Semua Bab Pelakor Yang Diundang Suamiku: Bab 21 - Bab 30
117 Bab
Bab 21
"Ada apa ini ribut-ribut?!" Wajah Kikan berubah sumringah saat melihat Hanif datang. "Tante Vania pelit, Pa. Masa aku dikatain maling karena ngambil jajanan yang dia beli, kan, jajanan ini dibeli pakai uang Papa." Vania mencebik, melihat tingkah manja Kikan. Sementara Aldi pergi begitu saja, ia muak melihat kedekatan Hanif dan Kikan. "Van, kamu jangan kayak gitu dong!" tegur Hanif. "Terserahmu, lah, Mas. O iya, itu Anna lagi sakit, jangan ngurusin Kikan mulu!" ucap Vania seraya beranjak ke kamar. Hanif melepaskan tangan Kikan yang bergelayut di lengannya. "Papa mau datangin Anna dulu," "Papa aku, kan, masih kangen!" rengeknya. Jurus andalan Kikan ketika Hanif tak menuruti permintaannya adalah memasang wajah sedih. "Papa tega sama aku, dari kecil Anna kan sudah puas disayang Papa!" isaknya seraya menutup wajah dengan bantal sofa, membuat Hanif tak tega. Kikan tersenyum penuh kemenangan dibalik bantal."Sudah jangan menangis, Papa temani kamu di sini." Wiyani yang melihat it
Baca selengkapnya
Bab 22
"Apa kamu menyerah, Van?" tanya Wiyani. "Ya gimana, Bu? Mas Hanif benar-benar sudah buta. Vania tak tega melihat anak-anak yang semakin sakit melihat tingkah papanya dan Kikan. Bahkan, sekarang teman sekolahnya sudah tahu kalau ada Kikan." Wiyani menoleh ke arah menantunya. Apa maksudnya? Apa gosip itu sudah menyebar? "Mereka mengira kalau Kikan adalah wanita simpan Mas Hanif, Bu." "Apa? Kok bisa?" Lalu, Vania menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat Anna pulang sambil menangis dan tentang isi pesan di grup kelas anaknya. "Benar-benar si Kikan. Anak dan Ibu nggak ada bedanya. Kamu nggak usah khawatir, Van, biar Ibu nanti gembleng si Hanif," ucap Wiyani. "Nggak usah, Bu. Nanti yang ada, malah Mas Hanif marah sama Vania. Lagi pula, Vania udah capek, Bu. Mental anak-anak sudah kena, begitupun dengan Vania. Kayak berjuang untuk hal yang tak pasti. Padahal di sini, Vania-lah istri sah Mas Hanif. Tapi seakan nggak punya kuasa untuk mengusir perempuan itu. Wanita licik itu,
Baca selengkapnya
Bab 23
"Bu?" "Ini yang kamu mau kan, Vania?" tanya Wiyani pada Vania. Vania sedikit terkejut melihat perubahan mertuanya. Namun, secepat kilat ia bisa menata hati dan posisinya. "Ibu bilangin lah, sama Lia, kalau mau jadi ibu sambungnya Anna, minimal harus bener pakaianny. Jangan kayak lacur gitu. Anaknya juga tuh, sama aja." Setelahnya Vania pergi ke kamarnya. Meski akting, rasanya sakit aja melihat mertuanya itu membela Lia. Lia tersenyum jumawa, lalu membenahi duduknya. Namun tidak dengan Kikan, gadis itu masih setia dengan mengangkat kakinya. Setelah dipukul oleh Lia, baru ia menurunkan. "Lia dan Kikan ke kamar dulu, Bu." Wiyani mengangguk, setelahnya Lia menyeret Kikan menuju kamar. "Ma, sakit, ih!" "Selangkah lagi, Mama bisa menguasai papamu dan juga rumah ini. Tolong kerja samanya, Kan! Kamu mau, semuanya hancur si
Baca selengkapnya
Bab 24
