Lahat ng Kabanata ng Aku istrimu suamiku: Kabanata 21 - Kabanata 30
82 Kabanata
Pendapat lainnya
"Saran gue jangan cerai," ucap Tya saat keduanya duduk di teras kafe rumah sakit tempat Tya bekerja. Keduanya janji temu karena Dena akan medical check up, ia keterima kerja di tempat lamanya lagi dengan jabatan sama, Aspri, atau asisten pribadi CEO kantor itu. Seorang pria usia 45 tahun yang memiliki keluarga harmonis. Dena kenal istri juga anak-anak pria itu, semua baik dan menghormati Dena. "Kenapa emangnya?" tanya Dena saat ia masih menunggu satu jam lagi untuk mulai pemeriksaan. "Ya enak di Kanti, lah! Gue sih, nggak ikhlas temen gue di giniin. Bima, laki gue dan mencak-mencak ke Tara kalau lo mau tau, Dena. Bima juga nggak terima lo di giniin. Dan, pendapatnya sama, minta elo jangan cerai gitu aja. Ruginya double." Tya menyeruput kopi hangat miliknya sejenak sebelum lanjut bicara. "Lo kasih unjuk siapa lo, Dena, selama ini lo di injak-injak mereka, kan? Ini saatnya lo buktiin siapa lo. Dan, lo tau, Tara dipanggil orang HRD kantor, posisinya turun, buk
Magbasa pa
Malarindu
"Lo kenapa? Kaget banget tau gue mau ke Yogya, lagian gue kerja di sana." Celetuk Argi saat keduanya duduk di sofa ruang tamu rumah orang tua Dena. Sedangkan Dena cekikikan sendiri melihat dua manusia yang sepertinya, mendadak saling naksir."Biasa aja sih, sebenernya, kaget doang." Guman Saski sambil memaksa senyum. Kepalanya pusing, sudah dua hari ia mengabaikan rasa sakitnya itu."Gaya-gayaan sih, lo, nggak bisa pecicilan malah ikut jadi panitia. Demam kan," ujar Argi sembari menempelkan punggung tangannya ke kening Saski yang reflek memundurkan tubuhnya."Jangan pegang-pegang." Nyolot Saski."Ck. Bentar doang," paksa Argi menarik tangan Saski sehingga memajukan posisi duduknya lagi. "Panas banget, Sas, ke dokter ya, gue antar."Saski menggelengkan kepala, ia malas ke dokter, pasti banyak minum obat. Ia selalu menolak hal itu."Ke dokter sana,
Magbasa pa
Mendampingi pak galih
Suara sepatu hak tinggi yang dikenakan Dena mengiringi langkahnya berjalan tegap di belakang pak Galih, hari itu, tepat satu minggu sudah ia bekerja di perusahaan besar yang semua orang baik kepadanya. Pak Galih meminta Dena ikut dengannya menghadiri rapat yang seharusnya, sudah dilakukan dua hari lalu, namun, berhubung anak sulung bos-nya itu sakit karena jatuh saat sedang olahraga basket sehingga kakinya terkilir, mau tak mau, pak Galih memundurkan jadwal rapat penting itu."Semua sudah siap, kan, Dena?" tanyanya."Sudah, Pak, sesuai yang Bapak minta." Jawabnya tegas. Dena berjalan sedikit cepat, ia membukakan pintu ruang rapat yang ada di lantai dua puluh satu gedung itu, sudah banyak orang menunggu, Dena segera kembali berjalan di belakang pak Galih dan duduk sedikit pojok kanan belakang kursi yang ditempati bos-nya itu. Ia mengeluarkan tablet, juga alat perekam. Pak Galih selalu membebaskan Dena bekerja dengan cara wanita i
Magbasa pa
Bertemu lagi
