Lahat ng Kabanata ng Pelakor Yang Diundang Suamiku: Kabanata 31 - Kabanata 40
117 Kabanata
Bab 31
[Van, di mana alamatmu?] Sebuah pesan masuk dari Ibu. Aku bimbang, haruskah kuberi alamatku di sini? Atau nanti saja saat semuanya sudah clear? [Ayahmu datang. Ibu bingung harus menjawab apa?] Badanku mendadak tegak. Bingung harus berbuat apa? Ayah ke rumah? Kenapa tak menghubungiku lebih dulu? [Bilang saja kalau Vania lagi main ke luar sama anak-anak, Bu. Nanti sore, Vania dan anak-anak akan ke rumah Ayah.] balasku pada akhirnya. Lama tak ada balasan lagi, sepertinya Ibu sedang berbicara dengan Ayah. Yah, semuanya sudah begini, apa lebih baik aku jujur saja pad orang tua tunggalku itu? Terlebih, sekarang Ayah sedang berada di rumah Ibu. Sudah pasti beliau melihat Lia ataupun Kikan, dan akan menjadi pertanyaan dalam benak beliau. "Kenapa, Ma?" tanya Anna. "Kakek kalian datang. Nanti sore, kita ke rumah Kakek, ya?" "Oke, Ma." "Aldi n
Magbasa pa
BAB 32
[Hanif dan Lia akad nikah hari ini, Van.]Aku menatap layar ponsel dan surat hasil test DNA secara bergantian. Hari ini aku mendapatkan dua kabar yang sangat mengejutkan. Jemariku meremas kertas di tangan, entah keterangan di surat ini benar atau tidak aku tak tahu. Aku menghirup oksigen banyak-banyak, berusaha menetralkan diri yang dikuasai emosi. Setelah mengucapkan terima kasih pada Alvita, aku bergegas pergi meninggalkan rumah sakit. Ada yang berbeda dari gerak gerik Alvita, ia seolah menyembunyikan sesuatu, sejak tadi tatapan matanya padaku tersirat rasa bersalah. Tapi entahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Lebih baik aku menyusun strategi baru untuk mengacaukan akad nikah Mas Hanif dan gundiknya. Ponselku kembali berdering, tertera nama ibu di sana. Untuk apa lagi beliau menelpon? Ingin membuatku semakin sakit hati kah? Bukankah sedari awal beliau adalah dalang dari masalah ini. Seandainya dulu, beliau tak menghala
Magbasa pa
BAB 33
Setelah berhasil mengacaukan pernikahan Mas Hanif dan Lia aku pamit undur diri, ponselku sejak tadi dipenuhi notifikasi pesan dari teman-temanku yang menanyakan tentang kebenaran video yang tersebar di sosial media. Belum sampai satu jam, video itu sudah banyak yang membagikannya. Terlebih caption yang dibuat Ibu benar-benar menarik perhatian mamak-mamak pembasmi pelakor. "Kamu akan hancur perlahan-lahan, Mas. Bahkan sebelum tangan ini bergerak, ada tangan lain yang menjatuhkanmu." Kulajukan mobil menuju salah satu rumah sakit cukup terkenal, aku akan kembali melakukan test DNA, beruntungnya aku memiliki dua sampel. Jika memang hasilnya berbeda dengan rumah sakit sebelumnya, berarti ada yang ingin bermain-main denganku. Setelah mengurus administrasi dan memberikan sampel pada pihak laboratorium, aku memutuskan untuk menjemput Raisa mengajaknya makan siang. _"Videonya suamimu sudah dihapus tau, padahal rame banget
Magbasa pa
BAB 34
