Semua Bab Istri Seksi Tetangga Sebelah: Bab 101 - Bab 110
133 Bab
101. Takdir
"Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Saya Raka, apa Syamil ada?""Syamil keluar sejak pagi ke rumah mertuanya.""Ya, tadi pagi Syamil memang dari rumah Zahra, tetapi sudah pergi dan saat ini mama saya..."Suara Raka tertahan. "Ada apa, Mas?""Mama saya meninggal karena serangan jantung.""A-apa? M-mamanya Zahra meninggal?""Iya, tolong sampaikan pada Syamil dan keluarganya. Saat ini masih di rumah sakit dan akan dibawa pulang ke rumah.""Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'un. B-baik, Mas, terima kasih atas informasinya. Kami turut berduka cita. Semoga almarhumah husnul khotimah. Yang sabar dan ikhlas ya, Mas.""Baik, terima kasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Nela menutup panggilan dari Raka. Kakinya melangkah cepat menghampiri Bu Umi yang sedang ada di teras depan, sedang menemani Syam bermain di kolam ikan koi. "Mi, eh ... Syamil, saya kirain kamu belum pulang. Ini gawat, Sya." Bu Umi dan Syamil melihat serentak ke arah Nela. "Ada apa, Mbak?" tanya Syamil bingu
Baca selengkapnya
102. Kemarahan Zahra
"Semua ini gara-gara kamu, Syamil! Kamu yang bikin mama aku serangan jantung! Kamu pembunuh Syamil. Aku benci kamu! Aku benci kalian semua! Kenapa kalian datang ke sini? Pergi! Jangan pernah balik lagi ke rumah ini atau menemui saya. Kamu dan keluargamu gak punya hati! Kalian penjahat!" Zahra menunjuk Syamil dan keluarganya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita itu bahkan hendak mencakar dan memukul Syamil karena amarah sudah menguasai hatinya. Untunglah ada banyak saudara dan juga papanya yang berdiri di dekat gadis itu, sehingga bisa menahan tangan dan juga tubuhnya dari amukan. "Zahra, istighfar, Nak! Sudah!" Pak Rahmat menarik Zahra masuk ke kamar karena putrinya berteriak histeris saat tahu Syamil dan keluarganya tiba di rumah duka. Awalnya susah, tetapi ia berhasil juga dimasukkan ke dalam kamar. Suara tangisnya masih pecah, terdengar sampai keluar kamar. "Kamu penjahat, Syamil! kamu pembunuh mamaku. Mama, Mama!" suara Zahra terdengar begitu pilu dan membuat siapa saja
Baca selengkapnya
103. Jumpa
"Sya, kamu tetap di sini'kan?" tanya abah saat mereka hendak pulang. Acara tahlilan sudah selesai dan rumah duka juga sudah sedikit dibersihkan. Hanya tenda dan kursi yang masih terpasang. "Nggak, Bah, Syamil pulang saja. Syamil sudah mengucapkan talak pada Zahra dan Syamil rasa, Zahra juga perlu waktu sendiri. Zahra masih berteriak gak jelas tadi di kamar. Abah dengar suaranyakan?" abah hanya bisa mengangguk pelan. Apa yang dilakukan oleh Syamil menurutnya sangat fatal, tetapi ia juga tahu karakter putranya. Jika tidak darurat dan sebab yang kuat, pasti tidak akan mungkin Syamil menempuh jalan yang paling dibenci oleh Allah. "Pulang aja deh. Lagian lihat saja tadi, semua saudara Bu Tia dan Pak Rahmat melihat kita begitu banget. Kayak kita pembunuh. Padahal umur mah rahasia Allah," komentar Bu Umi. Abah Haji kembali menghela napas. Memang lebih baik saat ini mereka menjauh dulu sampai suasana hati Zahra dan keluarganya tenang. "Udah, Abah gak usah bingung, nanti kita tetap pesanan
