Semua Bab Yes, I Do: Bab 91 - Bab 100
116 Bab
Bab 91. Mengganggu Pikiran
Lilian POVBohong kalau aku mengatakan tidak memikirkan pertanyaan Keenan tadi pagi. Seharian ini hatiku terasa sangat sedih membayangkan harus berpisah dengan hiruk pikuk di Singapura dan orang-orang yang sudah aku anggap keluarga di sini.Aku tidak bisa memilih Keenan atau Singapura karena mereka berada di dalam satu paket di hatiku.Ah, kenapa cinta terasa begitu rumit?Giliran sudah bisa membuka hati kembali, aku justru harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Keenan ingin kembali ke Indonesia.Masa depan pernikahan berkaitan dengan pekerjaan. Itu artinya, aku tidak mungkin melarang Keenan mengembangkan bisnisnya di Indonesia.Aku sedikit terhibur ketika aku berpikir, mungkin Keenan akan mengajakku tinggal di Pulau Bali. Di sini jelas bukan tempat di mana kami akan tinggal yang menjadi masalah, melainkan orang-orang di sekitar.“Lilian!” Om Danendra menyembulkan kepala di pintu ruang kerjaku.“Ya, Om?” Aku menoleh ke arah pintu.“Apa data-data yang dihilangkan Dina semuanya sudah k
Baca selengkapnya
Bab 92. Menangislah Sepuasnya!
Benar! Aku baru sadar kalau Keenan memang tidak ada pembicaraan untuk segera menikah. Tidak seharusnya aku terlalu memikirkan semuanya sekarang.“Dijalani saja hari demi hari … dilewati prosesnya satu per satu, Li. Jangan terlalu banyak mikir!” ujar Tante Iva.“Iya, Tante,” sahutku sambil tersenyum.Melihat Om Danendra mulai menikmati makanan, aku dan Tante Iva juga ikut makan.“Wah … asyik sekali makan siang bersama orang tua mantan.” Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata dari arah belakang punggungku.Melihat Om Danendra dan Tante Iva praktis menghentikan makannya, aku pun menoleh ke arah sumber suara.“Dina?” Itu suara Tante Iva.“Iya, saya Dina,” ringisnya.“Bicara apa kamu, Di?” Om Danendra ikut menimbrung.Dina meliring ke arahku dengan tatapan sinis sambil berkata, “Di mana-mana, orang kalau ditinggal mantan itu pasti sedih, Om. Nah, ini … malah makan-makan sama orang tua mantan, padahal sudah punya pria lain di dalam hidupnya.”“Jaga ucapan kamu, Di! Om dan Tante yang meng
Baca selengkapnya
Bab 93. Berduaan dengan Keenan
Keenan terus memelukku dan membiarkan aku menangis sampai puas.“Sudah selesai,” ujarku sambil mengusap wajah dengan tisu.Keenan tersenyum dengan tangan yang terulur untuk merapikan rambutku. Dia berkata, “Aku penasaran, apa yang membuatmu menangis seperti ini? Tangisanmu sangat memilukan.”“Masa sih? Perasaan biasa saja,” jawabku mengelak.Keenan tertawa geli melihatku.“Awas hidungnya maju kalau bohong,” ujar Keenan sambil menoel hidungku.“Biar mancung,” candaku membuat Keenan semakin tertawa terbahak-bahak.“Tidak bisa kubayangkan kalau hidungmu terlalu mancung. Pasti aku kesulitan menciummu,” ujar Keenan di sela-sela tawanya.Ah, Keenan sedang bicara apa ini? Membayangkannya saja membuat wajahku terasa panas. Aku yakin, pipiku pasti sudah memerah sekarang.“Kita masih punya waktu atau sudah harus pulang?” tanyaku mengalihkan.Keenan melirik ke arah lengannya untuk melihat jam tangan Rolex berwarna silver yang selama ini selalu dikenakannya. Dia lalu memelukku dari belakang.Tida
Baca selengkapnya
