All Chapters of Penakluk Cinta Sang Dosen: Chapter 71 - Chapter 80
84 Chapters
Fase Kesedihan Indra I
Kepala Indra berdenyut-denyut tak karuan. Rasa denyutan yang nyata di dahi dan diantara kedua matanya. Mungkin saja daging yang ada di dahi dan kedua mata Indra saat ini sedang berkerut-kerut dan bergerak-gerak karenanya.Matanya berkunang-kunang dan tidak dapat melihat dengan jelas. Hatinya sakit sekali. Seolah-olah hati itu sedang mengalami penyiksaan tak terperi. Sayatan luka memanjang yang diakibatkan oleh sebilah pisau yang tak terlalu tajam berhasil mengeluarkan darah dari hatinya.Perih.Tapi anehnya, hati Indra di saat yang sama juga terasa mengeras. Hati itu mengeras bagaikan karang yang kokoh tak terkikis meskipun terjamah dentuman ombak Samudra Pasifik selama berabad-abad.Hati yang keras namun perih terluka.Indra masih belum beranjak dari tempatnya duduk. Kakinya masih lemas tak berdaya. Tak sanggup rasanya kakinya itu untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya. Lutut itu serasa kehilangan tulangnya.Matanya masih memandangi kerumunan orang-orang dimana siluet seorang per
Read more
Fase Kesedihan Indra II
Tawar-menawar.Indra sudah mencapai tahap ketiga dalam proses kesedihannya.Kalau saja Indra tidak mengajak Caca dulu, maka saat ini dia tidak akan merasa semerana ini. Hatinya tidak akan sakit. Ini adalah pertama kalinya Indra merasakan sakit hati karena perempuan. Dan dia merasa bahwa dirinyalah yang paling menderita di dunia. Tidak seorangpun di dunia ini yang mengerti betapa merananya ditinggal oleh orang yang dicintai ketika cinta yang ada di hatinya sedang menggebu-gebu.Rasa sakit yang lebih ngilu daripada sekedar disepelekan oleh orang-orang yang berstatus sosial lebih tinggi. Saat itu, Indra merasa berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia sadar bahwa disepelekan oleh orang kaya seperti Pakdenya tidak seberapa sakitnya dibandingkan dengan sakit yang dia rasakan saat ini.Atau mungkinkah Indra sudah terbiasa disepelekan jadi rasa sakit hati itu sudah pudar?Jika saat itu Indra tidak pernah mengajak Caca berkencan, maka hubungan baik antara dosen dan mahasiswa akan tetap ada
Read more
The One Who Got Away
Caca meninggalkan Neal’s dengan hati yang hancur. Derai air matanya yang mengalir deras membuat sekian banyak orang memandanginya ketika dia berjalan ke parkiran. Begitu masuk ke dalam mobilnya, segala emosi yang tertahan, lepas dari kungkungan. Dadanya mengembang dan mengempis. Tangannya terlipat di kemudi sementara kepalanya menyandar di sana. Tubuhnya bergetar hebat mengikuti isakan tangisnya.Keputusan telah dibuatnya. Keputusan yang sulit yang akan mempengaruhi hidupnya sampai akhir hayatnya. Caca lebih memilih untuk mengedepankan logika daripada hatinya.Caca hanya berharap, pilihan ini tidak salah.Badannya masih terguncang hebat ketika pikirannya menanyakan kembali keputusan tersebut. Dengan deraian air mata, kepala Caca menggeleng, mengenyahkan semua pikiran buruk yang datang menghampiri.“Tidak, keputusan sudah kubuat. Tidak ada lagi jalan kembali. Yang ada hanyalah maju ke depan.” Kata hatinya meyakinkan dirinya sendiri.
Read more
Caca Dongkol
Senin pagi, lagi-lagi Caca tidak ada nafsu makan dan berangkat ke kampus dengan perut keroncongan. Minggu itu adalah minggu ujian akhir semester. Ada kelagaan menelusup di hati Caca. Dia tidak lagi harus bertemu dengan Indra setiap minggunya dan hanya akan bertemu jika bimbingan thesis dan itupun terserah Caca bagaimananya. Hari senin itu, tidak ada pesan dari Satrio dan Caca sendiri lupa untuk mengirim pesan pada Satrio. Caca teringat ketika hari sudah malam dan Caca tidak mau menganggu Satrio.Ingatan Caca melayang pada Indra. Indra yang selalu mengiriminya pesan sebagai bentuk perhatian dan cinta. Caca cepat-cepat menyingkirkan pikiran buruk itu. Caca menekankan pada dirinya sendiri untuk fokus pada Satrio.Caca membuktikan komitmennya pada Satrio sekaligus teringat pada pesan Mbah soal aktif dan pasif pada sebuah hubungan dengan mengirim pesan singkat pada Satrio selasa pagi.Jari-jarinya mematung ketika ingin menuliskan pesan di ponselnya. Caca
Read more
Pencapaian Caca dan Satrio
“Ya Dik, ada urusan penting seminggu kemarin di rumah sakit.” jawab Satrio tanpa menoleh ke Caca.Caca menahan nafasnya.“Sindiran itu tidak kena.” Kutuk Caca dalam hati.Caca tahu alasan Satrio tidak melihatnya dan menatap matanya ketika berbicara. Caca juga paham dan mafhum dengan hal itu. Bahkan Caca bangga dan bahagia karena Satrio memperlakukannya istimewa. Satrio menundukkan pandangannya setiap bertemu dengan Caca adalah bukti bahwa Satrio memegang teguh agamanya dan menghormati Caca sebagai seorang perempuan istimewa.Tapi kali ini, Caca benar-benar tidak mau mengerti. Caca gelap mata. Rasa dongkol di hatinya mengalahkan akal sehatnya. Menurutnya, tidak memandang lawan bicara ketika sedang berbincang merupakan hal yang sangat rendah dan tidak menghargai lawan bicara.Caca mendengus marah. Dia menoleh pada Satrio, ditatapnya lelaki yang sedang menyetir itu dengan pandangan marah.“Mas, kenapa Mas tidak mau
Read more
Ada Irene di antara Caca dan Satrio
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja
Read more
Pesta Ulang Tahun Rumah Sakit
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
Read more
Sakit Hati Tiada Terperi
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Read more
Caca Bukan Pembimbing Indra Lagi
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Read more
Mbah Ning Marah-Marah
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status