All Chapters of PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA: Chapter 121 - Chapter 130

164 Chapters

Sikap aneh sahabat lama

"Juminah ngendi, Bik?" Bu Wiyah menanyakan teman lamanya, anak Nek Marsini. Kepalanya celingukan melihat semakin ke dalam rumah.  "Dee wes suwi ra bali. Meranto ke Malaysia. Entuk bojo wong kono." Ternyata anak Nek Marsini merantau ke Malaysia dan menikah dengan warga negara Malaysia. "Wah hebat. Wes due anak de e, Bik?" Bu Ipah menanyakan apakah Juminah sudah mempunyai anak. "Uwes telu. Lanang kabeh. Tapi ra ngerti bali. Kirim duwet tok. Lah aku gawe opo duwet okeh-okeh. Wes arep mati hehe." Miris mendengar kata-kata Nek Marsini. Dia bilang anak Juminah sudah tiga orang, tapi tak pernah pulang. Dia hanya rutin mengirimkan uang untuk Nek Marsini. Sementara dari perkataan Nek Marsini, dia jelas menginginkan anaknya itu pulang sebelum dia meninggal. 
Read more

Bisikan

"Kamu beneran gak ingat sama kami, Sih?" tanya Bu Ipah lagi.  "Nggak!" jawabnya ketus. Ada yang aneh sepertinya. Bu Ipah dan Bu Wiyah tampak kecewa melihat sambutan Bu Narsih.  "Kalian mau apa? Aku mau tutup warung!" ketus sekali Bu Narsih. Kelihatan tidak senang dengan kehadiran mereka. "Emm anu, kasih gulanya setengah kilo. Telur sepuluh, bawang sama cabe," kata Bu Ipah tak bersemangat. Seandainya masih ada warung lain. Bu Ipah enggan untuk meneruskan belanja di warung Bu Narsih. Bu Narsih cepat-cepat membungkus pesanan Bu Ipah, lalu menyerahkan belanjaan itu ke tangan Bu Ipah. Setelah dibayar, dia langsung menutup warungnya. Tanpa basa basi atau pun sedikit saja beramah tamah. 
Read more

Diamuk warga

"Lek, tas riko endi? Biar di masuk kan dalam mobil." Bu Wiyah menanyakan tas Kek Warno.  Kek Warno masuk ke kamarnya mengambil tas lusuh yang sudah diisi dengan beberapa potong bajunya yang dianggap masih layak untuk dipakai. Keluar dari kamar, dia menyerahkan tas lusuh itu pada Bu Wiyah. Bu Wiyah menerimanya, dan langsung ke mobil untuk memasukkan tas Kek Warno.  "Ibu masih tidur. Kita harus hati-hati mengangkatnya. Siapa yang akan memangku kepala Ibu?" tanya Iwan.  "Aku aja Wan. Takut ada apa-apa. Kamu bisa nyetir kan?" sahut Roni.  "Ya sebaiknya memang begitu. Biar aku nanti gantian sama Solihin yang nyetir. Dewi bisa di bagian kakinya. Bu Ipah, Bu Wiyah sama Kakek gapapa di belakang ya." Iwan
Read more

Ki Agung

"Darimana Ki Agung tau? Atau Aki yang menjebak Mas Darma?" selidik Bu Ipah. Ternyata, apa yang Roni pikirkan sama dengan yang ada di pikiran Bu Ipah. "Ngaco kowe!" Pandangan Ki Agung beralih ke Bu Ipah. Lalu dia berbalik lagi ke gerombolannya.  "Kalau kalian mau pergi. Pergi saja! Tapi anak Widuri harus tetap tinggal di sini! Dia harus mati dan menumpahkan darahnya di kampung ini! Dia harus ditumbalkan! Biar kampung ini bebas dari kutukan. Wiyah, kali ini aku memaafkan ke kurang ajaranmu! Mengingat dulu Bapakmu, temanku. Siapa di antara kalian yang anak Widuri?" tanya Ki Agung. Matanya memandang, Iwan, Roni dan Solihin bergantian. "Wes, tinggalkan anak Widuri!""Anak Widuri harus mati!"
Read more

Desa terkutuk 1

"Mas, sepertinya diantara mereka tak ada yang berusia di bawah tiga puluh tahun," bisik Dewi. Mata Roni mulai memindai mereka satu persatu. Benar yang dibilang Dewi, penduduk di Desa Lor memang di dominasi orang yang sudah berumur.  "Sudah tau?!" ketus Ki Agung dengan suaranya yang berat. Khas seorang perokok.  "Ternyata istrimu lebih pintar," kata Ki Agung dengan seringai mengejek Roni. Kebiasaannya mengisap rokok tembakau yang dilinting, sedari muda. Membuat pita suaranya rusak, sehingga suaranya menjadi serak. "Sejak Bapakmu mati di massa warga. Tak ada lagi anak yang lahir di kampung ini. Perempuan di desa ini jadi mandul! Kalaupun ada yang ha
Read more

