Semua Bab DiSUKAI SILUMAN ULAR: Bab 31 - Bab 40
96 Bab
Penyebab kebencian Bu Midah
"Jadi kau hendak ke rumah si Fudin, Sari? tanya Bu Zubaedah pagi ini. Bu Zubaedah sedang menjemur pakaian, sementara Sari sedang duduk di atas dipan bambu sambil memetik sayur bayam yang hendak disayurnya. Bu Zubaedah tak mengizinkannya mencuci pakaian kali ini."Insha Allah jadi Mak. Mamak mau ikut lagi?" "Tak lah. Tak sampai hati Mamak melihat kau dimarahin sama si Midah. Tapi Mamak juga tak akan melarangmu kesana. Sepertinya hal yang akan Fudin sampaikan sangat penting." Bu Zubaedah sudah selesai menjemur semua pakaiannya, lalu duduk di dekat Sari. "Usahakan, jangan dilawan bibimu itu. Mamak takut, penyakit Fudin kumat. Kau pun sedang hamil besar, jangan sampai bibimu itu silap, dan berbuat hal yang tak diinginkan," nasehat Bu Zubaedah."Iya Mak. Sari janji nggak akan melawan sama Bi Midah," kata Sari. Dia sudah selesai memetik bayamnya, kini mulai meracik bahan masakannya yang lain."Sari, jujur sama Mamak. Kenapa sikap si Midah seperti itu dengan engkau?" "Entahlah Mak, Sari
Baca selengkapnya
Cerita tentang Ibu Sari
Pak Fudin langsung membuka pintu rumahnya dengan lebar dan menunggu Sari tepat di ambang pintu rumahnya. Sari terus saja menunjukkan senyumnya yang manis ke arah Pak Fudin. Sementara, dia berusaha tak menghiraukan Bu Midah yang ada di samping Pak Fudin."Assalamualaikum Paman." Sari lebih dulu mengucapkan salam sambil mencium takzim punggung tangan Pak Fudin. Agak ragu Sari ingin bersalaman dengan Bu Midah, tapi untuk mengabaikannya pun, Sari merasa tak enak hati. Sari ulurkan juga tangannya kehadapan Bu Midah, kali inj Bu Midah tak menolak uluran tangan Sari. Dia mau bersalaman dengan Sari. Sri sedikit merasa heran, tapi juga lega. Artinya, Bu Midah mulai terbuka hatinya untuk menerima dirinya. "Masuklah. Ada yang ingin Paman tunjukkan," kata Pak Fudin. Sari menggamit lengan pamannya itu dengan manja. Layaknya seorang anak yang bermanja dengan ayahnya. "Berapa bulan kandunganmu Sari?" "Delapan bulan Paman." "Sebentar lagi melahirkan. Sempat atau tidak Paman melihat kelahiran
Baca selengkapnya
Ibu Sari korban rudapaksa
"Heehhuhh, Paman … tak apa-apa," kata Pak Fudin sambil berusaha mengatur nafasnya. Sari kembali duduk di tempatnya. Dia sengaja tak mendesak Pak Fudin untuk bercerita lebih lanjut lagi. Dia biarkan dulu Pak Fudin mengatur nafasnya agar normal kembali. "Paman membawa ibumu kembali pulang ke rumah. Paman juga memanggil Dokter yang untuk memeriksa kondisi ibumu. Paman sangat terpukul mendengar hasil pemeriksaan Dokter waktu itu." Pak Fudin terus bercerita. Dia berusaha tenang, dengan pandangan menerawang, mengingat kembali kejadian silam yang kelam. Meski sesekali harus menarik nafas yang dalam. Hati Sari terus saja berdebar, matanya memanas. Dia seolah bisa merasakan dan melihat peristiwa dulu dari cerita pamannya. "Menurut hasil pemeriksaan Dokter, ibumu menjadi korban rudapaksa." Air mata Sari langsung berderai mendengarnya. Dia sudah menduganya sejak tadi, tapi hatinya menolak.Lidah Sadi terasa kelu untuk bertanya lagi. Bahkan untuk meminta Pak Fudin untuk tak melanjutkan cerit
Baca selengkapnya
Kembar
