All Chapters of Bakti Seorang Menantu : Chapter 51 - Chapter 60

221 Chapters

51. Kasih Ibu.

"Mala, Mala! Kamu ngobrol sama siapa? Rahman ya?" terdengar teriakan Ibu dari depan pintu. Ya…Tuhan, malang sekali nasibku ini. Apapun yang aku lakukan, mertuaku selalu tahu dan selalu ingin tahu. Huft. "Mala! Buka pintunya!" Ternyata Ibu masih menungguku membuka pintu, kukira dia akan pergi saat aku membiarkannya tadi. Pentang menyerah sekali nenek tua itu. "Iya, Bu. Sebentar." "Mas, udah dulu ya, nanti ku telpon lagi," ucapku pada Mas Rahman. {Aku mau ngomong sama Ibu, nggak apa-apa kan?} pintanya. Masa iya aku tidak perbolehkan. Anak sama ibu sama-sama tidak peka. Ya… Tuhaaaaaaan. "Baiklah, tunggu sebentar," Aku menekan tanda loudspeaker sebelum aku membuka pintu. "Lama amat, lagi ngomong sama siapa sih?" Semprot Ibu dengan wajah bengis. "Ini Mas Rahman yang telpon, Bu," ucapku dengan malas. "Berikan ponselnya, anakku telpon aja kamu gak boleh macam aku tau, menantu apa kamu itu?" gerutunya sambil menyambar ponsel yang aku sodorkan. Salah lagi, kan salah lagi. Aku menari
Read more

52. Ipar nyebelin.

Kudengar suara berisik dari arah depan, siapa lagi ini yang datang. Tak pernah seharipun rumah ini tentram gitu. Selalu ada saja yang datang bikin kehebohan. Aku bergegas ke depan guna melihat ada apa disana. "Terus sekarang gimana?" tanya Ibu panik. "Susan, juga belum tahu, Bu. Katanya Bang Rahmat di Rumah Sakit Husada," jawab Mbak Susan sambil menangis. "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan hati berdebar setelah mendengar kata rumah sakit. Ada apa dengan Abang iparku itu. "Bapak si Wulan kecelakaan, Mal," ucapnya. "Ayok kita kesana," ajak Ibu, ia melangkah keluar dengan segala kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya. "Bu, Bu, ganti baju dulu," teriakku. Saking paniknya, Ibu bahkan tak membawa dompet ataupun uang, ia hendak pergi begitu saja dengan penampilan berdaster dan bersandal jepit. "Allahu Akbar, sebentar, San," kata Ibu. Sambil kembali masuk ke dalam kamarnya. "Ini gimana kejadiannya, Mbak?" tanyaku penasaran. Aku kayak orang bingung yang panik karena mendengar bang
Read more

53. Ipar nyusahin.

"La, buatin Bang Anton kopi dong," pintanya. "Kakak, sudah masuk, kenapa pula Mala yang harus bikin. Kakak istrinya kan? Ngapain pengen kopi buatan istri orang," ucapku cuek."Karena istri orang lebih nikmat," teriak Bang Anton dari depan. "Berhentilah bercanda, Bang, Mala nanti gak mau bikinin kopi buat Abang," sahut Kak Eni. Aku tak habis pikir dengan Kak Eni, suaminya ngomong begitu aku menanggapinya dengan santai. Aku yang hanya ngeri dan takut. "Ayolah, La. Bikinin abangmu kopi, Kakak mau ke rumah sakit, please," ucap Kak Eni lagi dengan mata memomohon. Ya...Allah, Ibu gak ada, datang lagi satu demit lebih parah. Dosa apa aku di masalalu, dikelilingi orang-orang yang gak beradab seperti ini. Akhirnya aku kedapur, dan membuat kopi untuk suami kak Eni. Pengangguran itu nambah kerjaan aku saja. Otaknya koslet kali, liat perempuan hamil malah nyuruh-nyuruh. Gak ikhlas banget aku bikin kopi ini untuknya. Jika saja tidak melihat Kak Eni yang sedang khawatir dengan kakaknya, tak sud
Read more

