All Chapters of Salah Kirim Paket: Chapter 121 - Chapter 130
140 Chapters
Titik Terang
Pov Alia"Bagaimana, Bang?" Kulirik Bang Rizal. Lelaki yang masih memakai setelah jas itu hanya diam membisu."Showroom yang di Surabaya masih diurus orang kepercayaan Abang tapi ....""Tapi apa?""Ini buahnya, Mbak." Bi Asih meletakkan satu piring berisi buah yang sudah di potong kecil-kecil. Sambil menungggu jawaban Bang Rizal, kumasukkan satu persatu buah itu ke mulut. "Kenapa diam, Bang?" "Itu showroom mobil yang ada di sini akan diurus Bisma. Abang hanya perlu mengawasi saja."Aku menghembuskan napas perlahan, kutahan emosi yang hampir saja meledak. Ternyata perkataan Mia benar. "Abang percaya dengannya?" Kutatap lekat netranya. "Tentu, Sayang. Abang yakin showroom itu akan bertambah pesat jika dikelola oleh Bisma," ucapnya berapi-api. Aku hanya menanggapi datar ucapan Bang Rizal. Rasa tak percaya justru semakin melekat. Pasti ada udang dibalik batu. "O, iya. Maaf tanpa bertanya abang sudah memasukkan Kartika ke dalam perusahaan mama. Dia kompeten kok, Al. Abang mengenaln
Read more
Rizal Tahu
Aku semakin yakin jika lelaki yang ia bicarakan adalah Mas Alvan. "Maaf, Bu. Apa lelaki yang tadi ibu bicarakan bernama Alvan?" tanyaku membuat mama mengernyitkan dahi. "Waduh, saya lupa tanya, Mbak. Pria itu juga lupa tidak menyebutkan namanya. Saya tidak percaya dengannya sehingga saya tidak terlalu menanggapi, Mbak."Aku tak menyerah, segera kubuka akun media sosial Mas Alvan. Kuberikan foto Mas Alvan yang digunakan sebagai foto profil. "Orangnya ini bukan, Bu?" Kuberikan ponsel kepada ibu panti. "Iya benar, Mbak."Ternyata dugaanku tak salah. Anak yang mereka bicarakan adalah Aira. Ya Allah... Terima kasih atas titik terang yang Engkau berikan. "Kalau boleh tahu siapa yang mengadopsi anak itu, Bu?""Maaf, Mbak. Itu menyalahi prosedur."Aku harus meyakinkan ibu panti, bagaimana pun caranya. "Ini maksudnya bagaimana? Mama kok tidak mengerti.""Anak yang mama bicarakan itu anak Mas Alvan dan Mega.""Apa!" Mama melotot, raut tak percaya tergambar jelas di sana. Mama memang tah
Read more
Ajakan Makan Siang
"Lalu apa alasan kamu membebaskan Alvan?" Bang Rizal menatapku tajam. "Dari mana Abang tahu?""Itu tidak penting, yang terpenting apa alasan kamu membebaskan Alvan tanpa berunding denganku dulu. Aku ini suami kamu, Al. Aku berhak tahu sebelum kamu membuat keputusan." Bang Rizal menjatuhkan bobot di atas ranjang. Kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Tak mungkin aku katakan sejujurnya. Bang Rizal tak akan percaya jika sahabatnya adalah musuh dalam selimut. Kecuali aku bisa bawakan bukti jika Kartika dan Bisma memiliki niat buruk. Namun untuk saat ini aku harus bersabar. "Aku tak tega melihat Mas Alvan kebingungan memikirkan anaknya dan Syasya yang hilang entah ke mana. Kukira hukuman sudah cukup untuk memberinya pelajaran."Entah Bang Rizal akan percaya atau tidak. Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku. "Kamu masih memiliki perasaan sama dia?"Astaga, kenapa jadi panjang seperti ini. Apa aku salah bicara? "Kalau aku masih memiliki perasaan pada Mas Alvan kenapa aku ma
Read more
Telepon Alvan
"Alia." Aku berjalan mendekat lalu meletakkan lunch box di atas meja tepat di hadapan Kartika. "Tak perlu repot-repot Kartika, aku sudah masak untuk Bang Rizal." Aku peluk leher Bang Rizal dari belakang. Seketika wajah wanita itu memerah. Dia pasti cemburu? Sudahlah jangan bermimpi terlalu tinggi. Sakit, kan jika terhempas seperti ini? "Saya keluar dulu, Pak, Bu." Kartika keluar dengan amarah yang memuncak. Rasakan, keberadaanmu di sini tak akan lama. "Maaf untuk yang kemarin, Sayang. Abang cemburu." Bang Rizal menarik tanganku hingga aku duduk di pangkuannya."Aku juga minta maaf, Bang. Karena tak mengatakan pada abang terlebih dahulu."Dia mengangguk kemudian mengecup bibir ini. Harum tubuhnya bagai aroma terapi yang menenangkan. Tak bisa dipungkiri rasa rindu. "Mataku ternoda!" Seketika kujauhkan wajah bahkan tangan ini terlepas begitu saja. "Mia!"Dia kembali menutup pintu sambil tertawa puas. Dasar sekretaris menyebalkan! "Kamu yang masak sendiri, Lin?" tanya Bang Rizal.