"Kau lahir setengah jam kemudian," ungkap Pak Fudin. Sari berusaha mencerna kata-kata Pak Fudin. "Maksud Paman, Sari kembar?" Pak Fudin menganggukkan kepalanya. Sari terhenyak, terduduk lemas di tempatnya. Tak pernah dia menduga, kalau dia memiliki saudara kembar. Sekalipun dia tak pernah mendengar, Paman atau bibinya menyinggung tentang hal ini."Lalu … dimana dia sekarang Paman?" tanya Sari dengan bibir bergetar.Sari sama sekali tak menyangka, kenyataan yang akan didengarnya. Dia sangat menyesalkan, kenapa baru sekarang pamannya menceritakan hal ini. Pak Fudin kembali lagi menghela nafasnya. Dia bangkit, berjalan menuju pintu kamar. Sari bingung, apakah pamannya tak akan menjawab pertanyaan yang dia lontarkan? Apakah pamannya akan membiarkan cerita ini menggantung begitu saja. Atau … apakah kembarannya meregang nyawa sesaat setelah dilahirkan? Kalau iya, kenapa Pak Fudin tak lantas bercerita saja? Paling Sari akan bertanya, dimana kuburnya."Dia tak sama seperti kau, Sari." Pak
Baca selengkapnya
Membawa Pak Fudin ke rumah sakit
"Bang, dijawab saja. Abang kan sudah menceritakan semua sama Sari. Biar tak mengganjal lagi di hati Abang," kata Bu Midah lembut. Sari melihat, bibinya itu benar-benar tulus berubah padanya. "Paman berencana hendak menghanyutkan di sungai, tapi Paman tak tega. Akhirnya Paman tinggal dia di tepian sungai. Paman berharap, ada yang menemukan dan sudi merawatnya."Sari membekap mulutnya, tak menyangka, pamannya setega itu. Bagaimana bayi yang baru lahir bisa bertahan di luar rumah sendirian? Pikirnya. Bukan inginnya terlahir dengan wujud yang tak wajar seperti itu. "Paman mengintip dari kejauhan. Benar-benar berharap ada manusia berhati baik yang datang," kata Pak Fudin dengan suara bergetar. Sementara Sari terus menangis, dia sangat sedih membayangkan, seandainya dia yang ada di posisi kembarannya itu. "Paman lihat, ada seorang perempuan yang cantik sekali datang. Paman tak tau pasti, dia datang darimana, karena mata Paman terus saja pada bayi itu," sambung Pak Fudin.Sari menghapus
Baca selengkapnya
Mantri terkenal
"Kenapa sore sekali pulangnya? Apa ada masalah disana?" tanya Bu Zubaedah, sesaat setelah Sari dan Hasan masuk ke rumahnya."Paman tadi sakit lagi, Mak. Kami membawanya ke rumah sakit dulu tadi," jawab Hasan. Lalu duduk di sebelah Bu Zubaedah, sambil menikmati pisang goreng yang masih panas.Sari langsung masuk ke kamar, mengambil baju gantinya."Sari mandi dulu, ya Mak. Gerah sekali," kata Sari."Iya, mandi lah," sahut Bu Zubaedah."Rehan mana Mak? Sudah mandi dia, Mak?""Sudah, tadi dibawa Ratna jajan." Sari tersenyum mendengarnya, lalu langsung masuk ke kamar mandi. "San, bagaimana tadi sikap si Midah sama Sari?" tanya Bu Zubaedah, sambil berbisik. Matanya melirik ke kamar mandi, takut terdengar oleh Sari."Alhamdulillah, tadi Bi Midah sangat baik. Tampaknya dia sudah berubah, Mak," jawab Hasan. Mulutnya terus mengunyah pisang goreng, hingga sudah habis berapa potong."Sukurlah kalau begitu. Sangat cemas Mamak, kalau sampai si Midah seperti tadi malam lagi. Apa kumat lagi si Fudin
Baca selengkapnya
Pak Fudin berobat ke klinik Pak Hanif
Mentari pagi bersinar dengan terangnya. Tanpa malu-malu menunjukkan keperkasaannya. Sari dan Hasan berjalan berdampingan di koridor rumah sakit, menuju ke ruangan tempat Pak Fudin dirawat."Assalamualaikum." Sari memberi salam, sambil membuka pintu ruang rawat Pak Fudin."Waalaikumsalam," sahut Pak Fudin dan Bu Midah bersamaan. Sari masuk diikuti Hasan. Dia membawa buah tangan berupa buah-buahan untuk Pak Fudin."Bagaimana keadaan Paman?" tanya Sari lembut usai menyalami Paman dan bibinya."Alhamdulillah, sudah lumayan baik. Paman juga sudah boleh pulang," kata Pak Fudin berusaha menunjukkan senyumnya, agar Sari tak merasa cemas."Aina, tidak kesini Bi?" tanya Sari."Entah kemana anak itu? Dari semalam sangat susah dihubungi," jawab Bu Midah. Sambil membantu Pak Fudin untuk berdiri dari atas ranjang rumah sakit. "Pamanmu ini, tak pernah betah menginap di rumah sakit. Selalu saja merengek minta pulang sama dokter. Padahal, seharusnya dia menginap beberapa hari, sampai pulih benar," s
