Semua Bab Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi: Bab 21 - Bab 30
35 Bab
Kampung Halaman
Jantungku berpacu, saat melangkahkan kaki ke tempat resepsi Desi dan pasangannya. Aku merasa gelisah tak karuan. Entah apa yang akan terjadi saat ini. Beberapa orang yang mengenaliku memandangku. Aku merasakan panas di telinga dan pipiku. Sepertinya mereka tengah mengumpat karena melihat penampilanku saat ini."Cantik ya, pas jadi 𝑠𝑖𝑛𝑔𝑙𝑒," bisik seseorang yang ada di sana dan terdengar olehku."Anisa!" pekik pria yang tak asing bagiku. Bima berjalan ke arahku."Kamu cantik banget," ujarnya memuji."Makasih, Bim! Aku ke Desi dulu," imbuhku langsung berjalan dan menarik lengan Mala. Aku melihat Desi sangatlah cantik dengan gaun pengantin modern yang dikenakannya. Sekilas aku pun teringat pernikahanku yang tidak diketahui orang lain, tapi aku berusaha menepis kenangan itu."π»π‘Žπ‘π‘π‘¦ 𝑀𝑒𝑑𝑑𝑖𝑛𝑔 π‘‘π‘Žπ‘¦, Des!""Akhirnya, kamu nongol juga. Tenang! Anita gak bakal dateng," imbuhnya. Aku hanya mengan
Baca selengkapnya
Penyesalan Akbar
*** Sebuah mobil terparkir di pelataran rumah seseorang. Seorang pria memperhatikan rumah tersebut."Cari siapa, Mas?" tanya salah satu warga yang sedari tadi memperhatikan tingkah pria itu."Emmm, saya cari Anisa yang ngontrak disini, Bu." jawabnya."Tadi pagi pergi, Mas." Jelas wanita itu."Kira-kira ada informasi mau kemana gitu, Bu?" tanya pria itu antusias."Gak ada, Mas. Malah kontrakannya mau ditawarin lagi ke yang lain. Mbak Nisa nya pindah, tapi gak bilang kemana." Jelas ibu-ibu itu lagi."Ya sudah! Terimakasih, Bu." ucap pria yang tidak lain adalah Akbar. Ia pamit dan meninggalkan tempat itu. Akbar kembali ke mobilnya. Memukul stir dengan kesal. Ada rasa sesal dalam dada, saat wanita itu pergi darinya untuk kedua kalinya. Ia sadar, telah menoreh luka di hati Anisa. Dendam yang seharusnya dilupakan saja, membuat ia benar-benar kehilangan orang yang sebenarnya masih ada di lubuk hatinya.
Baca selengkapnya
Kegundahan Anisa
Langit senja, menyirat kerinduan dan hilangnya asa. Aku seakan terdampar setelah terombang ambing dalam laut kebimbangan."Kak Nisa!" seru Nia di ambang pintu. "Ya," jawabku."Kak Fahmi tuh, dateng. Katanya, Kakak ada janji mau ngelamar kerja di kantornya," imbuh Nia. Ah, begitu cepatnya pria itu datang kemari. Padahal, baru malam aku memberitahunya tentang aku yang ingin bekerja lewat pesan yang kirim padanya. Entah mengapa Nia pun memiliki nomor pria itu, tapi itu jadi mempermudah untuk meminta bantuan padanya."Eh, iya. Suruh duduk dulu aja! Ambilin minum juga!" titahku."Iya Kak," jawab Nia. Aku pun merapikan diri dan segera ke teras. Terlihat Fahmi-teman SDku duduk di kursi teras."Hai!" sapaku."Hai, juga. Apa kabar, Nis?" tanyanya."Baik, sih. Jenuh nih gak ada kerjaan. Makanya, aku mau minta tolong sama kamu," jawabku."Oke, aku ngerti." Dania menghampiri ka
Baca selengkapnya
Permohonan Maaf
Siang ini aku masih bergelut dengan beberapa 𝑓𝑖𝑙𝑒. Aku memang fokus pada pekerjaan dan itu yang membuat aku terbiasa sendiri. Walau mereka tahu statusku yang pernah menikah, tapi mereka menghormatiku."Bu, ada tamu," ucap seorang pesuruh. Aku menautkan kedua alisku. Mencoba menerka siapa yang datang. Kalau yang ingin bertemu itu Fahmi, dia tidak pernah meminta izin karena kami bekerja di tempat yang sama walau dengan ruang berbeda dan yang dikatakan oleh pesuruh itu tamu, kan? Tapi siapa? Jika ibu atau Dania, mereka pasti akan menelponku. "Siapa?" tanyaku."Gak mau disebutin namanya. Katanya penting, Bu. Jadi nunggu di depan." Jelasnya. Membuat aku terpaksa menghentikan aktivitasku. Aku terus menerka-nerka siapa yang datang ke kantorku saat ini. Apa mungkin Mala?"Baiklah, terimakasih," ucapku. Aku berjalan menuju orang yang katanya ingin bertemu denganku dan hal itu sangat penting. Namun, langkahku terhenti saat tahu si pem
Baca selengkapnya
Kedatangan Orangtua Akbar
Aku membisu saat melihat beberapa orang berada di ruang tamu. Rupanya Dania memang anak yang bisa diandalkan. Sebelum menyusulku tadi, ia sudah memberi jamuan."Assalamu'alaikum!" ucap Ibu. Aku mengekor dari belakang dan mengucap salam."Maaf lama menunggu. Kami ganti baju dulu, tidak enak seperti ini," sambung Beliau. Aku menunduk dan bergegas ke kamar. Setelah berganti pakaian. Aku pun keluar dengan rasa yang tidak menentu. Dari sudut mataku Mas Akbar terlihat menatapku. Jantungku berdegup dengan cepatnya. Ibu sudah berada di antara tamu dan dengan cepat aku pun duduk di dekatnya."Maaf, Bu! Kedatangan kami kesini ada niatan untuk melamar Nak Nisa menjadi menantu kami." aku terdiam mendengar ucapan ayah mas Akbar. "Mohon maaf juga karena kami datang mendadak!" sambung Beliau."Saya tidak memutuskan soal hal ini. Anda semua tahu putri saya pernah menikah. Saya tidak ingin putri saya terluka kedua kalinya. Keputusan ada pada Anis