Read more
Memergoki
Pov RizalRutinitas kantor sering kali membuatku jenuh. Semenjak Alia di rumah, semangatku ke kantor seakan hilang. Meski sebenarnya aku sendiri yang menginginkan ini. Aku tersentak mendengar nada dering panggilan masuk. "Assala ....""Zal, makan siang bareng, yuk!" Bisma memotong salam yang hendak aku ucapakan. Anak itu memang selalu lupa mengucapkan salam ketika menelepon. Berulang kali aku ingatkan tetapi selalu dianggap angin lalu. Akhirnya aku menyerah. Kepribadian dan watak seseorang memang sulit dirubah. Namun memberi motivasi agar mereka berubah tidak salah, kan? Justru itu sebuah keharusan. "Oke, baiklah. Kirim saja alamatnya.""Siap, Bro!"Panggilan dimatikan sepihak, lagi dan lagi tak ada kalimat salam diakhir percakapan. Tanpa menunggu lama sebuah pesan masuk, alamat restoran sudah kudapatkan. Saatnya mengistirahatkan pikiran walau sejenak. "Mia, aku keluar dulu.""Bang Rizal... Eh, Pak Rizal mau ke mana?"Anak ini sudah kukatakan berulang kali untuk memanggilku Pak
Read more
Menemui Alvan
"Apa yang kamu lakukan di sini, Alia?""Ba-Bang Rizal."Alia menoleh ke belakang, keringat dingin, wajah tengang tergambar jelas di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini bersama Alvan, Alia?" ucapku penuh penekanan. Tangan mengepal, gigi gemeretak, amarah sudah meluap ke ubun-ubun. Dia berjanji tak akan menemui Alvan tapi nyatanya? "Istri kamu selingkuh, Zal," ucap Kartika memprovokasi. "Diam kamu! Jangan ikut campur urusan orang!" Kartika mencebik lalu membuang pandang ke arah lain. "Ayo pulang, Al!" Aku tarik tangannya hingga ia meringis kesakitan. "Lepas, Zal! Jangan menyakiti Alia!""Apa urusanmu, dia istriku!" "Tapi aku masih mencintainya!" Ada yang terbakar saat mendengar ucapan Alvan. Meski dari awal aku tahu masih ada cinta dari sorot mata itu. Namun mendengarnya langsung bagai ribuan pisau tertancap di sini, di hati. "Ayo pulang, Al!"Kukendurkan cengkeraman tapi tak melepasnya. Alia hanya diam, melangkah mengikutiku dengan tetes-tetes air mata yang jatuh membasahi pi
Read more
Bertemu Syasya
Pov AliaAku tak tahu harus bagaimana, berbagai cara sudah kulakukan. Namun hingga detik ini tak kudapatkan titik terang. Detektif yang kusewa belum juga menemukan keberadaan Syasya. Entah ke mana perginya anak itu? Dia seolah hilang di telan bumi. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan segera menyelesaikan masalah ini. Aku lelah berperang seorang diri. Usia kandunganku sudah tiga bulan, sebentar lagi memasuki bulan ke empat. Tak terasa waktu berjalan cepat. Rasa mual yang selalu melanda telah berganti dengan lapar yang datang tanpa permisi. Bayangan makanan selalu datang menghampiri, membuat rasa lapar kian menjadi. Seperti inikah rasanya berbadan dua? Menonton televisi sudah menjadi suatu kebiasaan untuk menghilangkan penat. Apa lagi jika mama tak mengajakku pergi ke yayasan. Ingin ke kantor tapi sedang mengibarkan bendera perang dengan Bang Rizal. Ah, sungguh menyebalkan! Sebuah iklan mie instan membuat air liurku menetes dengan sendirinya. Bayangan kenikmatan mie rasa soto denga
Read more
