Semua Bab PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA: Bab 111 - Bab 120
164 Bab
Ada yang mengawasi
"Keadaan Widuri pun semakin parah. Biasanya Ustad Daud yang selalu membuatnya tenang, dan selalu mengaji di dekatnya. Kalau mendengar Ustad Daud mengaji, Widuri bisa tertidur dengan pulas. Sejak kematian Ustad Daud, Widuri selalu histeris. Tak ada yang mampu menenangkan nya, termasuk Ki Agung. Makanya dia jadi dipasung. Karena selalu berusaha bunuh diri dan membunuh bayi dalam perutnya," cerita Biyah. "Hei, siapa itu!" Tiba-tiba Iwan bangkit dan berlari menuju ke arah pintu surau. Membuat mereka semua reflek mengikutinya.  "Ada apa Wan?" tanya Roni.  "Ada yang mengendap-ngendap dekat jendela. Dia seperti menguping pembicaraan kita," kata Iwan. Matanya liar menyapu halaman luar surau. Mencari keberadaan orang yang dimaksud. 
Baca selengkapnya
Bertemu Widuri
"Yakin Biyah?" tanya Roni. "Iya, memang itu rumah Lek Warno. Bulek masih ingat. Gak ada yang berubah. Cuma pohon jatinya aja yang semakin besar ya Wiyah?" Bu Ipah ikut memastikan kalau mereka tak salah alamat. "Iya Pah. Dulu pohon jati itu masih kecil," kata Bu Wiyah.  Hampir tiga puluh tahun berlalu, tentu saja pohon jati yang mereka maksudkan terus bertumbuh hingga menjadi pohon besar yang meraksasa. Roni mengarahkan mobil mereka ke halaman rumah itu. Setelah memastikan mobil terparkir sempurna. Mereka semua turun. Dewi merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. Debaran di hatinya tak kunjung berhenti, malah semakin bertalu-talu. &n
Baca selengkapnya
Bertemu Kakek
Air mata Bu Ipah tak henti mengalir, membentuk sungai kecil tanpa riak di kedua pipinya.  "Widu–" Bu Ipah mencoba menyibakkan rambut Bu Widuri yang menutupi matanya. Bu Widuri langsung menepis tangan Bu Ipah. Sehingga Bu Ipah tak bisa melanjutkan kata-katanya.  Bu Ipah memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit. Bu Widuri menepisnya dengan sangat kuat.  "Widuri, maafkan aku. Aku menyesal Wid. Kalau saja … dulu aku tak membiarkanmu pergi sendiri. Pasti kamu gak akan seper–" "Pergi! Dia disini …." bisik Bu Widuri memotong kata-kata Bu Ipah, dia melihat kesana kemari dengan ekor matanya. Mereka semua terkejut mendengarnya, suasana desa yang hening membuat suara berbisik W
Baca selengkapnya
Penolakan Kakek
"Iyo, anak e Widuri sing biyen di gowo Mas Darma. Di jadikan anak e," kata Bu Wiyah, mengingatkan para Kek Warno tentang anak Widuri yang dibawa oleh Pak Darma. Tiba-tiba sorot mata Kek Warno yang tadinya sendu berubah marah. "Anak setan kui. Sing dadike anakku dadi koyo ngono kui! Aku ra duwe putu!" hardik Kwk Warno menunjuk ke arah Bu Widuri yang masih saja melotot ke arah Roni dengan seringainya yang mengerikan. Hati Roni sangat sedih mendengarnya. Kakeknya menganggap, dia lah sumber malapetaka bagi Ibunya. Yang menyebabkan Ibunya kehilangan ingatan. "Lek, ojo ngono. De e iki cah bagus. Anak e soleh, de e sing gowo kami mbrene. Pingin petuk biyunge, arak di gowo berobat. Iki kanca kancane sing insha Allah, iso ng
Baca selengkapnya
Membuka pasungan Widuri
"Pakai ini." Kek Warno datang memberikan sebuah linggis berukuran besar pada Iwan.  Mereka semua sedikit menjauh, saat Iwan akan memukul gembok yang mengunci pasungan Bu Widuri. Sekali dua kali hantaman, gembok tak terbuka. Gembok yang mengunci rantai pasungan Bu Widuri, lumayan besar dan kokoh. Wajar agak susah membukanya.  Akhirnya setelah beberapa kali dipukul dengan linggis, gembok itu terbuka juga. Roni segera melepaskan kayu pasungan yang menahan kaki Ibunya Tanpa ada yang mengetahui, dibalik sebuah pohon jati besar yang tak jauh dari kandang kambing itu. Ada seseorang yang mengintip mereka. ★★★KARTIKA DEKA★★★ Roni memegangi kedua kaki wanit
Baca selengkapnya
Memandikan Widuri