Bab 94. Long Distance Relationship
“Santai saja. Tadi aku sudah mengajak Papa, tapi Papa ada acara bersama temannya,” kekeh Keenan melihatku tiba-tiba panik.“Ah, maafkan aku … bisa-bisanya aku lupa kalau Om Mario ada di sini,” lirihku.“Tidak apa-apa, Li,” sahut Keenan.Kini kami sudah duduk di kursi meja makan sambil menunggu Cheryl memasak.“Jadi enggak enak dilihat saat memasak begini,” ujar Cheryl salah tingkah.“Hitung-hitung … biar terbiasa saat dilihat oleh Dokter Raffa nanti,” sahutku bercanda.“Kalau Lilian yang dilihatin, sudah pasti jatuh semua, Kee,” sambung Cheryl.Keenan melihatku sambil tersenyum menggoda. Kenapa pembicaraan mendadak menyambung ke arahku sih? Curang banget.“Kalau sudah jatuh, Cheryl yang bersihkan,” sahutku asal yang ternyata dijawab dengan anggukan mantap dari Cheryl.Ck, bisa-bisanya Cheryl mengangguk semantap itu. Dia padahal selalu membiarkanku membersihkan rumah sendiri.“Apa makanan sudah siap?” Itu suara Dokter Raffa yang berjalan mendekat ke arah kami.“Hampir selesai. Maaf, ak
Baca selengkapnya
Bab 95. Aku Sudah Yakin
“Bagaimana kalau aku keberatan?” tanyaku hati-hati.“Maka aku harus memikirkan cara lain untuk melakukan pekerjaan ini atau mungkin aku harus beralih pada bisnis yang lain,” jawab Keenan. Raut wajahnya terlihat biasa saja.Aku tidak tahu, apakah Keenan merasa sedih atau hanya bercanda dengan ucapannya. Lagi pula, tidak mungkin aku memaksa Keenan meninggalkan bisnis yang sudah ditekuninya sejak lama, bukan? Keenan sudah menjalankan bisnis ini sebelum bertemu denganku. Ditambah, bisnis ini sudah mulai berkembang. Sayang kalau harus ditinggal begitu saja.“Ah, aku hanya bercanda. Kamu tidak perlu meninggalkan bisnis ini.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum sambil mengibaskan tangan.“Serius juga tidak apa-apa. Ini yang dikatakan sebagai proses komunikasi.” Keenan berkata. Kali ini wajahnya baru terlihat serius.“Aku akan mengikuti prosesnya saja. Kalau kita memang harus berjauhan maka aku akan menjalaninya,” jawabku. Kali ini aku terpaksa mengatakan yang tidak sebenarnya. Maksudku … tid
Baca selengkapnya
Bab 96. Kembali untuk Pertama Kali
“Li, kamu tahu kalau aku akan selalu ada untukmu. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, sebaiknya kamu bicara. Nanti traumanya kambuh lho.” Cheryl berusaha mengajakku bicara.Aku menghela napas pelan.Aku tidak tahu, bagaimana reaksi Cheryl jika aku cerita? Apakah dia akan menghakimiku atau mendukungku? Namun, yang pasti aku memang butuh mengungkapkan isi hatiku ini.“Tidak ada yang salah dengan Keenan dan pekerjaannya. Tidak ada yang salah dengan Indonesia. Tidak ada yang salah dengan Jakarta. Aku hanya tidak ingin pulang ke rumah,” lirihku.Cheryl menarikku agar duduk di sofa. Dia lantas duduk menghadap ke arahku dengan raut wajah serius.“Kenapa?” tanya Cheryl.“Mama sangat membenciku. Papa bahkan harus diam-diam untuk memberiku sesuatu. Sedangkan kakakku sudah bekerja di perusahaan. Rasanya pasti aneh kalau aku pulang. Aku khawatir akan terjadi masalah,” jawabku sedih, “lagi pula melihat Mama mengabaikanku itu rasanya lebih baik menolak cinta Keenan daripada harus kembali ke rumah.”
Baca selengkapnya
Bab 97. Halo, Mama!
