkin hanya sekitar tiga cupak. Bi Inah adalah wanita penjual peyek, aku pernah beberapa kali diminta Kakak mengantarkan kacang tanah ke rumahnya. Tak jauh, seberang jalan dan masuk gang sedikit.     “Iya, Kak.”     Aku berjalan untuk menjalankan perintah Kakak, tapi entah mengapa ia terus menatapku tanpa henti. Tak berkedip dengan wajah sendu. Aneh. Lalu, ia segera
Magbasa pa
PREV
123
DMCA.com Protection Status