Dalam hati Widuri, sesungguhnya dia lah yang ingin bersimpuh memohon ampun pads Bapaknya. Karena telah mencoreng aib besar di wajah Bapaknya. Meski begitu, Bapaknya tetap saja menyayanginya. Kondisinya yang seperti itu pun, tak membuat kasih sayang Kek Warno berkurang padanya. "Kek, izinkan Roni yang menggendong Ibu. Ini pertama kalinya Roni berbakti sebagai seorang anak, Kek. Tolong Kek," kata Roni menghiba. Kakek tetap tak menjawab.  Roni menganggap diamnya Kek Warno adalah mengizinkan dia menggendong Bu Widuri. Segera digendong tubuh Ibunya yang kurus. 'Ya Allah … ringan sekali tubuhnya' batin Roni. Seperti menggendong anak kecil saja. Dia berpikir, pasti ibunya sangat kekurangan gizi. Roni berjanji pada dirinya sendiri, akan mengurus Bu Widuri sebaik-baiknya. Walaupun mungkin, Ibunya tak bisa menerima Roni juga nantin
Baca selengkapnya
Memandikan Widuri 2
"Bulek, ini tasnya," kata Roni dari luar bilik.  Bu Ipah yang baru selesai menggosok badan Bu Widuri, langsung mengambil tas itu hanya dengan mengeluarkan tangannya dengan menyingkap sedikit pintu bilik.  Mata Bu Ipah memindai setiap sudut di dalam bilik, mencari tempat untuk menyangkutkan tasnya. Bu Ipah menyangkutkan tas itu di salah satu tiang bambu yang ada di sudut bilik. Kulihat Bu Ipah mengambil sampo, handuk juga baju dari dalam tasnya. "Wi, Bulek sampoin Ibumu, kamu siram pelan-pelan ya. Biar dia gak kaget. Wiyah, kamu gosok badan Widuri," instruksi Bu Ipah pada Dewi Dan Bu Wiyah. Mereka bertiga dengan telaten memandikan Bu Widuri. Butuh waktu yang lebih lama, karena kotoran yang sangat melekat di
Baca selengkapnya
Kerasukan
"Eneng, sek tak jimok." Kek Warno bergegas masuk ke dapur, dengan langkah lebar. Dia dengan semangat mengambilkan nasi dari dalam periuk yang masih bertengger diatas tungku yang dibuatnya dengan susunan beberapa potong batu bata. Masih tampak bekas asap yang masih mengepul dari kayu yang baru dipadamkan. Diambilnya lauk kangkung yang hanya dia rebus saja. Kangkung hasil ngeramban dari pinggiran rawa yang tak jauh dari rumahnya. Sudah sangat lama dia tak lagi bekerja di kebun sawit. Dia bertahan hidup dari hasil kebun juga rawa yang banyak di sekitar desa itu. Sementara beras, dia dapatkan dari petani yang sudi memakai jasanya untuk membantu di saat panen tiba. Dengan imbalan beberapa kilogram beras. Yang sangat dia irit-irit memasaknya, hingga tiba masa panen lagi. Bila sedang beruntung, tidak hanya satu petani yang memakai jasanya.
Baca selengkapnya
Kerasukan
Biarpun tetap bungkam, Kek Warno tetap bergegas masuk ke kamar. Dia mencari kain panjang di setiap lipatan baju yang ada di lemari yang tak lagi berpintu. Cepat dia balik lagi membawa kain panjang itu. Lalu menyerahkannya ke tangan Roni. Roni menerimanya, dan segera membalut tubuh Ibu dan mengikatnya tak terlalu kuat, agar tak menyakiti tubuh Ibunya. "Apa gapapa, Mas?" tanya Dewi. Dia kasihan melihat Bu Widuri yang diikat begitu.  "Gapapa. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Mas takut Ibu seperti tadi," jawab Roni. Dewi bergidik kala mengingat tubuh Bu Widuri yang melayang tadi.  Bu Widuri masih terus menggeliat sambil mengerang, berusaha melepaskan ikatannya. Dia menghentak-hentakkan kepala dan kakinya. Beruntung ada bantal yang menyanggah kepalanya. Apa Ibu
Baca selengkapnya
Warga desa tau
Cuaca subuh hari di Desa Lor sungguh sangat dingin. Dewi merapatkan jaketnya, tak terbiasa dengan suhu yang terlalu dingin begini. Alam pedesaan sangat sejuk juga menyegarkan. Dewi menghirup udara pagi dengan hidungnya lalu menghembuskan perlahan dari mulutnya.  "Yang, ngapain di situ?" tanya Roni yang baru keluar dari rumah Kek Warno. Dihampiri istrinya yang tengah menikmati segarnya udara pedesaan di halaman rumah Ke Warno. "Gapapa Mas. Tenang aja rasanya, mendengar suara burung pagi-pagi gini. Udaranya juga seger banget, tapi dingin brrrr," kata Dewi merinding karena dinginnya. "Ya sudah kita ke dalam yuk, kalau dingin. Kan juga harus siap-siap mau pulang," ajak Roni. Dengan bergandengan tangan mereka masuk kembali ke rumah Kek Warno. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
17
DMCA.com Protection Status