Semua Bab Penyesalan Setelah Poligami: Bab 61 - Bab 70
97 Bab
61. Panggilan Telepon Dari Perusahaan
"Ngaco kamu, Ihsan. Itu anakku, kita kerumah yang itu," aku terkekeh melihat kelucuan Ihsan."Haha ... Pak Kusir ngerjain Ayah," Syifa tertawa."Tuan Putri, kita sudah sampai tujuan. Apa perlu Pak Kusir bukakan pintu?""Ayah, perut kakak sudah nggak kuat ketawa terus," Syifa turun dari mobil masih terbahak.Bibi Sri tergopoh menyambut kedatangan kami, rupanya anak-anak sudah sampai duluan di rumah Eyang. Mereka menggunakan jalan pintas, Ihsan menjalankan mobilnya juga mirip delman, sangat lambat."Den Akram, akhirnya datang juga. Bibi sudah cemas sama dua bocah itu, bukannya harusnya mereka sekolah? Malah main kesini," cerocos Bibi Sri."Bi, panggil Akram saja tidak pakai den. Bapak ngasih namanya tidak pakai den," selorohku."Diajak masuk dulu, Bu. Bicaranya di dalam, Akram masuk dulu!" ujar Paman Samin, sambil menyalamiku dan Ihsan."Ayah!" seru Daffa baru menyadari kedatanganku. Dia sedang bersama anaknya Pak Samin."He ... anak Ayah. Kemarilah! Sudah pandai menjaga kakak rupanya,
Baca selengkapnya
62. Tidak Mau Di Laknat Allah
"Selamat pagi, Pak Akram," sapa Pak Topan yang menjabat sebagai kepala HRD perusahaan Handoko."Selamat pagi, Pak Topa," jawabku."Mohon maaf jika mengganggu aktivitas keluarga Pak Akram. Saya hanya menyampaikan pesan Pak Handoko, mohon Pak Akram cek email surel sudah kami kiri di email. Di tunggu tanda tangannya hari ini, Pak," suara Pak Topan yang datar dan tegas namun di telingaku seperti sebuah bogem yang berat."Baik, Pak Topan. Siap cek email, terimakasih sudah menghubungi kami," sahutku."Sama-sama, Pak Akram. Selamat Beraktivitas," kalimat penutup Pak Topan.Aku segera mengecek email sesuai perintah dari Pak Topan, dan benar memang ada surat masuk yang harus di tanda tangani. Aku tercengang melihat isinya yaitu surat tugas mengurus proyek yang di Purwokerto selama satu minggu. Ternyata tidak sesuai dengan prasangka, alhamdulillah ketika kita sudah memperbaiki niat maka Allah memberi banyak kemudahan.Aku segera menandatangani surel tersebut dengan senyum mengembang."Ada apa,
Baca selengkapnya
63. Penasaran Akram
"Tentu, Sayang. Abang ambil ponselnya dulu," ucapku tegas tidak ada keraguan sedikitpun. Apa yang aku harapkan lagi dengan mantan, bukankah tidak ada ikatan lagi. Sedangkan anak hasil pernikahan dengan Indah tidak ada, tidak ada alasan untuk menahannya bukan?"Terimakasih, Bang. Tapi, tidak perlu Abang ambil ponselnya. Disini saja, aku pengin di peluk dulu," ucap Fitri manja. Aku sendiri suka bingung dengan wanita, suka berubah dalam waktu sekejap."Sayang, kenapa berubah pikiran?""Abang sayang, meskipun nomor ponselnya kamu blokir, tidak menutup kemungkinan kalian masih bisa bertemu bukan? Jadi untuk apa, aku hanya ingin melihat kesungguhanmu. Yang aku butuhkan adalah kamu menjaga kepercayaanku, dan komitmenmu," ucap Fitri lagi dengan posisi dia sudah berbalik memeluk pinggangku."Sayang, dari kejadian beberapa bulan ini Abang banyak belajar. Abang janji tidak akan mengulangi lagi," kataku dengan mantap."Bang, tidak perlu berjanji. Masa lalu biar menjadi pelajaran, yang terpenting
Baca selengkapnya
64. Akram Curiga
Meski Fitri sudah menjelaskan kalau dia sedang bertukar pesan dengan teman namun dia masih penasaran, karena tidak biasanya Fitri larut dalam hal seperti itu."Sayang, anak-anak sudah siap. Masuklah, jangan mematung seperti itu," tegur Akram melihat Fitri masih dengan ponselnya, tidak berniat naik."Eh ... iya, Bang. Maaf ... ," Fitri merasa tidak enak di tatap seperti itu oleh suaminya.Fitri bergegas membuka kabin depan untuk duduk disamping kursi kemudi. Mobil perlahan meninggalkan rumah. "Bun, kita mau kemana?" tanya Daffa polos. Fitri mengalihkan pandangan dari ponselnya menengok ke arah Daffa yang duduk di belakang."Kalian lapar kan? Kita mau makan, restoran favorit Kak Syifa dan kamu, Sayang," ucap Fitri lembut.Akram menghangat mendengar perhatian Fitri kepada anak-anaknya. Tdinya Akram sudah sangat kesal dengan kelakuan istrinya. Ternyata rasanya seperti ini ketika di acuhkan."Hore ... alhamdulillah. Lama kita tidak kesana," sorak Daffa. Disambut tepuk tangan oleh Syifa da
