Semua Bab Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi: Bab 11 - Bab 20
35 Bab
Reuni SMA
Reuni SMA . Aku berdandan ke salon agar terlihat segar dan cantik. Aku memang tidak memiliki alat π‘šπ‘Žπ‘˜π‘’π‘’π‘ di rumah, kerena pemberian mas Arman selalu menekanku untuk berhemat. Aku tidak mungkin juga datang tanpa polesan di wajah sama sekali. Itu adalah acara penting, kan? Aku harus tampil lebih baik dari biasanya. Wajahku agak kusam karena kurang terawat, karena memang tidak ada dukungan untuk merawatnya. Mas Arman sering mengabaikanku hanya karena kami menikah disebabkan hutang nyawa ayahnya pada ayahku. Sehingga ia tidak peduli aku berdandan atau tidak. Tidak ada uang lebih sama sekali untukku. Bahkan, di acara tertentu ia lebih memilih pergi sendiri. Mungkin juga dengan Anita dan mengenalkan wanita itu sebagai istrinya. Sekarang aku punya uang itu darimana? Jawabannya adalah mama mertuaku yang baik hati, tidak pernah lupa memberi uang jajan padaku. Mungkin, itu perintah papa mertua juga. Walau, aku pun aneh juga sama sikapnya setelah percakapan waktu itu.
Baca selengkapnya
Rencana Anisa dan Mala
Aku menatap ponsel yang telah dirusak mas Arman. Aku tersenyum kecut melihat benda pipih yang sudah rusak itu."Ish, kau memang licik. Sudah ada bukti masih mau mengelak dan berusaha buat menyembunyikan bukti itu dari orangtuamu," gumamku. Sayang rasanya harga ponsel itu sangat mahal dan rusak dalam sekejap. Namun, aku tidak mau ambil pusing. Ponsel itu milik Anita bukan milikku. Mungkin saat wanita itu ulangtahun tiga hari lagi kado terindah akan diterimanya.***** Setelah keluar dari salon. Aku memilih menelpon Mala. Menyusun rencana. Beberapa 𝑓𝑖𝑙𝑒 sudah aku siapkan dalam sebuah π‘šπ‘Žπ‘. Aku sengaja mencetak beberapa percakapan, foto dan memfotokopi buku nikah yang sebenarnya terasa merepotkan. Aku menunggu Mala sebelum pergi ke Kafe. Tidak jauh dari tempat yang kami janjikan. Ya, untuk membahas rencanaku pada dua sejoli itu aku harus seperti ini meskipun merepotkan. Mala adalah orang yang sangat kupercaya
Baca selengkapnya
Pembuktian
Senja menyapa, angin berhembus menerpa pori-pori kulitku. Aku menatap kosong pemandangan di hadapanku. Aku tahu, dalam waktu dekat rumah ini tidak akan aku tempati lagi. Ah, rumah ini tak ada artinya bagiku. Karena istana yang sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Wanita mana yang akan bertahan dengan seorang pria yang selalu berbohong. Walau, sebagian wanita bertahan untuk hal itu. Ya, mereka selalu bertahan demi anak walau tampak raut lelah untuk berjuang sendiri dalam hubungannya dengan suaminya, tapi apa yang bisa membuatku bertahan. Aku tidak memiliki keturunan, tapi hal itu membuatku lebih mudah untuk berpisah dengannya. Aku tidak akan pernah mempertahankan pria yang sudah melukaiku seperti ini. Pria yang seolah tanpa cela di keluarganya dan orang lain yang melihatnya. Ah, ternyata memang ia pandai bersandiwara di depan semua orang. Sehingga, orang lain menganggap akulah yang tidak tahu diuntung karena selalu berbuat ulah. Suara deru mobil terd
Baca selengkapnya
Memilih Pergi