Vania menoleh ke arah Lia. Dengan percaya dirinya, ia menghampiri Vania dan membuka ponselnya. Di dalam pikiran Vania begitu banyak praduga, seharian ini ia berada di rumah pribadinya, ia hampir tak pernah bertemu dengan lelaki di luar rumah jika tak bersama Hanif. "Lihat ini. Baju kalian sama, dan ini diambil tadi siang. Bahkan, Anna juga ikut. Mas, Mas. Kasihan banget kamu, sudah nggak dianggap sama keluarga sendiri." Vania terkejut bukan main melihat bahwa ada fotonya dan Anna, serta seorang pria. Dari rambut, baju, dan juga tas, semuanya mirip. Tapi, kenapa bisa? Padahal sedari siang, mereka tak ke mana-mana. Hanya di rumah pribadi. "Sekarang, apa kamu bisa mengelak, Van?" tanya Mas Hanif."Mas, ini bukan aku. Kamu lihat baik-baik. Ini editan. Pasti ini rencana kamu, kan?" tudingnya pada Lia. Wanita itu menjerit saat Vania menarik rambutnya. Kikan berusaha melerai, sementara Hanif malah berteriak tidak
Baca selengkapnya
Bab 25
Vania terdiam saat mengetahui jika tangga ulang tahun Kikan digunakan untuk kata sandi brankas Hanif. Benar-benar lelaki itu, apakah hidupnya hanya untuk Kikan sekarang? "Ma, nggak ada gunanya kita di sini. Papa benar-benar sudah dibutakan oleh mereka, Ma." "Kalian sabar, ya. Mama akan ambil dokumen itu, nanti kita pergi. Kalian tidak ada yang kasih tahu kalau Mama punya rumah lain, kan?" tanya Vania pada anak-anaknya. Aldi dan Anna menggeleng. Vania teringat saat waktu itu Hanif selalu telat pulang, tergoda pada gadis warung kopi di puncak. Hal itu berlangsung tiga tahun kala Aldi dan Anna masih berusia tiga tahun. Ketika dimabuk cinta begitu, Hanif tak peduli pada saldo rekeningnya. Vania kerap mentransfer uang yang ada di rekening suaminya ke rekening pribadinya secara bertahap. Saat Hanif mulai sadar dan tak nyeleweng, maka Vania berhenti mentransfer uang dan kembali menjalankan tugas
Baca selengkapnya
Bab 26
Aku sudah membulatkan tekad untuk memindahkan sekolah anak-anak, dan memutuskan komunikasi dengan Mas Hanif. Tolong jangan menyalahkanku karena berbuat seperti ini, tapi ini semua adalah buah dari perbuatan lelaki itu. “Jadi kita akan pindah ya, Ma?” tanya Anna. “Iya, Sayang. Kita akan pergi dari sini dan memulai hidup baru. Maaf jika Mama egois dan memutuskan hubungan kalian dengan apa. Tapi, andai meminta kalian untuk memilih tingal dengan Papa, malah akan membuat hidup Mama tak tenang,” ucapku. Aldi dan Anna mengangguk. Semoga saja mereka mengerti dan memahami bahwa ini adalah pilihan terbaik. Toh sejak kemarin mereka juga sudah meminta untuk segera pindah dari rumah itu. Perjalanan tiga puluh ment akhirnya kami sampai di sekolah. Setelah menemui Kepala sekolah, aku ke ruang guru untuk mencari Bu Erika. “Jadi Anna dan Aldi akan pindah?” tanya Bu Erika. “Iya, Bu.” “Baik, nanti akan saya buatkan. Ngomong-ngomong, apakah akan pindah sekeluarga?” tanya Bu Erika. “Tidak, Bu. Han
Baca selengkapnya
BAb 27
Setelah mengatakan hal demikian, aku masuk ke dalam kamar. Mulai mengemas bajuku dan membawa semua. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. "Van, kenapa kamu mau pergi? Masa kalah begitu saja?" tanya Ibu."Maaf, Bu. Tapi Vania benar-benar sudah tidak kuat. Terima kasih ya, Bu, sudah menjadi mertua yang baik untuk Vania. Vania mohon, jangan kasih tahu Ayah lebih dulu. Biar nanti Vania aja yang kasih tau," ucapku seraya tersenyum. Pasalnya, Ibu adalah sahabat karib Ayah. Dan Ayah juga belum tahu mengenai masalah rumah tanggaku. Aku tak ingin, ini semua mengganggu pikiran beliau. "Tapi, Van, Ibu nggak mau kalian pisah." "Bu, pernikahan ini yang menjalani adalah Mas Hanif dan Vania. Jadi tolong, jangan halangi Vania untuk berpisah dengan Mas Hanif. Karena Vania butuh bahagia." "Apa kamu nggak bahagia sama Hanif, Van?" "Bahkan Mas Hanif nggak pernah mencintai Van