Gagal
Aku harus kembali masuk ke rumah sakit. Tapi bagaimana caranya? "Ayo, Al! Kenapa diam begitu?" Bang Rizal menyentuh pundak. Membuatku sedikit terkejut. "Aduh ... Du ... Duh." Kupegangi perut. "Kamu kenapa, Al?" Bang Rizal mengelus perut, pundak, bahkan sekujur tubuhku ia pegang. Bahkan ia tampak begitu mengkhawatirkan diriku. Maaf, ya, Bang. Aku terpaksa melakukan ini. Aku harus menemukan Sayasya terlebih dahulu. Setelah itu tak akan ada kebohongan di antara kita. "Kita ke dokter, ya, Al."Gawat, bisa ketahuan jika aku hanya berpura-pura. "Aku pegen buang air besar, Bang." Lagi kubergaya seperti orang yang menahan hasrat ke belakang. "Ya sudah, ayo!" Bang Rizal menuntunku. Namun segera kutepis tangan kekar itu. "Kenapa?" Dia menatapku heran"Bau, Bang. Abang tunggu di dalam mobil aja. Nanti aku nyusul." Kuberikan vitamin dan tas. "Tolong bawakan, Bang.""Yakin?"Aku mengangguk lalu melangkah meninggalkannya. Setelan kurasa awan, tangan yang sedari tadi memegangi perut kulepa
Read more
Bertemu Syasya
"Abang bicara dengan siapa?""A-Alia.""Abang bicara dengan siapa?" tanyaku lagi. "Bicara dengan rekan kerja. Kamu terbangun, Al?" tanyanya sedikit gugup. "Buang air kecil, tapi Abang gak ada di kamar. Jadi aku mencari ke sini." "Ayo tidur lagi." Bang Rizal menuntunku ke kamar. Rasa kantuk membuatku menurut tanpa bertanya lebih jauh lagi. Meski dalam hati berkecamuk rasa penasaran dengan siapa ia berbicara.Seperti anak kecil aku meringkuk di pelukan Bang Rizal. Bahkan tangannya kujadikan bantalan. Inilah posisi ternyamanku. ***Aku sudah siap, tak lupa kubawa kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Berjalan perlahan menuju depan. Kali ini tak ada drama, karena mama dan Pak Supri sudah mengetahui semuanya. Mobil melaju menuju rumah sakit. Rasa penasaranku masih tinggi. Apa benar Syasya berada di sana? Hanya Syasya satu-satunya kunci kejahatan Bisma dan Kartika. Mas Alvan yang kuharapkan justru tak memberi kabar. Percuma aku membantunya bebas. Hem. Jalanan lancar di jam s
Read more
Tertangkap
Perasaanku tak enak, bayangan kehancuran perusahaan berada di depan mata. Pasti mereka menginginkan harta kami. Sama seperti pengkhianat pada umumnya. "Hati-hati, Mbak," ucap Syasya saat kulajukan kendaraan mobil sedikit cepat. Mobil kuparkirkan sembarangan. Dengan cepat kami melangkah menuju ruang meeting yang ada di lantai atas. "Pelan, Mbak! Mbak sedang hamil, lho!"Aku mengabaikannya. Langkahku justru kian cepat. Tak sabar kubongkar kebusukan Bisma dan Kartika. Pintu kudorong dari luar. Tiga orang menatap heran ke arah kami. "Stop! Jangan tanda tangani surat itu!"Kartika dan Bisma saling pandang, raut tegang tergambar jelas di sana. Mereka seperti kucing yang terpergok mencuri ikan asin. "Kamu kenapa, Al?" tanya Bang Rizal bingung. Tanpa menjawab kurebut dua kertas di atas meja. Aku baca kata demi kata yang tertulis di sana. Benar dugaanku, mereka ingin mengambil showroom mobil dan menilap uang perusahaan dalam jumlah besar. "Baca ini, Bang! Jangan asal tanda tangan kalau
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status