“Bagaimana rasanya mau pulang, Kee?” Tiba-tiba Papa bertanya, mengejutkanku.“Berdebar-debar,” jawabku jujur.“Pasti berdebar-debar memikirkan Mama.” Papa menebak.“Tidak seratus persen benar dan tidak seratus persen salah,” jawabku apa adanya.Papa terlihat hanya tersenyum untuk menanggapi.“Papa belum memberi tahu Mama dan Kei kalau kamu akan pulang,” ujar Papa.“Hm,” gumamku.Mungkin bagi Kei, kedatanganku ini bisa menjadi kejutan untuknya. Namun, aku tidak yakin Mama akan senang melihatku.“Apa urusan sekolahmu semua sudah selesai?” tanya Papa.“Sudah lama selesai, Pa, jawabku sambil tersenyum.Sewaktu aku wisuda, Papa dan Mama memang tidak bisa datang. Jadi, mungkin saja Papa lupa kalau aku sudah lama menyelesaikan kuliah.“Terima kasih sudah menghemat uang Papa dengan lulus lebih cepat,” ucap Papa.“Aku yang terima kasih karena Papa sudah membantuku mengurus sekolah dan sekarang mau menjalin kerja sama bisnis denganku juga,” sahutku.“Kamu itu anak Papa, Kee. Masa iya Papa biar-
Baca selengkapnya
Bab 98. Kamar yang Terasa Asing
Tidak sedetik pun Mama berhenti dan membalikkan badan untuk membalas sapaanku.Papa menepuk bahuku seakan ingin berkata agar aku bersabar saja. Sedangkan aku hanya duduk di sofa sambil tersenyum tipis.Aku sudah bisa menduga dan mempersiapkan hati untuk sikap Mama ini. Meskipun demikian, rasanya seperti ada yang mencubit hatiku. Kehadiranku seakan tidak diharapkan di rumah ini.Ah, baiklah … aku hanya akan fokus pada pekerjaan saja. Bukankah tujuanku datang ke Bali untuk bekerja?“Mamamu urusan Papa. Jangan terlalu dipikirkan!” ujar Papa.“Iya, Pa. Santai saja,” jawabku berusaha menenangkan. Tidak lupa aku juga tersenyum seakan semua baik-baik saja.“Tidak perlu pura-pura sama Papa. Papa ini orang tua kamu. Bersikaplah realita!” ujar Papa lagi.Tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang Mama, aku memilih untuk tersenyum saja.“Apa aku masih bisa masuk kamar?” tanyaku.“Bicara apa kamu ini? Tentu saja bisa. Masuklah dulu! Bersihkan tubuhmu dan keluarlah satu jam lagi! Kita pergi ke k
Baca selengkapnya
Bab 99. Kesepian
Lilian POVSetelah sekian lama selalu pulang dari kantor bersama Cheryl atau Keenan, sore ini aku pulang sendiri. Ralat! Lebih tepatnya aku pulang diantar oleh Mr. Bernard, supir keluarga Om Danendra.Tadi Keenan mengirimkan pesan untuk mengatakan bahwa dia sudah tiba di Pulau Bali.Entah mengapa, walaupun seharian ini Kim Tan mengerjakan pekerjaannya di ruanganku dan dia hampir tidak berhenti bercerita, aku tetap merasa kesepian.Kalau sudah begini, aku baru sadar, ternyata aku benar-benar bisa menerima dan mencintai Keenan.Kadang kala aku masih sering merasa bersalah karena diam-diam aku suka menatap ke arah langit sekadar untuk menyapa atau menceritakan sesuatu pada Finn. Pun aku merasa bersalah pada Finn karena mau berkencan dengan Keenan. Seolah-olah hatiku sedang mendua.Aku sendiri tidak memiliki niat untuk mendua. Aku hanya terbiasa bicara sendiri seolah-olah sedang bicara dengan Finn. Sikapku ini harus diubah. Aku harus mulai menceritakan kebiasaanku pada Keenan. Bukan berar
Baca selengkapnya
Bab 100. Bicara dengan Louisa
Keenan POVSesudah memutuskan sambungan telepon, aku bersama Kei bergegas menuju ke ruang makan. Papa sudah menunggu kami untuk sarapan.“Mama mana, Pa?” tanyaku.“Mama sudah pergi sejak pagi. Ada pengantin yang minta dirias,” jawab Papa.Ah, aku baru ingat, di akhir pekan seperti ini, salon dan bridal milik Mama pasti sangat ramai.Sejujurnya aku merasa lega karena bisa sarapan tanpa melihat raut wajah Mama yang terkesan tidak suka padaku. Tapi, suka atau tidak, Mama tetap mamaku, bukan?Ting!Aku melirik ke arah ponsel dan melihat sebuah pesan dari Lilian yang masuk.“Aku ingin minta izin untuk mengunjungi makam Finn. Apa boleh?” tanya Lilian melalui isi pesannya.Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas, “Boleh. Hati-hati di jalan, Sayang!”Aku kemudian meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan makan.“Senyum-senyum sendiri … siapa yang kirim pesan, Kak?” tanya Kei.Aku melirik sekilas ke arahnya, lalu menjawab, “Lilian.”“Ah, pantas saja. Senyumnya itu lho … ganteng bang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status