Baca selengkapnya
65. Gono Gini?
Aku melihat Bang Akmar sangat penasaran dengan apa yang aku lakukan, sebelum keluar pertanyaan dari Bang Akram, buru-buru aku letakan ponsel ke dalam saku tas. "Ke Masjid dulu saja, Bang. Biar aku yang pesankan, temani kakak wudhu dulu. Aku sholat setelah mereka selesai, gantian jaga Hilda," ucapku sambil meletakan ponsel di tas. "Syifa sholat di sini saja kan?" tanya Bang Akram. "Iya, gantian sama aku, Bang. Daffa di ajak ke Masjid, untuk latihan agar terbiasa rajin ke Masjid," cara mendidik yang di lakukan Fitri sangat disiplin. Anak laki-laki di wajibkan sholat di Masjid. "Yuk, Kak. Ayah temani ke toilet dulu!" ajak Bang Akram. "Oke, Ayah," keduanya menggandeng tangan Akram. Seperti inilah gambaran kebahagiaan keluargaku yang menghilang empat bulan, kini sudah mulai kembali. Permasalahan dan pertengkaran menjadi bumbu penyedap dalam pernikahan, namun ketika berkaitan dengan kepercayaan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengobatinya. "Kakak kembali, Bun," S
Baca selengkapnya
66. Ijin Bertemu Teman
Bang Akram rautnya tidak mengenakan, apa dia mengira aku macam-macam?"Nanti Indri bicarakan di rumah ya, Bang," ucapku dengan santai. "Bagaimana, Kak Daffa? Kita langsung pulang, atau mamir beli mainan sementara adikmu sudah tertidur kelelahan?" tanya Bang Akram sama Daffa dan mengabaikan ucapanku. Ah ... ternyata kamu marah. "Kita langsung pulang tapi, bunda harus janji besok beneran belikan mainan buat Daffa," ucapannya masih menganduk rajukan."Anak pintar, bunda sayang sama kamu. Iya, insyaAllah bunda akan beli besok," ucapku gemas sambil mengacak rambutnya."Bunda, berantakan. Nanti jadi tidak tampan lagi," ucapnya.Ban Akram tertawa melihat duplikat kecilnya."Gengsi gede dan narsis, mirip siapa ya, Bang?" tanyaku sambil tertawa."Kamu! Kalau aku tidak begitu," jawabnya sambil terkekeh.Setelah mencapai kesepakatan Hilda di gendong Ayahnya, sementara aku membawa perlengkapan di tas ransel. Baginilah bepergian anak masih kecil-kecil, perlengkapannya banyak."Sayang, kunci di s
Baca selengkapnya
67. Hukuman Untuk Fitri
Bang Akram yang bisa membaca keraguanku langsung tersenyum. Bang Akram mengelus rambutku dengan lembut."Kenapa? Untuk urusan seperti itu tentu saja Abang mengijinkan, apalagi menyangkut masa depan kakakmu," ucap Bang Akram."Bang, ... ," ucapanku terkatung mendapat perlakuan lembutnya hatiku menghangat. Sikapnya kembali ke Akramku yang dulu. Seketika aku mengingat sesuatu yang menggelitik untuk di bicarakan, namun ia urungkan. Toh belum tentu terjadi, dan aku juga tidak yakin dia punya nyali mengingat pernikahannya hanya siri."Kenapa, Sayang. Masih ingat bukan, kalau Abang mau menghukummu," ucapnya sambil tersenyum mesum."issh ... Abang," aku memasang wajah cemberut. Bukannya kesal malah justru membuat Bang Akram terbahak.Sentuhan lembut dan penuh kehati-hatian darinya membuatku melayang ke langit ketujuh. ****"Sayang, ... bangun!Bisikan mengalun indah di telinga. Aku hanya menggeliat sebentar untuk kemudian tertidur kembali. Rasanya baru saja tertidur, Bang Akram benar-benar
Baca selengkapnya
68. Indah Ke Kantor
