All Chapters of Membalas Kesombongan Mantan: Chapter 21 - Chapter 30
408 Chapters
Bab 21
Mas Haikal tidak melanjutkan kata-katanya saat Nela datang. Temanku itu ternganga memindai penampilanku dari atas hingga bawah. "Astaga ... ini beneran si Alina?" tanya teman lainnya yang ikut mengahmpiri kami. "Ck' ck' ck'. Cantik banget, kamu, Lin. Ya Allah bajunya bagus bener! Rambut dikepang sebagian, kayak putri raja, lu. Ini juga perut, kek talenan, rata banget!"Aku terkekeh mendengar pujian Nela yang terus memindaiku. Kulirik Mas Haikal yang masih berada bersama kami. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dariku. 'Kenapa? Ingat masa lalu?' Ingin sekali aku berucap demikian. Tapi, tidak mungkin karena sekarang dua dayang-dayangnya datang. Amira menarik kasar Mas Haikal untuk menjauh dariku. Wajahnya menyiratkan kecemburuan dan kebencian. 'Gitu aja, marah. Gak inget, waktu dia mesra-mesraan di depanku dulu? Aku marah? Enggak.'"Enggak usah terlalu banyak memuji. Palingan baju yang dia pakai pun dapet nyewa. Amira, dong. Yang dipakai dia dari atas hingga bawah, sem
Read more
Bab 22
Iya, dia si mantan suami yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Entah apa maunya, dia seperti sengaja ingin mendekat ke arahku. "Ekhem! Pindah sini," titah Bang Aldi yang menyadari keberadaan Mas Haikal. Merasa usahanya mendekatiku gagal, Mas Haikal hanya bisa pasrah saat berdiri dihimpit kakakku dan satu staf lain. Sedangkan aku, pindah ke tempat paling ujung yang hanya ada aku dan Saffa saja sebagai pemegang pisau. "Dalam hitungan ketiga, potong sama-sama, ok?!" ujar MC memberikan aba-aba. Aku dan Saffa bersiap. Putriku itu sudah cengengesan tidak sabar. "Satu, dua, tiga, potong!!"Aku menurunkan pisau hingga menggores kue raksasa itu. Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sebagai tanda suka cita.Musik serta taburan balon serta kertas warna-warni menambah meriah pesta malam ini. "Mama, Caffa mau balon!" ujar putriku memaksa turun dari gendonganku. Dia satu-satunya anak kecil di atas panggung yang pada akhirnya jadi pusat perhatian karena terus berlari-lari ke sana kem
Read more
Bab 23
"Kamu sengaja mendekatkan Saffa dengan pria lain agar dia melupakanku?" Mataku menoleh dengan cepat, menyeringai ke arah Mas Haikal yang berucap seraya menatapku tajam. "Apa untungnya aku melakukan itu?" tanyaku sembari bersidekap dada. Bersandar pada tembok yang mana di dalamnya ada putriku bersama Adi. Tadi, Mas Haikal terus berusaha mengambil hati Saffa agar mau digendong, tapi anakku menolak. Ia malah merengek meminta Adi untuk menemani dia ke dalam toilet, meskipun aku sudah membujuknya. Hingga akhirnya, kini aku diserang oleh pertanyaan Mas Haikal yang tidak terima anaknya lebih memilih Adi dibandingkan dia. Menyalahkan aku, karena putrinya enggan untuk dia sentuh. "Jelas banyak. Kamu sengaja menghilangkan identitasku sebagai ayahnya, dan kamu ganti dengan kekasihmu."Aku terkekeh. Sungguh pemikiran yang dangkal. Jika mau, aku bisa melakukan itu dengan mudah. Sayangnya, aku tidak setega dia yang dengan sangat ringan tidak mau menganggap Saffa ada. Aku seorang ibu, pikiran
Read more
Bab 24