Baca selengkapnya
Babak Baru Kehidupan
Pernikahan yang cukup sederhana di desa. Beberapa tamu datang dan mengucap selamat pada kami. Dari saat inilah aku tidak tahu harus bagaimana nantinya. Aku tahu aku membencinya, tapi sayangnya cinta ini pun masih ada untuknya. Entah yang mana yang akan bertahan dalam hatiku. Aku tidak terlalu berharap saat ini."Alhamdulillah acaranya lancar ya, Nak. Dari sekarang kamu adalah istri Akbar." ucap Ibu penuh haru. Fahmi menghampiriku dengan senyuman. Ia pun memberi selamat padaku."Jangan galon lagi!" "Apaan, sih?""Jangan kayak aku! Galon karena harus nunggu calon istriku lulus kuliah," ujarnya terkekeh."Ya, iyalah. Dia harus kuliah dulu. Biar hidup bisa maju,""Iya juga sih. Apa aku kuliah lagi ya,""Terserah, lah!""Baiklah calon Kakak ipar yang galak.""Ish, kalau gak banyak tamu aku...," ucapku gemas."Hehe,""Jaga adikku!" pintaku."Tenang Kak! Kak Fahmi
Baca selengkapnya
Cemburu
Satu bulan sudah kami menikah. Begitu kaku hubungan ini. Aku yang tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba membuatnya senang. Mungkin sebuah kejutan. Aku mengunjungi kantor mas Akbar yang dulu adalah tempat bekerjaku. Karyawan yang mengenalku menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar serta tujuanku kantor. Mereka terkejut dan tak percaya aku menikah dengan mas Akbar. Aku lebih memilih bergegas menemui suamiku itu. Namun, sebelum ku mengetuk. "Kamu kenapa menikah dengan dia?" tanya wanita itu, "Kamu pun tahu aku cinta sama kamu." sambungnya. Aku tahu wanita itu adalah wanita di pesta Desi. Ya, wanita yang selalu mengejar mas Akbar itu berani datang ke kantor suamiku dan bahkan masuk ke dalam ruangan yang pastinya hanya ada mas Akbar disana. Aku membuka pintu kasar. Tampak keterkejutan di wajah mereka."Waw...hebat. Aku yang mau ngasih kejutan ternyata terbalik," ucapku ketus, "aku cukup terkejut dengan pemand
Baca selengkapnya
Berdamai
Mentari menyambut hari ini, aku mogok bicara saat ini, meskipun aku menyiapkan semua keperluan Mas Akbar. Hanya ada peralatan dapur yang bersuara pagi ini."Dek," panggilnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih fokus dengan apa yang ada di hadapanku."Anisa!" panggilnya lagi. Masih tetap kuabaikan. Kini aku menyiapkan minum untuk mas Akbar dan tak menoleh sedikitpun pada orang yang sedari tadi memanggilku, bahkan menggangguku saat menyiapkan sarapan."Dek, maafkan Mas!" ucapnya lirih. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Lepas Mas. Ingat syaratku!" tegasku. Sebenarnya aku mulai tak peduli dengan syarat itu, tapi sikapnya membuatku kesal. Ia pun menjauh dengan wajah masam, kemudian duduk dengan wajah yang di tekuk. "Aku sudah siapkan semuanya," kataku dan melangkah untuk meninggalkan dapur."Maaf Dek!" Aku tak menjawab atau pun menoleh. Sakit rasanya jika mengingat hari kemarin. Dia merasa seolah aku yang m
Baca selengkapnya
Bulan Madu
Keesokan harinya. Aku berpenampilan begitu rapi untuk pertama kalinya agar terlihat lebih cantik untuk mendampingi mas Akbar. Pria itu hanya tersenyum. "Mas gak bakal bawa mobil?" tanyaku heran. Bukannya tiada hari tanpa mengendarai mobilnya untuk bepergian."Mobilnya harus ke bengkel. Nanti malah lama," jawabnya. Aku hanya ber-oh ria setelah mendengar jawabannya."Masih ngambek?" tanyaku ketika melihat ia begitu cuek dan memilih memainkan gawainya."Gak juga," jawabnya dengan nada yang terdengar menyebalkan."Pak, jangan ke kantor! Ke penginapan aja," ujarnya pada pak supir. Sontak membuatku terkejut karena ucapannya. Hampir saja aku akan membuka suara. Mas Akbar malah melotot padaku. Membuatku merasa takut, tapi ingin tertawa. Sebenarnya apa yang direncanakan? Ia yang bilang harus ke kantor cepat, tapi malah entah kemana tujuan kami sekarang. Sampailah di sebuah Hotel yang terkenal. Aku menatap penuh tanya. Ya, pikiran yang tidak bisa ditebak.
Baca selengkapnya
Kado Terindah
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status