54. Pov Susan.

Setelah seminggu suamiku di rawat dengan mengalami patah tulang kaki karena kecelakaan, akhirnya bisa pulang juga. Ibu memintaku agar Bang Rahmat tinggal sementara di rumahnya, kami bisa menempati kamar Ria yang baru saja pergi bekerja ke Cikarang. Awalnya aku malas, karena pasti akan banyak aturan Ibu padaku tapi mau bagaimana lagi, aku juga harus bekerja apalagi Minggu ini kebagian dinas malam di Puskesmas bagaimana dengan Wulan dan suamiku. Akhirnya dengan berat hati, aku mengiyakan apa kata Ibu. Lagian ada baiknya juga kalau Bang Rahmat tinggal disana, setidaknya aku tidak akan cape mengurusnya sendirian. ada Ibu dan bapaknya serta Mala yang akan mengurus Wulan. Mala sangat sayang pada Wulan sejak dulu. Kami pulang menggunakan mobil Bu RT, ya, siapa lagi kalau bukan beliau, disini hanya Bu RT yang sigap dan baik hati mobilnya dipakai membantu warganya tanpa meminta uang bensin atau apapun. Banyak sekali para tetangga yang menjenguk Mas Rahmat, ada yang membawa buah, makanan, jug
Read more

55. Kekonyolan Anton bagian A.

Part 29. Kekonyolan Anton."Ganteng dari Hongkong," sungutku mematahkan kepedeannya. Ia hanya tertawa ngakak dengan kencang. Aku kok jadi berdebar gini di bonceng si Anton. Motor memasuki pekarangan rumahku yang memang pintu pagarnya tidak tertutup. Saat aku turun dan akan masuk, dengan tanpa diduga, Anton mer**as bokongku dengan kencang, hingga aku berteriak kaget. "Aaaw, kamu apa-apaan," semprotku tak suka. "Aku penasaran, Mbak, liat mbak jalan duuuh," ucapnya sambil mengelus dadanya dan memejamkan matanya."Dasar kurang ajar, ingat aku istri Kakak iparmu." "Kakak ipar kan? Bukan Kakak kandung," sahutnya membuatku gemas, kalau saja aku tak membutuhkan bantuannya, tak Sudi aku di bonceng sama pengangguran kayak dia. Aku masuk meninggalkan suami Eni itu dengan emosi meledak-ledak. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dengan ledekannya seperti itu. Waktu masuk shift malam ku tinggal setengah jam. Sabar Susan, Sabar. Aku mengelus dadaku sendiri dan bergidik ngeri dengan ucapan-ucapan A
Read more

56. Kekonyolan Anton bagian B.

"CUKUP ANTON!" bentakku. Terasa harga diriku diinjak-injak dan disamakan dengan ongkos antar jemput ini. Meski lain dihatiku, ada sedikit perasaan senang dan berdebar saat mendengar gombalan Anton. Tapi aku tak ingin Anton kegeeran. Dan aku juga istri iparnya. Hah, otak ini gimana sih? Sisi kiri aku senang, sisi kanan aku marah. "Aaaw!""Bercanda, Mbak, bercanda," ucapnya setelah punggungnya ku cubit keras."Begitu aja, galak bener sih," cerocosnya. "Makanya kalau bercanda tau diri." Aku terus mengomelinya, sementara Anton tak bersuara lagi. Dia fokus pada jalanan yang kami lalui yang mulai memasuki jalanan berbatu, mau tak mau aku harus memegang jaket si pengangguran ini. "Geli, Mbak, hahahah, jangan pegang disitu, sini ke perut biar anget," teriaknya sambil menarik tangan kiriku agar melingkar di perutnya. Aku sontak menarik tanganku, tapi Anton menahannya dengan kuat. Aku pun tak menyerah, ku sentak dengan sekali tarikan dan motor pun oleng karena Anton memegang stang dengan sat
Read more

57. Ancaman Eni.

"Abang kenapa," tanya Eni yang melihat suaminya datang dengan celana yang kotor, dan ada beberapa rumput yang menempel di celana, berbentuk bulat berduri. "Kok, cucuk riut semua?" tanya Eni sambil memainkannya. (Cucuk riut semacam rumput berduri, suka nempel di baju, kalau orang Sunda pasti tau)"Abang tadi jatuh dijalan, Mbak Susan gak mau diem duduknya, sudah tau batu semua, goyang-goyang melulu! Keperosok deh," sungutnya. "Ada yang sakit, Bang?" tanya Eni dengan wajah khawatir. "Nggak apa-apa, Mbak Susan yang kakinya ketindih motor," ucapnya sambil menahan tawa. "Kok Abang ketawa," tanya Eni keheranan."Abang, masih kebayang wajah Mbak Susan. Mau marah sama Abang tapi sepertinya dia gak berani, akhirnya dongkol. Mukanya ditekuk dan judes banget," ucapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. "Kok bisa marah sama Abang? Perihal apa? Karena jatuh?" "Karena Abang tertawa melihat dia ketindihan motor, hahahaha," ucapnya sambil tertawa mengingat posisi Susan saat jatuh tadi. "Ish, lag
Read more