"Kok nggak diangkat, Ma?" tanya Anna. "Dari Papa." "Angkat aja coba, Ma." Aku menuruti perintah Anna, setelah mengembuskan napas, kugeser tombol hijau di layar. "Halo, Assalamu'alaikum," ucapku. "Segala pake salam! Kamu kan, yang nyebar video itu? Sekarang, karirku hancur, Van. Puas kamu, hah?!" Aku sedikit terkejut mendengar tuduhan tak berdasar dari Mas Hanif. Meski sudah menyangka ia akan menuduhku, tapi rasanya kesal juga. "Jaga bicaramu, ya, Mas! Aku bahkan nggak sempat pegang ponsel. Kamu sendiri lihat kan, tadi ibu-ibu juga pada ngevideoin." "Kurang ajar kamu, Vania. Sekarang, Lia ngancam bunuh diri kalau aku nggak nikahin dia. Sementara aku malu, kalau binti-nya pake nama ibunya!" "Kamu benar-benar tak dewasa, Mas! Napsu terus yang kamu pikirkan! Harusnya kami berterima kasih padaku, karena tadi aku datang, belangnya Lia ketahuan. D
Magbasa pa
BAB 35
BAB 35Lia segera menarik tanganku dan menjauh dari Kikan. Melihat wajahnya yang begitu panik, membuatku semakin yakin, kalau Kikan bukan lah anak kandung Mas Hanif. Aku tersenyum miring, ternyata ini kelemahanmu. Kuambil ponsel dari tas saat Lia menghampiri Kikan yang ngambek. Kupilih perekam suara, dan menyalakannya. Tepat saat itu, Lia datang sambil melipat tangannya di depan dada. "Apa maksudmu ngomong kaya gitu sama Kikan?" tanya Lia. "Apa? Aku hanya bilang ayah kandungnya. Bukankah itu Mas Hanif, tapi kenapa kamu panik gitu? Atau, jangan-jangan, kamu merahasiakan sesuatu darinya?" "Me-merahasiakan apa? Wah, jangan main-main deh, Van." "Ya kan aku cuma nebak aja. Siapa tahu, ayah kandungnya Kikan itu orang lain. Misalnya, Ilham, gitu," ucapku sambil tersenyum miring kepadanya. "I-Ilham? Kenapa kamu bawa-bawa dia?" tanya Vania semakin panik kala aku menyebutkan nama sahabat Ma
Magbasa pa
BAB 36
BAB 36 __"Itu semua kulakukan karena aku mencintaimu, Mbak!" Dengan entengnya dia menyatakan cinta, cinta yang tak seharusnya bersemi di dalam hati lelaki dihadapanku ini. Ya, tak seharusnya Fajri jatuh cinta kepadaku. Bahkan karena cintanya yang buta itu membuatnya begitu tega kepadaku dan keponakannya sendiri. Demi cinta di hatinya, ia tega membuat anak-anakku jauh dari ayahnya. "Itu bukan cinta, Fajri. Tapi ambisi! Kamu hanya berambisi dan nafsu ingin memilikiku!" ucapku seraya menunjuk wajahnya. Fajri menyeringai, "Mbak enggak usah sok tahu soal cinta, bukankah selama duapuluh tahun Mbak enggak pernah merasakan dicintai?" Aku membuang wajah. Benar, tahu apa aku soal cinta, duapuluh tahun berumah tangga aku tak pernah dicintai. Cintaku selama ini hanya bertepuk sebelah tangan. "Sudahlah, kamu mau bicara apa? Aku enggak punya banyak waktu buat ngobrolin hal enggak penting!" Fajri menghela napas kasar. "Menikahlah denganku, Mbak. Mari kita sama-sama menghancurkan Mas Hanif,
Magbasa pa
BAB 37
"It's okay not to be okay, Mama." Anna melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mataku. Putriku yang dulu selalu kutimang saat menangis, kini sudah menjelma menjadi anak gadis yang pengertian. "Terima kasih ya, Sayang!" ucapku seraya menangkup wajahnya, lalu mencium kening dan kedua pipinya. Ekhem! Kami dikejutkan dengan suara deheman di depan pintu. "Peluk-pelukkan enggak ngajak, Abang!" celetuk Aldi yang berdiri di depan pintu bersama kakeknya. "Lho, Ayah kapan datang?" tanyaku seraya beranjak dari dudukku. Aku menghampiri Ayah, lalu mencium punggung tangan beliau dengan takzim, Anna melakukan hal yang sama padaku. "Kalian berdua kenapa?" tanya Ayah, seraya menatap aku dan Anna bergantian. "Biasalah Yah, perempuan, gampang menangis!" sahutku. Aku mengajak Ayah ke ruang keluarga, kebetulan sekali saat di perjalanan pulang dari rumah Alvita tadi aku membeli bolu lapis surabaya kesukaan Ayah. Tumben sekali, cinta pertamaku ini datang tak memberi kabar. "Kemarin Hanif ke ruma