Itu bukan hanya akan membuat Mas Haikal terkejut, tapi bisa membangkitkan rasa marah yang luar biasa. Dan Amira, dia pasti akan langsung menyalahkan aku atas ini. "Pah.""Sssttt ... waktu pesta akan segera berakhir. Cepat berkemas, kita akan pulang," ujar Papa seraya berdiri, lalu meninggalkan aku untuk berpamitan kepada rekan-rekannya. Aku pun demikian. Menghampiri meja teman-temanku untuk berpamitan. Sedangkan Saffa, putriku sudah dibawa Mama ke tempat istirahat yang berada di gedung ini. Setelah dari toilet tadi, Saffa tidur dan dipindahkan ke ruangan khusus yang memang untuk tidur. "Kagak nyangka gue, ternyata elu emang orang kaya, Lin. Maafin, ya selama kerja suka dengan berani nyuruh-nyuruh elu," ujar Mbak Maya saat aku mengahampiri meja mereka. "Enggak apa-apa, Mbak. Santai saja. Dulu, kan kita sama. Sama-sama buruh pabrik.""Iye, tapi tetep aja rasanya gue enggak sopan, gitu.""Santuy," ujarku lagi menghapus ketidaknyamanan mereka. Setelah berbasa-basi, kami pun keluar da
Read more
Bab 25
"Itu perempuan kenapa maen tampar-tampar aja sih? Aduh, merah banget. Sakit, ya, Al?" tanya Mama seraya mengusap pipiku."Lumayan, Mah.""Kenapa gak balas tampar lagi, sih?" "Di sana banyak orang mah, aku diliatin. Ya, kalau yang lihat cuma karyawan Papa doang. Kalau rekan bisnisnya? Aku gak mau bikin Papa malu.""Si Papa juga, anaknya ditampar bukannya laporin tuh orang ke keamanan biar dibawa ke polisi, malah disuruh pulang doang." Lagi-lagi Mama menggerutu. "Papa mana tahu kalau dia nampar Alina. Yang Papa lihat, waktu dia dorong Alina saja. Enggak tahu cerita awalnya gimana.""Kan, sekarang udah tahu cerita sebenarnya, tindak, dong.""Mah, sudahlah." Aku menengahi perdebatan Mama dan Papa. "Bukan sudah-sudah, Al. Kebiasaan. Itu kekerasan namanya. Bisa, kok dipidanakan," tutur Mama lagi terus mengompori. Aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Emosi Mama sedang naik. Dia tidak terima dengan perlakuan Amira tadi di parkiran. Mama juga menyuruhku untu
Read more
Bab 26
Papa menyuruh Bi Narsih untuk mengambilkan ponsel miliknya. Kata Papa, ia akan menelepon polisi serta keamanan perumahan tempat kami tinggal. Selang beberapa menit, keamanan datang dengan diiringi suara sirine polisi. Aku serta keluargaku keluar dari rumah untuk menemui mereka. Tetangga yang mendengar adanya polisi, mereka pun datang melihat apa yang terjadi di sini. "Mbak Alina, ada apa? Tadi, Ibu mendengar suara kaca pecah," tanya tetangga rumahku. "Itu, Bu. Ada yang lempar batu.""Ya Allah ... teror?" ujar wanita tambun berkulit putih itu seraya melihat ke arah kaca yang sudah berserakan. Polisi menanyai Papa mengenai kronologi kejadian dan waktu kejadian. Satu dari mereka pun memotret serta memvideokan kaca yang berserakan di lantai untuk bukti. Aku menyuruh Bi Narsih membuatkan minuman untuk tamu yang datang, sementara aku masuk ke dalam rumah ingin melihat Saffa. Pikiranku masih terus mencari siapa dalang dibalik teror itu. Tapi, otakku tidak menemukan orang lain selain B
Read more
Bab 27
Mendengar teriakanku, Mama langsung datang terpogoh-pogoh. Begitu pun penjaga di luar, mereka buru-buru menghampiriku."Kenapa, Al?" tanya Mama. "Ular, isi kotak itu ular!""Ular? Mana sekarang?" Salah satu penjaga bertanya padaku. "Ke sana, ke samping sofa." Aku menunjuk ke mana perginya hewan itu. Sumpah demi apa pun, aku sangat syok setelah membuka kotak tadi. Tanganku refleks menjatuhkannya hingga ular itu merayap ke sembarang arah. Dua penjaga langsung mencarinya. Aku bergidik ngeri saat ular itu keluar dari persembunyiannya dan merayap menghindari tangkapan dua pria serta Bi Narsih yang memegang gagang sapu. Setelah beberapa lama mencari dan menikung hewan panjang itu, penjaga rumah berhasil menangkapnya. Mereka langsung membawanya keluar untuk dibuang. Aki tidak bisa membayangkan bagaimana jika tadi aku membawa kotak itu ke Mama. Dibuka putriku yang tengah bermain. "Mama harus menelepon Papa," ucap Mama masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Aku menyusulnya dan langsung mas