Baca selengkapnya
Bab 28
Kuabaikan saja pesan dari Lia, lalu memutuskan pergi ke kamar. Fisik dan psikisku sudah benar-benar lelah dihantam badai halilintar, memejamkan mata sejenak sepertinya bisa membuatku sedikit tenang. Usai membersihkan diri dan memakai piyama, aku merebahkan diri di ranjang empuk. Mata yang semula ingin segera terpejam, kini terbuka lebar karna teringat sesuatu. "Astaga kenapa aku bisa lupa!" gumamku. Karena terlalu banyak kesibukan, aku sampai lupa membawa rambut Kikan dan Mas Hanif ke rumah sakit untuk melakukan test DNA. Aku melirik jam dinding, hari sudah malam rasanya tak mungkin jika aku pergi ke rumah sakit sekarang. Lebih baik besok saja, semoga saja Lia dan Mas Hanif belum melangsungkan pernikahan. Ting! Sebuah pesan masuk ke ponselku, Ibu mengirim sebuah video. Kubuka video berdurasi duapuluh menit itu. "Mas, aku enggak mau tahu pokoknya secepatnya nikahi aku!" rengek Lia, seraya menatap Mas Hanif.
Baca selengkapnya
Bab 29
"Kamu dapat informasi ini dari mana?" tanyaku. "Ya dari teman-temannya Ilham, bahkan Ilham itu dengan percaya dirinya menceritakan tentang Lia. Kebetulan salah satu teman Ilham itu istrinya bekerja di perusahaanku, jadi bisa kuulik-ulik." Raisa ini sudah seperti detektif, bahkan ia mencari sampai ke akar-akarnya. "Makasih ya, Sa. Padahal kamu itu sahabatnya Mas Hanif, tapi malah berdiri di kubuku." Raisa tersenyum simpul, "sekalipun Hanif sahabatku, aku tak akan membela jika dia memang terbukti salah. Dia merangkulku. "Semangat ya, calon single parent!" "Kamu ini nyemangatin atau ngejek aku yang mau jadi janda sih?" sungutku membuatnya tergelak. "Ngejek dikit sih," Kami tertawa bersama, membuat penat dihatiku hilang sejenak. Raisa mengajakku untuk makan siang bersama, dia juga bercerita tadi malam ibu mertuaku menangis menelponnya karena kutinggal pergi. "Di sini beli
Baca selengkapnya
Bab 30
"Maafkan Mama ya, anak-anak. Karena Mama, kalian merasakan kesedihan terus," ucapku menjadi mellow. Aldi berdiri, lalu memelukku. Entah kenapa, rasanya sesak yang selama ini kutahan, akhirnya meluap juga saat anak laki-lakiku memelukku. "Mama tenang, kami tak apa. Kini semua sudah selesai. Kita sudah pindah rumah, saatnya memulai lembaran baru. Mama tak perlu khawatir sendirian, karena ada Aldi dan Anna yang selalu siap siaga menjaga Mama." Aku mengangguk. Tak terasa aku sudah semakin tua, karena anakku sudah dewasa. Terasa masih kemarin mereka masih anak-anak, kini sudah bisa menghibur dan jadi tempat curhatku. Terima kasih, anak-anak. Pagi ini, Anna tak mau berangkat sekolah. Meski sudah tahu alasannya, aku tak ingin langsung menembak begitu saja. Kuajak bicar dari hati ke hati, anak gadisku ini. "Kenapa, Sayang?" tanyaku. "Nggak papa, Ma. Lagian kan beberapa hari lagi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status