58. Air yang tenang belum tentu aman.

"Lan, itu make up, Onty loh!" ucap Mala dengan lembut. "Ulan pinjam sebentar, Ty," sahutnya sambil anteng memainkan beberapa botol parfum milik Mala.Mala hanya menarik nafas berat, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Badannya terasa lelah, tadi sepulang Rahmat dari Rumah Sakit, banyak tetangga yang menengok. Banyak makanan yang harus ia tata di dapur. Karena kebanyakan makanan cepat basi, jadi Mala berinisiatif menyimpan di kulkas. Dreeet…dreeet…dreeet…."Where ever you go, what ever you do. I'll be right here waiting you."Suara lembut Richard Mark mengalun syahdu dari ponsel Mala yang tergeletak di atas nakas. Dengan cekatan Ibu hamil itu menyambar ponselnya. Seketika wajahnya tersenyum lebar. Saat nama suaminya terpampang jelas di layar ponsel."Assalamualaikum," ucapnya dengan semringah."Waalaikumsalam, apa kabar, Sayang?" "Alhamdulillah sehat, Mas. Mas apa kabar? Sudah makan?""Alhamdulillah, Mas juga sehat, sudah barusan, gimana kabar Bang Rahmat?""Kakinya patah, sekarang t
Read more

59. Kepulangan Rahman bagian A.

Part 31. Kepulangan Rahman."Terima kasih ya, Rif, udah nganterin aku, maaf aku selalu merepotkan." Sungguh aku malu dengan Arif, mulai dari pekerjaan sampai urusan aku pulang pun, selalu saja merepotkannya. Arif mengantarkanku ke pool travel yang akan membawaku pulang ke provinsi Jawa barat."Nggak apa-apa lah, Man. Sekalian aku jalan-jalan. Kamu tau kan, aku hanya keluar ke kantor saja, paling banter nyari makan. hahahah,'' ucapnya sambil tertawa lebar. Memang begitu adanya Arif, dari sejak jaman kuliah hingga sekarang tak pernah neko-neko meski keadaan perekonomiannya menunjangnya untuk hura-hura. Ia lebih memilih fokus pada pekerjaan dan menjaga nama baik keluarganya. "Iya sih," sahutku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Tunggu sebentar," ucapnya. Arif lalu pergi ke arah belakang mobilnya, mau ngapain dia? Kulihat Arif menenteng dus. Dus yang lumayan besar sebanyak dua buah. "Ini oleh-oleh untuk keluargamu," ucapnya sambil meletakan kedua dus itu di aspal. Aku melongo me
Read more

60. Kepulangan Rahman bagian B.

"Assalamualaikum," ucapku sambil meletakan dua dus itu di tanah. "Waalaikumsalam," ucap Mala, ia menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk. "Mas Rahman!" teriaknya sambil melempar sapu dan menubruk tubuhku, ia memelukku erat dengan isakan kecil. Entah apa yang terjadi, semakin lama Mala malah sesenggukan menangis di dadaku. Aku mengelus punggungnya dan mengecup puncak kepalanya. Berusaha menenangkan tanpa kata, bahwa semua akan baik-baik saja. "Om Rahman pulang! Om Rahman pulang!" teriak Wulan sambi berlari menghampiriku lalu meraih tanganku."Sehat kamu, Lan?" bocah itu mengangguk dan lari kedalam rumah, dengan teriakan yang sama seperti tadi. "Nenek, Om Rahman pulang, Om Rahman pulang!"Mala belum selesai juga menangis, kulihat Ibu di ambang pintu. "Rahman! Kenapa tidak masuk? Sini masuk," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Kamu juga, Mala. Suami pulang bukannya cepetan masuk, malah pelukan di halaman, malu atuh!" sungutnya. Duh Ibu, selalu ada saja bahan omelan untuk
Read more
PREV
1
...
45678
...
23
DMCA.com Protection Status