Baca selengkapnya
104. Apa yang Terjadi?
"Ternyata kamu beneran Hani adiknya Hadi. Apa kabar?" tanya Nela dengan suara lembut. Hani benar-benar tercengang dengan sosok wanita malam yang pernah datang meminta pertanggung jawaban pada abangnya, tetapi akhirnya diusir(bisa kalian baca di lapak pizzzoh gratis dengan judul "Sepuluh Juta Satu Minggu) Nela benar-benar berubah dan ia hampir tidak mengenali wanita di depannya ini. "Hani," panggil Nela lagi. Hani pun tersentak dari lamunannya. "Eh, iya, Mbak. Mbak sedang apa di sini? M-maksud saya, apa Mbak tinggal dekat sini?" tanya Hani gugup. "Saya tinggal di pesantren. Istri kedua abah haji." Hani kembali mendelik. "A-pa, istri kedua? Bagaimana bisa? Terus anak yang ada dalam kandungan Mbak Nela? S-saya tidak pernah melihatnya. Apa baik-baik saja? Secara tidak langsung anak yang dikandung Mbak Nela waktu itu adalah.... ""Saya keguguran, Hani. Bayi kembar saya tidak bisa diselamatkan.""MasyaAllah kembar?" Hani lagi-lagi memekik karena terkejut dengan kejadian pagi hari yang
Baca selengkapnya
105. Ke mana Zahra?
Raka dan papanya bingung mencari keberadaan Zahra. Lelaki itu menyusul ke makam, mengira Zahra pergi ke makam mamanya karena merasa sedih. Namun, begitu sampai di sana. Tidak ada siapapun. Ponsel Hani kembali berdering. Nama Raka muncul di sana. "Halo, assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaykumussalam, Hani. Apakah Zahra ada di rumah kamu?" Kening Hani mengerut dalam. "Zahra? Gak ada, Mas. Memangnya Zahra ke mana?" "Zahra pergi dari rumah dan bawa HP. Dicari ke makam mama gak ada. Apa kamu tahu kira-kira Zahra pergi ke mana?""Mas sudah telepon Syamil? Coba saja, Mas. Siapa tahu Syamil tahu keberadaan Zahra. Saya gak tahu tempat favorit Zahra, Mas. Maaf ya.""Belum, saya belum telepon Syamil. Males sebenarnya, tapi ya sudah, saya telepon deh."Sambungan itu diputus oleh Raka tanpa ucapan salam. Hani sadar bahwa Raka sedang bingung dan juga cemas, sehingga ia tidak terlalu menanggapi salam penutup yang belum diucapkan Raka ketika mereka selesai bicara. Ke mana Zahra? Ada apa dengannya?
Baca selengkapnya
106. Kantor Polisi
"Gak boleh bawa abang Syam! Abang, masuk! Bial Syam aja yang dibawa! Di sana ada mainan tembakan kan Om Polisi? Syam mau main tembakan," ujar Syam dengan lucunya. Dua anggota polisi tertawa, tetapi tidak dengan wajah Ibnu dan Syamil yang masih sama ketatnya. "Baik, Pak, saya boleh ganti baju dulu. Tidak, maksudnya saya ganti sarung saja." Kedua polisi itu saling pandang. Lalu salah satu diantara mereka mengangguk. "Baik, terima kasih Pak." Syamil pun masuk ke dalam rumah untuk mengganti sarung dengan celana panjang berwarna hitam. Saat ia turun dari tangga, Laila dan abah keluar dari pintu kamar masing-masing. Ibnu yang memberikan pesan pada abah dan kakak Syamil agar segera keluar rumah untuk melihat Syamil dibawa polisi. "Ada apa ini, Sya?" tanya abah bingung. Ada getar pada suaranya. Antara ingin marah dan juga menangis. Syamil mendekati abahnya dan juga Laila. Pemuda itu mencium punggung tangan keduanya. Laila sudah menangis. Ia sempat diceritakan oleh abah tentang ketakutan i
Baca selengkapnya
107. Teguran dari Abah Haji
Kring! Kring! Telepon rumah Zahra berdering. Pak Rahmat berbalik badan, masuk ke dalam rumah untuk mengangkat panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba ia berbalik lagi. "Zahra, Raka, kita harus bicara dan selesaikan masalah ini. Kamu gak boleh masuk ke dalam kamar, Ra!" Pak Rahmat memberikan pesan dengan wajah serius. Zahra ikut masuk dan langsung duduk di kursi tamu. Disusul Raka yang duduk tidak jauh dari Zahra. Pria itu masih bungkam. Satu sisi ia keberatan dengan tindakan nekat yang Zahra lakukan. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaa dengan mendengarkan penjelasan dari Syamil. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Apa benar ini dengan Pak Rahmat?""Ya, saya Pak Rahmat. Maaf, ini siapa ya?""Saya Haji Sulaiman, abahnya Syamil.""Oh, Pak Haji, i-iya, Pak.""Sekarang anak saya berada di kantor polisi karena sebuah kesalahpahaman yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Apa Zahra ada, Pak? Saya perlu bicara." Pak Rahmat langsung menoleh pada Z