Aku menatap sekeliling kamar dan terpaku. Kali ini, untuk terakhir kalinya aku berada di kamar ini. Aku tidak peduli dengan yang dibicarakan tentang rumah ini. Semua akan menjadi masalah baru nantinya. Mas Arman masih uring-uringan, aku berjalan dengan koper yang berada digengaman."Mau kemana, kamu? Puas kamu buat aku tidak memiliki apapun, huh!" makinya."Aku mau pergi," jawabku datar."Kamu gak tahu diuntung. Harusnya kamu bersyukur aku mau nikahin kamu," celotehnya. Seolah ia menjadi suami yang baik bagiku."Oh ya, emmm.. Beruntung ya. Duh Mas, pikir pake otakmu. Gaji pembantu aja udah dua juta lebih. Kamu ngasih nafkah aku berapa? Kamu bilang itu beruntung," ucapku santai."Aku yakin, kamu gak bakal bisa hidup tanpa uangku," ujarnya percaya diri."Sayang sekali. Dugaan kamu salah, Mas. Aku justru akan terbebas dari pria licik sepertimu," tuturku."Jaga ucapanmu!" teriaknya. Tangan kekar itu mengangkat tapi tert
Baca selengkapnya
Lelaki Masa Lalu
Aku menatap gedung di hadapanku. Menghela napas panjang dan membuang perlahan. Memijakan kaki untuk pertama kalinya."Maaf Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang keamanan disana."Saya ada panggilan π‘–π‘›π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘£π‘–π‘’π‘€, Pak." Jawabku. Penjaga pun mempersilahkanku masuk. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk salah satu pegawai. Aku mengetuk pintu, meminta persetujuan dari pemilik ruangan."Masuk!" terdengar suara perintah dari dalam sana. Klek. Aku bergegas membuka pintu."Permisi, Pak! Saya Anisa Aryani." Ucapku pada seorang pria yang berdiri membelakangiku. Padahal ia tahu ada aku disini."Apa kabar, Nisa?" tanyanya. Membuat aku terkejut dengan apa yang ku lihat."Mas Akbar." lirihku."Silahkan duduk!" ucapnya. Ia tersenyum. Namun, membuatku sangat gugup. Saat ini adalah pertemuan pertamaku dengan pria itu setelah sekian la
Baca selengkapnya
Pernyataan Akbar
Kebangkrutan keluargaku dan sakitnya ayah. Membuat aku terbiasa untuk hidup secukupnya. Apalagi saat aku tinggal bersama suamiku yang perhitungan itu. Aku memulai kembali mengumpulkan apa yang aku butuhkan dengan uang yang aku dapatkan setelah aku bekerja. Saat ini, aku bersandar pada sandaran kursi. Sudah lama aku memang tidak melihat akunku yang baru itu.[Akhirnya, bayi kami lahir dengan selamat,] tutur Anita pada π‘π‘Žπ‘π‘‘π‘–π‘œπ‘› di salah satu postingan foto miliknya. Aku pun menutup kembali akun itu. Postingan itu terlihat jika ia melahirkan setelah aku pergi dari rumah selama empat bulan. Aku melihat wajah kecil itu. Sekilas memang tidak terlihat sedikit pun yang mirip dengan mas Arman, tapi untuk apa aku peduli. ----- Sebuah suara notifikasi pesan terdengar olehku."Ini, bukannya mantan mama mertua?" gumamku, saat melihat nomor yang tampil di notifikasi. Aku pun membaca pesan mama mer
Baca selengkapnya
Penerimaan Lamaran
Dalam hening, aku masih memikirkan perkataan mas Akbar. 'Apakah aku bisa menerima dirinya?' tanya hatiku. Aku pun tidak tahu jawabannya. Sebuah notifikasi membuat aku pun mengecek benda pipihku itu.[Nisa, bisakah besok bertemu denganmu?] tanya mas Akbar dalam pesan itu.[Ya.] jawabku setelah beberapa menit memikirkan jawabannya. Aku tidak mengerti, pria itu datang tiba-tiba dalam keterpurukanku. Aku pun mulai menyesali penolakanku. Jika saat ini aku menerimanya itu tak akan sama seperti dulu. Apakah ia melupakan apa yang terjadi dulu?---- Pertemuan di luar pekerjaan untuk pertama kali. Walau sebelumnya, kami selalu makan siang bersama. Akan tetapi itu saat kami berada di kantor dan makan tak jauh dari tempat kami bekerja. Aku bersiap diri, melihat penampilanku di hadapan cermin. 'Pantaskah aku bersanding dengan pria lajang itu, nanti?' umpat batinku. Suara mobil berhenti di pel
