"Apa yang kamu lakukan di sini, Alia?""Ba-Bang Rizal."Alia menoleh ke belakang, keringat dingin, wajah tengang tergambar jelas di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini bersama Alvan, Alia?" ucapku penuh penekanan. Tangan mengepal, gigi gemeretak, amarah sudah meluap ke ubun-ubun. Dia berjanji tak akan menemui Alvan tapi nyatanya? "Istri kamu selingkuh, Zal," ucap Kartika memprovokasi. "Diam kamu! Jangan ikut campur urusan orang!" Kartika mencebik lalu membuang pandang ke arah lain. "Ayo pulang, Al!" Aku tarik tangannya hingga ia meringis kesakitan. "Lepas, Zal! Jangan menyakiti Alia!""Apa urusanmu, dia istriku!" "Tapi aku masih mencintainya!" Ada yang terbakar saat mendengar ucapan Alvan. Meski dari awal aku tahu masih ada cinta dari sorot mata itu. Namun mendengarnya langsung bagai ribuan pisau tertancap di sini, di hati. "Ayo pulang, Al!"Kukendurkan cengkeraman tapi tak melepasnya. Alia hanya diam, melangkah mengikutiku dengan tetes-tetes air mata yang jatuh membasahi pi
Pov AliaAku tak tahu harus bagaimana, berbagai cara sudah kulakukan. Namun hingga detik ini tak kudapatkan titik terang. Detektif yang kusewa belum juga menemukan keberadaan Syasya. Entah ke mana perginya anak itu? Dia seolah hilang di telan bumi. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan segera menyelesaikan masalah ini. Aku lelah berperang seorang diri. Usia kandunganku sudah tiga bulan, sebentar lagi memasuki bulan ke empat. Tak terasa waktu berjalan cepat. Rasa mual yang selalu melanda telah berganti dengan lapar yang datang tanpa permisi. Bayangan makanan selalu datang menghampiri, membuat rasa lapar kian menjadi. Seperti inikah rasanya berbadan dua? Menonton televisi sudah menjadi suatu kebiasaan untuk menghilangkan penat. Apa lagi jika mama tak mengajakku pergi ke yayasan. Ingin ke kantor tapi sedang mengibarkan bendera perang dengan Bang Rizal. Ah, sungguh menyebalkan! Sebuah iklan mie instan membuat air liurku menetes dengan sendirinya. Bayangan kenikmatan mie rasa soto denga
Aku harus kembali masuk ke rumah sakit. Tapi bagaimana caranya? "Ayo, Al! Kenapa diam begitu?" Bang Rizal menyentuh pundak. Membuatku sedikit terkejut. "Aduh ... Du ... Duh." Kupegangi perut. "Kamu kenapa, Al?" Bang Rizal mengelus perut, pundak, bahkan sekujur tubuhku ia pegang. Bahkan ia tampak begitu mengkhawatirkan diriku. Maaf, ya, Bang. Aku terpaksa melakukan ini. Aku harus menemukan Sayasya terlebih dahulu. Setelah itu tak akan ada kebohongan di antara kita. "Kita ke dokter, ya, Al."Gawat, bisa ketahuan jika aku hanya berpura-pura. "Aku pegen buang air besar, Bang." Lagi kubergaya seperti orang yang menahan hasrat ke belakang. "Ya sudah, ayo!" Bang Rizal menuntunku. Namun segera kutepis tangan kekar itu. "Kenapa?" Dia menatapku heran"Bau, Bang. Abang tunggu di dalam mobil aja. Nanti aku nyusul." Kuberikan vitamin dan tas. "Tolong bawakan, Bang.""Yakin?"Aku mengangguk lalu melangkah meninggalkannya. Setelan kurasa awan, tangan yang sedari tadi memegangi perut kulepa
"Abang bicara dengan siapa?""A-Alia.""Abang bicara dengan siapa?" tanyaku lagi. "Bicara dengan rekan kerja. Kamu terbangun, Al?" tanyanya sedikit gugup. "Buang air kecil, tapi Abang gak ada di kamar. Jadi aku mencari ke sini." "Ayo tidur lagi." Bang Rizal menuntunku ke kamar. Rasa kantuk membuatku menurut tanpa bertanya lebih jauh lagi. Meski dalam hati berkecamuk rasa penasaran dengan siapa ia berbicara.Seperti anak kecil aku meringkuk di pelukan Bang Rizal. Bahkan tangannya kujadikan bantalan. Inilah posisi ternyamanku. ***Aku sudah siap, tak lupa kubawa kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Berjalan perlahan menuju depan. Kali ini tak ada drama, karena mama dan Pak Supri sudah mengetahui semuanya. Mobil melaju menuju rumah sakit. Rasa penasaranku masih tinggi. Apa benar Syasya berada di sana? Hanya Syasya satu-satunya kunci kejahatan Bisma dan Kartika. Mas Alvan yang kuharapkan justru tak memberi kabar. Percuma aku membantunya bebas. Hem. Jalanan lancar di jam s
Perasaanku tak enak, bayangan kehancuran perusahaan berada di depan mata. Pasti mereka menginginkan harta kami. Sama seperti pengkhianat pada umumnya. "Hati-hati, Mbak," ucap Syasya saat kulajukan kendaraan mobil sedikit cepat. Mobil kuparkirkan sembarangan. Dengan cepat kami melangkah menuju ruang meeting yang ada di lantai atas. "Pelan, Mbak! Mbak sedang hamil, lho!"Aku mengabaikannya. Langkahku justru kian cepat. Tak sabar kubongkar kebusukan Bisma dan Kartika. Pintu kudorong dari luar. Tiga orang menatap heran ke arah kami. "Stop! Jangan tanda tangani surat itu!"Kartika dan Bisma saling pandang, raut tegang tergambar jelas di sana. Mereka seperti kucing yang terpergok mencuri ikan asin. "Kamu kenapa, Al?" tanya Bang Rizal bingung. Tanpa menjawab kurebut dua kertas di atas meja. Aku baca kata demi kata yang tertulis di sana. Benar dugaanku, mereka ingin mengambil showroom mobil dan menilap uang perusahaan dalam jumlah besar. "Baca ini, Bang! Jangan asal tanda tangan kalau
Kartika dan Bisma diseret oleh polisi keluar dari ruangan ini. Aku mematung, masih bingung dengan kejutan yang Bang Rizal berikan. Bukankah dia begitu percaya dengan mereka. Tapi kenapa tiba-tiba.... "Kenapa, kamu bingung?" Bang Rizal menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Perlahan ia mengajakku duduk di sofa. Aku lirik Syasya yang berdiri dengan kebingungan tergambar di wajahnya. "Duduk, Sya! Cepek berdiri terus!" Syasya mengangguk kemudian menjatuhkan bobotnya tepat di sampingku. "Kenapa polisi bisa ke sini, Bang?""Alvan memberitahu semuanya. Dia menunjukkan bukti jika Kartika dan Bisma bersekongkol untuk menghancurkan keluarga kita.""Mas Alvan? Bukankah ia bersekongkol dengan mereka? Dia juga berniat menghancurkan keluarga kita, kan?"Aku tak percaya dengan perkataan Bang Rizal barusan. Benarkah Mas Alvan melakukan itu? "Semua demi Aira karena Aira berada di tangan Kartika."Ya, aku baru ingat jika putri Mas Alvan berada di rumah itu. Kenapa aku tak berpikiran sejauh itu? Asta
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama