All Chapters of Tumbal Pengantin Iblis: Chapter 41 - Chapter 50
88 Chapters
41. Hukuman Kepala Sekolah (Part-2)
Samar-samar aura hitam pekat kembali muncul mengelilingi ruangan tersebut menghampiri Kalina. Ketika aura hitam itu hampir mendekat ke arahnya dengan sigap kepala sekolah mencengkeram aura hitam tersebut dengan kedua tangan. "Kalian pikir aku tidak bisa melihat kehadiran kalian?" geram kepala sekolah. Phesh! Aura hitam itu kemudian lenyap. "Hanya para kroco-kroco kecil, hei tampakkan dirimu yang sesungguhnya jangan jadi pengecut dengan menyuruh anak buahmu yang lemah itu!" cibir kepala sekolah. Dengan perasaan bimbang kepala sekolah keluar ruangan tersebut. "Hah ... bikin cemas saja." Kepala sekolah memutuskan kembali ke dalam ruangan, dia duduk di kursi tempatnya bekerja. Kedua matanya kembali menatap Kalina yang dengan nyenyak tidur nyaman di seberang sana. "Astaga, aku bisa gila!" umpatnya mengacak-acak rambut frustrasi. Bagaimana dia bisa tidur nyenyak dalam satu ruangan bersama gadis tanpa dosa ceroboh itu. Malam semakin larut, dengan susah payah lelaki itu ber
Read more
42. Peringatan Lelaki Itu
Kalina sedang merapikan buku bacaan yang baru saja dia baca. "Ceritanya romantis sekali," ujar Kalina yang hendak meraih satu buku lagi. Saat ini gadis itu tengah berada di perpustakaan. Gadis tersebut berjinjit sedikit untuk meraih buku di rak atas. Tidak sampai. Hingga sebuah tangan berjas meraihnya. Kalina menoleh ke arah samping, seorang pria gagah bertubuh tinggi berdiri menjulang. Kalina terlihat hilang jika dilihat dari belakang si pria. Kedua netra mereka saling bertemu pandang. Kalina yang selalu tidak tahan godaan akan ketampanan lelaki pun mengerjap-ngerjapkan mata seraya menetralkan jantung yang sedari tadi bergemuruh. 'Luar biasa tampan,' cicitnya. "Kau mau buku ini?" tanya sang lelaki. "Ah, Pak Kepala Sekolah, iya," jawab Kalina hendak meraih buku yang dipegang lelaki gagah tersebut. Namun, sang lelaki menarik tangannya hingga Kalina juga menarik kembali ulurannya. Lelaki itu mencondongkan tubuh, sontak Kalina bergerak refleks meleba
Read more
43. Rasa Cinta yang Tumbuh
'Kenapa kamu tidak berusaha menahanku Kalina. Atau memang orang yang kamu cintai itu bukanlah aku melainkan orang lain,' protes Elang dalam hati. "Kenapa, kamu tak rela aku pergi, naksir aku ya?" seloroh Elang berusaha bercanda dengan mengedip-kedipkan mata sok imut. "Apaan sih, pd banget. Kamu ngapain itu ngedip-ngedipin mata, cacingan ya?" celetuk Kalina. "Gak, bukan cacingan tapi lagi wasir," jawab Elang sekenanya. "Oh itu gampang, minum saja obat nyamuk, pasti cepat," celoteh Kalina. "Cepat melayang maksudnya, sungguh jahat dikau Kalina," timpal Elang dengan candaan. Keduanya tertawa cekikikan. Rasa bahagia hanya hinggap sesaat, tidak dapat terlukis dengan kata, dan rasa sedih yang datang bersamaan. Bergelayut penuh sesak di dalam dada. Sebuah perpisahan yang tak terbayangkan sebelumnya. Waktu terasa berjalan begitu cepat, hingga tanpa sadar keduanya telah sampai di depan pintu asrama Kalina. Selama berjalan-jalan tadi, Kalina juga sempat menceritakan peri
Read more
44. Hilang