Baca selengkapnya
108. Laila yang Penasaran
"Apa? Polisi?" Bu Haji Umi mendelik kaget. Lalu dengan cepat menoleh pada Laila dan suaminya bergantian. "Temannya Syamil polisi, Mi. Muslim namanya, tadi itu yang jemput." Laila menjawab asal, berharap ummi-nya percaya dan tidak bertanya hal yang lain lagi. "Oh, gitu, kaget, Ummi. Kirain polisi beneran yang jemput." Bu Umi mengusap dadanya perlahan karena datang jantungnya sempat terpompa cepat. Laila dan abahnya pun nampak bernapas lega. Ummi ternyata percaya jawaban Laila tadi. "Ayo, kita makan saja duluan. Gak mungkin Syamil gak makan di rumah temannya kan, apalagi sampai malam begini." Laila mengangguk setuju. Semua makan dalam keadaan hening. Termasuk Nela yang tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa Syamil dibawa polisi dari suaminya dan ia diminta untuk tidak mengatakan apapun pada Bu Haji Umi. Syam menoleh ke kanan dan kiri. Ia terheran melihat orang dewasa yang ada di meja makan, semuanya diam. Hanya denting sendok dan juga suara tegukan air yang terdengar. "Sepi sekali," ka
Baca selengkapnya
109. Ide Brilian
"Aduh, mana bisa begitu, Bang!" Laila menggeleng tidak setuju. "Sayang, dengerin Abang. Hani itu pelawak bagi Syamil. Dia pasti bisa menghibur adik kita. Nanti Syamil jadi senang dan gembira. Nikah siri dulu aja gak papa, setelah surat cerai Syamil beres, nanti baru nikah resmi. Abang jamin, Syamil pasti mau banget. Gimana? Kita bilang sama abah dan ummi besok pagi." Laila menatap wajah suaminya dengan wajah bingung. Apakah boleh dan apakah tidak aneh? Belum satu minggu menikah sudah poligami? Apa kata orang nanti? Bukankah nanti aib yang harusnya ditutupi, malah terbongkar. Yang jelek adalah nama pesantren juga. "Emang gak ada cara lain, Bang?" tanya Laila lagi. "Gak ada. Nih, kalau kamu mau yakin, suruh Nela bawa Hani kemari besok, ajak sarapan di sini. Pasti Syamil terkejut dan dia senang." Laila merasa ide suaminya tidak masuk di akal, tetapi tidak ada salahnya mencoba. "Ya sudah, nanti saya bilangin Mbak Nela deh." Pukul empat subuh, Laila sudah bangun dan mandi. Suaminya p
Baca selengkapnya
110. Tamu untuk Syamil
Hani mematut dirinya di cermin. Ini sudah kerudung kelima yang ia coba. Gamis biru dongker yang ia kenakan belum juga menemukan kerudung yang pas. Semua warna ia cocokkan, tetapi rasanya belum juga sempurna. Jarum jam pendek sudah mendekati ke angka tujuh, sedangkan jarum jam panjang ada di angka sepuluh. Itu tandanya tersisa sepuluh menit lagi sebelum jam tujuh dan ia merasa penampilannya tidak juga sempurna. "Ya sudahlah, yang ini saja!" Hani mengambil kerudung segi empat dengan motif bunga biru. Sebuah bros ia sematkan di pundak sebelah kanan. Berhubung tidak punya parfum, Hani menuangkan cairan minyak kayu putih di telapak tangannya, lalu ia oleskan di leher dan juga tangannya. Ayolah, Hani, kamu bukan mau datang ke semak-semak, gak perlu juga banyak banget pakai minyak kayu putih. Hani merutuki dirinya sendiri. Tepat jarum panjang di angka sebelas, Hani keluar dari rumah. Tidak lupa ia mengunci pintu. Ponsel memang sengaja tidak ia bawa karena ia tidak mau momen pertemuannya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status