Baca selengkapnya
Mengubah Penampilan
Di sebuah taman. Aku menunggu pria yang telah mengisi hariku itu. Mas Akbar berjanji akan bertemu denganku di tempat ini."Hai, Nisa!" sapanya. Aku tidak menyadari saat ia datang."Melamun?" tanyanya."Tidak kok, Mas." Jawabku."Apa yang kau pikirkan, Nisa?" tanya Mas Akbar."Kau benar-benar akan menikahiku, Mas?" aku pun balik bertanya."Tentu saja. Sepertinya kau masih ragu. Mas paham ini terlalu cepat, tapi itu bukti bahwa Mas serius padamu," tuturnya."Bagaimana dengan ibuku atau orang tua Mas Akbar?" tanyaku."Aku akan datang bersama kedua orangtuaku, Nisa." Jawabnya."Kapan, Mas?""Minggu depan. Mas janji!" Jawabnya. Ia memang selalu meyakinkan hati yang penuh dengan keraguan ini. Ia tersenyum padaku. Senyum yang membuat aku tidak pernah melupakannya."Kita makan, yuk!" ajaknya padaku. Aku pun mengangguk setuju. Ia menggenggam tangan ini dan seolah menghipnotis di
Baca selengkapnya
Bertemu Lagi
Aku menatap nanar pria yang saat ini di hadapanku itu. Tidak ada dendam di hati ini padanya. Yang ada rasa kasihan pada pria yang pernah berlabuh di hatiku itu, meskipun hanya sesaat."Mas Arman!" seruku tak percaya. Ia menghampiriku. Membuat aku berdiri setengah takut, tapi ia berlutut padaku."Aku minta maaf! Kembalilah, Nisa!" pintanya memelas, seperti memelas yang dibuat-buat."Aku tidak mau. Kau ingin aku kembali atau hartamu yang kau harap kembali," ucapku sinis. Bisa jadi semua yang ia ucapkan terpaksa, karena semua aset diambil papanya."Aku salah. Anita berbohong, Nisa." ungkapnya dengan lesu. Ish, aku sudah bilang, tapi tak percaya. Aku tidak peduli juga sih, dia sudah bukan siapa-siapa bagiku."Aku tahu. Tapi jangan pernah dengan mudahnya meninggalkan wanita atau menyakiti wanita lagi, Mas!" imbuhku dengan penuh penekanan. Walau bagaimanapun semua tak akan kembali seperti semula. Hubungan kami itu seperti cermi
Baca selengkapnya
Pesta Pernikahan Desi
Jantungku berpacu, saat melangkahkan kaki ke tempat resepsi Desi dan pasangannya. Aku merasa gelisah tak karuan. Entah apa yang akan terjadi saat ini. Beberapa orang yang mengenaliku memandangku. Aku merasakan panas di telinga dan pipiku. Sepertinya mereka tengah mengumpat karena melihat penampilanku saat ini."Cantik ya, pas jadi 𝑠𝑖𝑛𝑔𝑙𝑒," bisik seseorang yang ada di sana dan terdengar olehku."Anisa!" pekik pria yang tak asing bagiku. Bima berjalan ke arahku."Kamu cantik banget," ujarnya memuji."Makasih, Bim! Aku ke Desi dulu," imbuhku langsung berjalan dan menarik lengan Mala. Aku melihat Desi sangatlah cantik dengan gaun pengantin modern yang dikenakannya. Sekilas aku pun teringat pernikahanku yang tidak diketahui orang lain, tapi aku berusaha menepis kenangan itu."π»π‘Žπ‘π‘π‘¦ 𝑀𝑒𝑑𝑑𝑖𝑛𝑔 π‘‘π‘Žπ‘¦, Des!""Akhirnya, kamu nongol juga. Tenang! Anita gak bakal dateng," imbuhnya. Aku hanya mengan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status