Semalam, saat Dena kembali pulang ke rumah, kedua orang tuanya curiga dengan wajah sembab putrinya. Setelah ditanya juga didesak, Dena akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, papa segera menelpon Prabu, untuk mendaftar surat cerai putrinya. Dena menolak, ia tak ingin bercerai sebelum bisa mendengar pengakuan Tara jika ia tak mencintainya lagi. Sayangnya, hati orang tua yang sudah terluka, tak bisa Dena halau. Hanya air mata yang bisa Dena tumpahkan sambil memeluk mamanya yang juga terisak pilu.Tragis, nasib putri yang ia kandung, lahirkan, dididik dengan baik hingga besar, giliran tiba dipinang seorang pria, disakiti dengan mudahnya, oleh keluarga sang pria. Keterlaluan. Dena akhirnya pasrah, ia melepaskan semua ke Omnya saja. Prabu yang sudah tau duduk perkara, segera mendaftarkan gugatan cerai itu.Ia menatap pantulan dirinya pada spion tengah mobil, jam tujuh tiga puluh, ia tiba di toko roti perancis yan
Magbasa pa
Staf penting
Bibir Dena terkatup rapat. Bahkan saat menikmati makan siang masakan jepang itu, ia tak bersuara satu kata pun. Hal itu membuat pak Galih bingung, tapi sungkan untuk bertanya ke asprinya itu. Istri pak Galih tidak ikut makan siang, setelah mengantar obat dan vitamin, ia bergegas pergi karena harus ke sekolah anak keduanya yang masih SMP kelas tiga. Ya... bisa dikatakan pak Galih dan istrinya memang terlambat menikah, pasalnya, di masa lalu, keduanya merupakan rival di perusahaan yang sama dengan nama berbeda. Sama-sama menjabat CEO sehingga melupakan kisah asmara. Alhasil, setelah istri pak Galih merasa jika ia sudah saatnya menikah, seketika, pak Galih langsung melamar, yang ternyata, kedua sudah saling suka sejak lama. Lucu, kadang tanpa di sadari, cinta dan jodoh sedekat itu."Dena, bisa kamu hubungi orang HRD, bilang kalau dua hari lagi, Adim resmi bekerja di kantor kita, masuk departemen keuangan sebagai kepala audit intern."
Magbasa pa
Yang ada dibenak
Pov Adim. Terpikir olehku, siapa dia? Di mana aku pernah ketemu, ya? Dan, setelah langkah kakiku menjauh dari toko roti perancis itu, ingatan beberapa tahun silam kembali muncul. Dena. Ya, aku ingat namanya. Bagaimana lupa... gadis SMA yang menangis histeris saat hampir diperkosa laki-laki berengsek. Sengaja di buat mabuk minuman alcohol, tapi masih bisa nalar melawan. Aku rasa, alcohol itu tak berpengaruh pada kehilangan kesadaran dirinya secara penuh, atau, memang ia memiliki malaikat pelindung sehingga bisa menyelamatkannya dari nasib sial malam itu.Aku menoleh lagi, melihat ke dalam toko yang kacanya transparan, mencoba sekali lagi memastikan jika memang ia Dena. Sial, aku harus segera berjalan kaki ke arah gedung tempat ku bertemu dengan CEO perusahaan kelapa sawit multinasional. Mobil sengaja tak ku bawa, repot, ini Jakarta, men, kalian mau segaya apa bawa mobil tetap saja, kalau nggak berangkat p
Magbasa pa
Bukan urusan kamu
"Kenapa Pak Adim tanya hal itu?" Dena mengernyitkan kedua alisnya, ia juga menatap lekat Adim yang mengalihkan pandangan ke pintu lift setelah sebelumnya melirik ke wanita itu.Ting! Suara pintu lift membuyarkan fokus Dena. Tak menjawab, Adim melenggang santai ke arah meja kerjanya yang berbelok ke kanan,  sementara Dena ke kiri."Pak Adim!" panggil Dena, pria itu menoleh, menatap Dena dengan satu tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Jangan mau tau urusan orang lain," ucap Dena lalu tersenyum tipis. "Happy working, Pak," pamitnya lalu berjalan menuju ke meja kerjanya. Adim masih membeku di tempat, mendadak ia seperti tertampar dengan pernyataan Dena tadi. Ia diam, berjalan ke arah meja kerjanya dengan pikiran dan ia juga mengumpat dirinya di dalam hati.***"Cerai dulu, Tara. Suara Kanti membuat Tara menoleh cepat, keduanya sedang berada di keda