"Kenapa semuanya tegang begitu, Bunda mau bicara hal tidak begitu penting. Meskipun tidak penting tapi, kalian perlu mengetahuinya," aku menjeda kalimatku beberapa saat. "Bunda tidak ingin kita salah paham dengan Ayah lagi seperti kemarin, jika Bunda yang berbicara tentu kalian lebih percaya bukan?" aku mengamati kedua anakku tampak mulai memahami arah bicaraku. Sementara Bang Akram semakin penasaran, dia tampak begitu fokus menatapku. Aku sengaja menggigit pelan lidahku sendiri agat tawaku tidak keluar, senyum manis terpampang di wajahku. "Jika suatu saat kalian melihat mama Lulu datang menemui Ayah maka jangan langsung menyimpulkan sendiri. Tanyakan kebenarannya kepada Bunda terlebih dahulu. Bagaimana apa kalian sudah paham?" tanyaku kepada mereka. Jangan tanya bagaimana kondisi Bang Akram saat ini, pias seakan tawanan yang sedang tertangkap. "Bang, nanti aku jelaskan mengapa aku bicara seperti ini kepada anak-anak," kali ini perlahan ekpresi pria itu kembali normal. "Maksud bu
Baca selengkapnya
69. Merajut Masa Depan Kak Farid
Seteleh siluet suaminya menghilang, Fitri berpindah ke kursi kemudi di pencetnya nomor ponsel laki-laki yang sangat menginginkan Indah saat dulu maupun masa kini. Setelah mendapat di capai kesepakatan wanita ini menutup sambungan teleponnya, dia tersenyum puas. Di pakainya seat belt menoleh ke belakang memastikan balitanya baik-baik saja dan menjalankan mobil perlahan keluar area parkir. Sengaja memperlambat laju kendaraan untuk menyaksikan pertunjukan kecil yang sudah ia susun tadi bersama lawan bicara.Dia tersenyum simpul melihat mobil yang terasa asing merwarna hitam itu memasuki gerbang perusahaan, dan berhenti tepat di depan Indah yang saat ini sedang duduk termenung sendirian.Indah menongak ke arah mobil, mendadak terlihat pias. Nampak kekesalan terambar begitu nyata. Pria di dalam menurunkan kaca mobil perlahan, lamat-lamat terdengar penolakan dari mulut mantan Akram. Seorang laki-laki bertubuh tegap di perkirakan usia tiga puluhan keluar dari mobil dan membuka kabin depan
Baca selengkapnya
70. Emak Komplek
"Hai ... kenapa?" tanya Fitri penasaran melihat perubahan sahabatnya, lawan bicaranya terlihat murung."Maaf, jika ini terkesan mendadak, Rin. Sungguh niatku tulus, aku hanya ingin menjadi perantara sahabat baikku dan kakakku merajut kebahagiaan di masa depan," ucap Fitri tulus.Arina tersentak, ternyata ekspresinya melukai perasaan sahabatnya. Dia tidak ada maksud, hanya kaget dengan situasi, meski mereka sering bergurau namun rasanya berbeda manakala menjadi serius."Bukan begitu, Fit. Aku hanya terharu, ini merupakan bagian dari impianku. Tapi, ketika sesuatu yang menjadi impian ada di hadapanku di situ aku ragu melangkah," jawab Arina gugup. Mendadak suasana menjadi canggung, Arina menatap Fitri dengan pandangan cemas serta gelisah."Apa yang membuatmu ragu, Sahabat?" tanya Fitri begitu tulus."Aku takut, hanya aku yang menginginkan pernikahan ini. Kak Farid belum pernah sekalipun menghubungiku," ucapnya malu dan pipi sudah merona."Haha ... Arin. Ayolah, bukankah kamu tau Papa Ma
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status