Sayup angin berembus menerpa, menerbangkan rambut. Atma dipenuhi kecemasan, tatapan sayu dan ragu. Raut wajah tidak mengenakkan. Tidak pernah Elang merasakan gundah gulana seperti ini sebelumnya. Kecuali beberapa ratus tahun lalu ketika sang cinta pertama pergi jauh meninggalkannya. Rasa sesak bergemuruh bergejolak memenuhi sukma. Awalnya Elang berpikir hati gundah lantaran menanti jawaban dari pernyataan cinta untuk Kalina tadi. Namun, saat ini ia merasa lebih cemas, wajah gadis itu muncul dalam benak, ketika gadis itu menangis, rasanya hati ikut teriris sedih. Atau ketika gadis itu tertawa lepas, hatinya jauh lebih bahagia melebihi apa pun. "Hah, kenapa aku jadi seperti remaja yang menanti jawaban cinta begini?" Elang menertawakan diri sendiri. Pemuda itu duduk di kursi yang berada di bawah lampu penerangan taman sekolah. "Elang!" teriakan Reza membuyarkan wajah Kalina dalam lamunan Elang. Begitu menggelegar mengusik pendengaran. Dia menoleh ke arah suara, Reza terlihat be
Read more
45. Penculikan Kalina
Mereka berjalan menuju ke kamar asrama, dengan cekatan Reza membuka pintu kamar, tetapi tidak didapati Kalina di sana. Mereka celingukan kebingungan. Alinsia mencoba menghubungi Kalina. Namun, tidak tersambung, hanya layanan mailbox dari operator yang terdengar. "Sekarang kita harus bagaimana?" tanya Alinsia, mereka menampakkan wajah kekhawatiran yang sama. "Kita berpencar mencari Kalina, pastikan ponsel kalian aktif agar kita dapat saling bertukar kabar," usul Rando. "Tumben otakmu encer," celetuk Reza. "Maaf keceplosan," lanjut Reza. Elang tidak tinggal diam, dia yang merasa semakin khawatir mengeluarkan sayapnya bercahaya putih kebiruan menyilaukan mata. Reza, Alinsi dan Rando sekejap berhenti berdebat. Mulut mereka menganga lebar, terkagum-kagum tidak percaya. Semua terlihat seperti mimpi menakjubkan, membuat ketiganya bengong berjamaah. "Rasanya mirip mimpi yang tidak nyata," ucap Rando masih melongo. Plak! Tanpa aba-aba dan basa-basi Alinsia menampar
Read more
46. Menyelamatkan Kalina
Kalina digiring ke sebuah tempat luas, di mana di tengah ada batu besar panjang, dan disetiap sudut terdapat obor mengelilingi tempat itu tampak seperti altar. Dan Kalina adalah tumbal persembahan tersebut. Tubuh Kalina dibaringkan di atas batu yang tingginya hanya selutut itu. Kakek tua menyalakan lilin yang berjajar di seluruh pinggiran batu, jika bergerak sedikit saja, tubuhnya pasti akan terbakar api. Mulut kakek tua itu komat kamit, entar apa yang ia rapalkan sembari membakar kemenyan berjalan memutari tubuh Kalina. Diletakkan kemenyan itu di bawah kaki Kalina, diambil bunga tujuh rupa yang ada di samping kemenyan, ditaburkan bunga basah itu di sekujur tubuh Kalina. "Tidak kusangka permata bangsa siluman itu benar-benar bersemayam di dalam tubuhmu. Kekuatan besar yang menyeret dan membawaku sampai kemari. Tidak akan aku biarkan begitu saja. Lama kami telah menantikan dan mencari permata yang dulu kami kira hilang dan lenyap, tapi sekarang ada di depan mata." Suara lelaki tua
Read more
47. Tumbal Pengantin Iblis
Angin yang berembus kencang perlahan kembali normal. Suara binatang malam penunggu hutan kembali nyaring terdengar. Kakek tua itu mengeluarkan sebilah keris dari saku jubahnya. Dia kembali komat-kamit membaca mantra dengan mata tertutup. Aki Harsa membuka mata, mengarahkan keris tersebut tepat ke dada Kalina, yang terbaring tidak berdaya. Tiba-tiba sebuah cahaya terang menyilaukan muncul mengagetkan. Aki tua tersebut menyipitkan mata dan menutup dengan lengan tangan demi menghindari pantulan cahaya menyilaukan. Cahaya terang itu kembali terbang melesat ke atas langit, kembali gelap bersamaan dengan permata dan tubuh Kalina yang ikut lenyap dari pandangan. "Sial!" pekik kakek tua tersebut geram. "Tumbal pengantin iblisku, kembalikan!" Ki Harsa semakin meradang, kepala mendongak melihat kanan kiri. Gerakan cahaya tadi begitu cepat, dia tidak sempat melihat sosok yang membawa tubuh Kalina dan Permata Aurora. "Kalian bertiga, ayo pergi kejar dia!" suruhnya pada Natalia dan ka