Magbasa pa
BAB 38
"Orangnya sudah pergi, Ma?" tanya Anna yang menyusulku. Aku mengangguk. Anna membuka pintu, aku mengikuti langkahnya pergi keluar. Ia membuka goodie bag yang berisi map coklat dan sebuah kotak segi empat berwarna merah muda. "Ini dari orang tadi kali, ya?" ucap Anna seraya memperlihatkan barang di tangannya. "Iya, tapi apa maksudnya mengirim barang pagi-pagi buta begini?" Anna menyerahkan barang di tangannya padaku, "Mama aja yang buka, Anna takut." Aku membawa barang-barang itu masuk ke dalam, Anna menyusulku masuk. Kami duduk di sofa ruang tamu, aku membuka kotak berwarna merah muda, isinya ada fotoku bersama Mas Hanif dan anak-anak. Hampir setiap foto diberi tanda berwarna merah darah. 'Hancur.' Apa maksud Fajri mengirimiku ini? Aku membuka amplop berwarna cokelat, isinya kertas kosong. Aneh sekali, apa maksudnya? "Aneh banget." "Siapa ya,
Magbasa pa
BAB 39
Wajah Lia semakin menekuk kesal disudutkan terus-terusan oleh keluarga Ibu. "Kalian itu harusnya menghargai saya, saya ini juga istrinya Hanif!" Kami semua terdiam, lalu terbahak mendengarnya. "Pernikahan kalian itu enggak sah, wong nasabmu aja enggak jelas!" celetuk Budhe Lastri. Ibu dan saudara-saudaranya terus memuji dan membicarakan tentang kebaikanku selama menjadi bagian keluarga mereka, membuat wajah Lia semakin merah. Tak lama Mas Hanif datang dengan wajah kusut. "Kartu kredit aku kamu pakai lagi, ya?!" gertaknya membuat semua yang ada di ruangan ini terdiam. "E-enggak, Mas. Aku enggak ada keluar rumah hari ini," elak Lia. Mas Hanif berdecak, "terus menurutmu itu kartu bisa jalan sendiri gitu!" Duapuluh tahun menjadi istrinya, aku tak pernah dibentak Mas Hanif dikeramaian. Baru kali ini aku melihat sisi lain Mas Hanif. "Bukannya kamu tadi siang jalan-jalan ya,
Magbasa pa
bab 40
"Kamu tenang saja. Ibu memang ingin membersihkan ruangan ini sejak kemarin. Cuma nunggu waktu yang pas, dan kamu juga tahu perbuatan serta perasaan adik iparmu." Aku mengangguk. Jujur saja, aku bergidik ngeri berada di kamar Fajri. Tak pernah membayangkan, ada orang yang terlalu obsesi padaku. Atau jangan-jangan, selama ini, dia selalu membayangkan yang tidak-tidak saat ia sendirian. Ibu membuka jendela kamar Fajri, dan membiarkan udara masuk. Lalu beliau menyuruh Mbok Nah untuk membersihkan kamar Fajri sementara Ibu menyabuti foto-foto yang menempel di dinding, bahkan yang di dalam pigura. Sumpah, ini lebih mengerikan dari apapun!--Aku mengajak pulang  Anna setelah melihat fotoku dibakar oleh Ibu. Ini menjadi pelajaran untukku, kalau tak semua orang memiliki sifat baik hanya karena wajahnya terlihat kalem. Fajri buktinya. Ia begitu kalem, bahkan tak pernah kulihat ia marah. Namun, semua penilaianku atas d
Magbasa pa
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status