Read more
Bab 28
Benar, aku sudah sampai di depan kafe Mutiara. Dan dari sini aku bisa melihat jika Mas Haikal masih berada di dalam sana. Duduk di dekat kaca. "Ini uangnya, Pak. Terima kasih," ucapku seraya turun dari dalam taksi. Dengan mata yang terus melihat ke sana kemari, aku pun langsung masuk ke dalam kafe. Menghampiri Mas Haikal yang melihat ke arahku dengan ekspresi tidak bersahabat. Wajahnya terlihat kusut dengan kantung mata yang menghitam. Tidak tidurkah dia semalam? "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi."Tolong hentikan semuanya."Mas Haikal mengerutkan kening seraya menatapku lekat. Aku pun sama. Menatap mata itu lamat-lamat. "Apa maksudmu hentikan semuanya?" tanyanya kemudian. "Kamu tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" kataku. "Bagaimana aku akan mengerti jika kamu tidak mengatakan duduk masalahnya. Langsung memintaku menghentikan sesuatu, yang aku pun tidak tahu apa perbuatanku."Ini." Aku memperlihatkan layar ponsel yang menyala ke arahnya. Sebu
Read more
Bab 29
Aku membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan yang masih sedikit buram. Beberapa kali mengerjapkan mata, menajamkan penglihatan. Asing. Aku tidak tahu ada di mana. Tapi, tidak seperti penyekapan ataupun tempat penyanderaan. Ini seperti rumah sakit. Aku berniat untuk bangun, mencari tahu keberadaanku di sini. Namun ...."Aw." Aku memekik saat kurasakan sakit di leher bagian belakang. Kubaringkan kembali tubuhku untuk menghilangkan rasa sakit itu."Non, Alina." Adi menyibak gorden, lalu menghampiriku.Melihat kedatangan Adi, aku merasakan kelegaan yang teramat sangat. Itu artinya, aku tidak bersama peneror itu. "Di, aku di rumah sakit?" tanyaku pada supir itu. "Di klinik, Non." Ia mengambilkan air minum, lalu memberikannya padaku."Tadi ada yang memukul aku, Di. Apa orang itu Mas Haikal?" tanyaku lagi ingin tahu. Adi duduk di kursi plastik tepat di samping ranjangku. Ia pun menceritakan apa yang terjadi setelah aku keluar dari kafe. Seperti dugaanku, aku diikuti oleh seorang pr
Read more
Bab 30
Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berdiri di balkon kamar seraya mengadahkan tangan. Menikmati rintik yang menggelitik. Aku menoleh ke bawah, di mana ada gadis kecil yang berdiri dengan tangan ia ulurkan keluar dari sela railling balkon. Ia sangat senang bisa menikmati air hujan meskipun hanya tangan saja yang dibasahi. "Mama, boleh tidak Caffa ujan-ujana?" tanya putriku dengan mata yang mengerjap. "Boleh. Tapi, nanti jika Saffa sudah besar, ya? Sekarang, Saffa masih kecil, Mama takut Saffa jatuh dan kedinginan.""Kalau sama ayah, boleh?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan putriku. Mungkinkah Saffa merindukan ayahnya hingga bertanya demikian?Aku menarik tanganku. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Saffa. "Kenapa, Saffa nanya gitu?" Aku mengusap kedua pipi yang basah terkena cipratan air hujan. "Caffa hanya mau main air hujan cepelti itu, Mah." Aku mengikuti telunjuk Saffa yang menunjuk ke bawah. Di sana, tepatnya di jalan depan rumah ada seorang anak seusia dia ya
Read more
PREV
123456
...
41
DMCA.com Protection Status