Read more
48. Sayap-sayap Cinta
Elang berhenti di atas atap gedung sekolahnya, dibaringkan tubuh lemas Kalina dengan perlahan. Ketakutan yang selama ini hinggap di hati menjadi nyata. Tubuh orang yang ia cintai berbaring tidak berdaya, gelapnya malam seolah ikut mengiringi rintihan hati. "Maaf Kalina aku gagal melindungimu," tetesan air mata Elang jatuh membasahi kelopak mata Kalina. Elang menarik napas dalam diciumnya bibir Kalina, memasukkan kembali permata tersebut ke dalam tubuh gadis yang ia cintai. Dia juga menyalurkan energi kehidupan miliknya ke dalam tubuh Kalina. Tidak lama, Elang menarik wajah yang kini mendadak pias. Tubuh siluman tampan itu terasa remuk redam, jiwa terasa hampir lenyap masuk ke dalam tubuh Kalina, wajahnya memucat. Dia menunggu beberapa saat, betapa bahagia Elang ketika kelopak mata Kalina mulai bergerak-gerak. "Elang," lirih Kalina. "Kalina, bagaimana perasaan kamu sekarang, sudah lebih baik, kah?" ujar Elang membimbing Kalina duduk. "Aku rasa begitu."
Read more
49. Serpihan Hati
Tubuh Gavin (Elang) dalam pelukan Kalina perlahan terangkat dengan sendiri. Seolah-olah melawan gravitasi bumi. Sayap-sayap yang menyatu di balik punggung bersinar lebih cerah dari biasanya. Kalina semakin menangis meraung-raung. Rasa kehilangan menggelayut resah bagai sembilu menusuk hati, menyayat dan mengoyaknya. "Gavin!" teriak Kalina untuk pertama kali memanggil nama Elang yang sebenarnya, memecah keheningan malam. Sayap-sayap Elang berjatuhan satu demi satu beriringan dengan tubuhnya yang mulai melebur menjadi butiran-butiran kecil seperti kristal yang bersinar dan menghilang ketika menyentuh tanah. Kalina menggapai sebuah bulu yang jatuh di telapak tangannya. Digenggam bulu tersebut namun tiba-tiba menghilang begitu saja. Kalina semakin meraung-raung. "Gavin!" teriaknya lagi melihat tubuh pemuda yang dicintai melayang perlahan melebur. Siluman tampan yang bernama Gavin tersebut pergi tanpa menjelaskan hal yang belum dijelaskan, tentang permata, tentang ca
Read more
50. Menentukan Takdir Sendiri (Season 1 Selesai)
Sebuah mobil hitam berhenti di sebuah mansion mewah dekat hutan. Seorang lelaki gagah turun dari mobil lalu mengangkat tubuh seorang gadis yang terlihat tidak sadarkan diri. Seorang wanita ayu mengenakan kebaya putih berjalan anggun mendekati. "Elard, dia—." Wanita itu tercengang melihat gadis tersebut. "Dia Kalina, Ibu," jawab Elard. "Saya akan jelaskan nanti, lebih baik kita masuk sekarang bukan?" Wanita yang dipanggil ibu oleh Elard tersebut menganggukkan kepala. "Ayo!" ajaknya. Kalina, Elard baringkan di sebuah ranjang empuk. Lelaki tersebut kemudian menjelaskan duduk permasalahan. Wanita yang duduk di samping ranjang itu membelai rambut panjang Kalina dengan air mata menetes. "Dia sangat mirip sekali dengan Sekar," ujarnya. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ibu. Aku tadi melihat ibu terkejut saat mendengar nama Gavin," ujar Elard. "Dia kawan lamaku, kau sudah mendengar selalu bukan. Jika aku adalah Anantari, Ratu kerajaan Nigela. Di ma
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status