Desa terkutuk 2

Puluhan tahun dia bungkam, menyimpan kepedihan hatinya seorang diri. Saat setiap hari harus menyaksikan penyiksaan yang dilakukan perlahan terhadap anaknya. Juga harus rela hidup diasingkan, dan dibenci semua orang karena dianggap pembawa musibah.  Begitulah kalau orang sudah terdesak, keberanian akan muncul dengan sendirinya.  "Aku gak akan diam saja, kalau kalian mau membunuh cucuku. Kalian langkahi dulu mayatku!" Roni merasa tak percaya mendengar yang dikatakan Kek Warno. Dia pandangi lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu. Dia bertindak menjadi tameng yang siap menghalau siapa saja yang ingin menyerang Roni.Dibalik sikap dinginnya terhadap Roni, ternyata dia rela mati untuk cucunya. "Jangan dengarkan mereka, tarik anak Widuri itu! Atau Desa ini selamanya akan seperti ini. Lama-lama Desa ini akan jadi Desa mati! " tit
Read more

Menahan Roni

Warga yang tadi menyerang mereka, terpaku melihat kejadian itu. Diantara mereka mulai berkasak-kusuk. Mulai meyakini, kalau Iwan dan Solihin bisa menolong mereka. Tiba-tiba, orang yang bernama Samijo dan Masno menyergap Solihin dan Iwan yang lengah. Juga seorang warga yang memegangi Kek Warno. Orang yang menyergap Kek Warno, menghunuskan belati ke leher lelaki tua itu.  "Kalau kowe, pengen teman-temanmu dan Kakekmu selamat. Kowe harus ikut kami!" kata Ki Agung yang mendekati Roni. Dewi siuman dari pingsannya. Roni menatap Dewi, dia menggeleng, berbicara dengan matanya, meminta Roni jangan menuruti mereka. Air mata membanjiri pipinya. Tapi Roni juga tak ingin mengambil resiko, dengan membuat nyawa Kakeknya di ujung tanduk.  
Read more

Juragan Sarjono

"Tapi Ndoro. Sudah hampir tiga puluh tahun kita menunggu. Ini saatnya, kita harus segera membebaskan desa ini. Atau lama-lama desa ini akan seperti panti jompo!" Ki Agung menentang perintah orang yang dipanggil Ndoro. Sang Ndoro terdiam, dia menghela nafasnya yang terasa berat. "Kowe mulai berani menentangku!" geram lelaki yang dipanggil Ndoro. "Maafkan saya Ndoro. Kali ini saya gak bisa menuruti jenengan! Semua penduduk desa pasti mengharapkan kelahiran baru di desa ini. Mereka semua sudah mempercayai saya selama ini. Saya gak mungkin mengkhianati kepercayaan mereka." tegas Ki Agung. "Kalau kowe mau bawa dia! Dia harus suka rela dibawa, bukan dipaksa!" Orang yang dipanggil Ndoro menjadi berang. Mungkin merasa malu, karena dia di tentang di depan orang banyak.
Read more

Tak ada yang melahirkan

Ketakutan yang dirasakan oleh Bu Wiyah sama dengan Dewi juga mereka yang ada di dalam rumah Kek Warno. "Sudah. Jangan banyak bicara dulu. Pasti tadi kepalamu terbentur, makanya kamu cukup lama pingsannya." "Kenapa warga di sini jadi brutal seperti itu? Padahal dulu, penduduk desa ini sangat rukun. Kehidupan di sini sangat tenang dan menyenangkan," kata Bu Wiyah masih tak habis fikir dengan peristiwa yang baru saja terjadi. "Ya, sejak mereka membantai Ustad Daud dulu. Semua ini kesalahan mereka sendiri. Yang sejak dulu, selalu saja suka main hakim sendiri. Tak pernah mau mendengar penjelasan dari orang lain. Menyelidiki dulu pun tidak. Warga sini, sangat mudah terprovokasi!" sahut Bu Ipah dengan geram. "Apa benar, Ke
Read more

Mencari Surya

"Ya, memang saat ini hanya Allah yang bisa menolong, Roni. Mudah-mudahan besok malam ada keajaiban," kata Solihin. "Lalu, apa kita tak akan bertindak secara nyata untuk menolong Mas Roni?" Dewi merasa tak cukup hanya berdoa saja, untuk bisa menyelamatkan Roni. Tak mungkin mereka hanya menunggu keajaiban saja.  "Besok, kita akan berusaha menyelamatkan Roni," jawab Solihin.  "Kenapa menunggu besok, Bang. Kenapa tak sekarang, atau nanti malam?" tanya Dewi lagi. Jawaban Solihin, membuat Dewi sangat tak puas. "Kita tak tau, mereka membawa Roni kemana. Pasti saat ini, mereka menjaga Roni dengan sangat ketat. Kalau besok malam, pasti mereka akan membawa Roni ke tempat keramaian. Pastinya akan banyak warga yang in
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
17
DMCA.com Protection Status