Magbasa pa
Sakit kepala (1)
Hari wisuda Argi tiba, Dena sengaja mau menjemput bapak dan Argi di rumah yang membuatnya terkurung, juga merasakan tekanan yang hampir membuatnya gila. Ia menghela napas, bersiap menghadapi apa pun yang ada di dalam rumah itu. Ia membuka pagar, penampilan saat itu memakai kebaya warna marun, dengan kain jawa yang ia jahit model rok span semata kaki, rambut panjang lurusnya hanya ia blow ke dalam sehingga membuatnya cukup ber-volume."Assalamualaikum," sapanya."Waalaikumsalam," suara bapak terdengar dari arah kamar. Pintu kamar terbuka, memunculkan sosok yang Dena hormati. Ia melepas sepatu hak tingginya, lalu berjalan menghampiri bapak, mencium tangan lalu memeluk erat. "Bapak kangen kamu, Nak," lirihnya begitu sedih, terdengar dari suara bapak yang bergetar."Dena juga, Pak. Bapak sehat, kan?" Ia melepaskan pelukan, bapak mengangguk. "Ganteng banget, Pak, bagus baju batiknya," puji Dena.
Magbasa pa
Sakit kepala (2)
"Kamu, ngapain?" tanya Adim dengan tatapan sinis. Lagi-lagi, sinis tapi perhatian."Adiknya Mas Tara wisuda, dia minta aku dan Bapak mertua— maksudnya mantan Bapak mertuaku datang," jawab Dena."Nggak ada mantan orang tua, Dena, walau mertua. Tetap aja orang tua." Ketus Adim lagi. Dena hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil manggut-manggut."Kalau gitu say—""Temani saya." Tangan Dena sudah di genggam Adim yang berjalan keluar hotel bintang lima itu."Mau ke mana, Pak, Adik dan Bapak saya nanti cari saya kalau saya nggak kasih kabar mau ke mana, sama siapa, dan ngap—" Dena diam. Adim berhenti berjalan, lalu berbalik badan."Telpon Adik kamu itu. Bilang, kalau kamu temani rekan kerja makan. Buruan sana. Saya laper belum makan." Perintahnya. Dena mengangguk cepat, lalu buru-buru mengelurkan ponsel, dan mengirim ch
Magbasa pa
Kepikiran
Kedua mata ibu melirik ke amplop yang di geletakkan Dena di atas meja. Tara yang duduk di sofa ruang tamu sambil sesekali mengusap wajahnya karena mendadak, ia seperti cemburu dengan Dena yang memiliki 'pacar baru'."Maksud Dena apa begini? Rendahin kamu, Tara?" tanya ibu sambil membuka isi amplop. Pura-pura nanya, padahal penasaran juga sama isinya berapa banyak. Tara melirik."Ibu udah dengar sendiri penjelasannya, kan? Tara sekarang udah turun jabatan, gaji dan tunjangan bulanan juga di sesuaikan. Dia mau bantu Tara untuk penuhi kebutuhan Ibu." jawabnya."Emang, Dena masih suka di supply uang bulanan sama Mama Papanya?" lanjut ibu sambil menghitung uang di tangannya."Masih. Cuma sesudah menikah, Tara minta distop. Tara malu, kesannya nggak bisa kasih uang ke Dena, dan ternyata..., benar. Karena Ibu minta uang Tara yang harusnya untuk Dena, kan?" ucapnya bernada sinis. Ibu melirik taj
Magbasa pa
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status