Baca selengkapnya
Pak Fudin menanyakan keberadaan Rosa
"Boleh saya bicara dengan Anda. Berdua saja," lirih Pak Fudin pada Nyi Baisucen, sesaat setelah dia di pindahkan ke ruang perawatan.Klinik Pak Hanif memang menyediakan ruang rawat inap untuk pasien yang jauh tinggalnya, juga untuk pasien dengan kondisi darurat.Nyi Baisucen jelas saja agak bingung dengan permintaan Pak Fudin. Dipandanginya semua orang yang ada di ruangan itu. Di antaranya, Sari, Bu Midah, Pak Hanif dan Hasan. Nyi Baisucen memandang suaminya cukup lama, seakan minta persetujuan. Pak Hanif mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan itu. Bu Midah, Hasan dan Sari sepertinya mengerti. Mereka juga keluar dari ruangan rawat. Nyi Baisucen mengambil bangku, dan meletakkan di sisi tempat tidur Pak Fudin. "Kenapa Bapak ingin bicara dengan saya?" tanya Nyi Baisucen, setelah tak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Ada yang ingin saya ceritakan," ucap Pak Fudin. "Oh ya, apa itu?" hanya Nyi Baisucen tanpa kecurigaan sama sekali. Di dalam pikiran Nyi Baisucen, pasiennya k
Baca selengkapnya
Gundah
"Maaf Nyi. Bagaimana keadaan Paman saya?" ulang Sari. Nyi Baisucen agak gelagapan. Tampak sekali dia berusaha untuk bersikap biasa saja. "Um, tak apa-apa. Penyakitnya akan segera diperiksa suami saya. Saya permisi dulu." Nyi Baisucen langsung saja pergi meninggalkan keluarga Pak Fudin dan suaminya yang merasa heran melihat sikap Nyi Baisucen. Saat sudah berada di balik tembok yang mengarah ke dalam rumahnya, Nyi Baisucen mengintip Sari. Bulir kristal menetes dari sudut matanya. Ada rasa haru menyelinap di hatinya. Ternyata dia mempunyai keponakan yang lain. Keponakan dari bangsa manusia seutuhnya. Sedih pun kini dia rasakan, karena tak dapat mengungkapkan semuanya. Nyi Baisucen harus menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Bukan hanya keselamatan dirinya. Rosa juga pasti akan sedih, kalau tau kenyataan, dia adalah anak yang dibuang. Pak Hanif segera masuk ke ruangan tempat Pak Fudin berada. Diikuti Bu Midah, Sari juga Hasan. Dengan telaten, Pak Hanif memeriksa kondisi Pak Fudin. "Kal
Baca selengkapnya
Dihadang ular besar
Hasan berulang kali menguap di sepanjang jalan. Dia benar-benar mengantuk. Meskipun tadi sudah tidur beberapa menit, tak bisa juga mengurangi rasa kantuknya. Apalagi tidurnya yang hanya sebentar tadi dihiasi mimpi yang buruk. "Bang, menepi saja dulu, kalau Abang mengantuk. Tak apa kan Bi, daripada bahaya di jalan?" Sari meminta pendapat pada Bu Midah. Wanita paruh baya itu pun terlihat sangat lelah. "Iya, istirahat barang satu jam pun tak apa," sahut Bu Midah."Kita jalan saja terus pelan-pelan. Bahaya berhenti di sini. Lihat saja, kiri kanan hutan sawit dan rambung semua. Juga sepi, padahal masih jam segini," kata Hasan sambil melihat ke arah jam kecil yang ada di atas dashboard mobil. Jarum jam masih menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit.Sari menatap jauh ke depan. Memang sangat menyeramkan jalanan yang mereka lalui. Seperti tak ada ujungnya hutan sawit ini. Sejak tadi pun, tak ada kendaraan yang berlalu lalang selain mobil mereka. Penerangan yang ada di jalan pun sang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status